Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Kalau Besar, Mau Jadi Apa?

20 Januari 2012   15:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:38 203 0
Kalau besar kamu mau jadi apa?

Begitu pertanyaan yang dilontarkan orang tua pada kita sewaktu kita masih kecil. Jawaban kita macam-macam. Jadi polisi atau dokter, itu jawaban mayoritas anak-anak kalau ditanya begitu. Terbatasnya kesan pekerjaan yang dikenal anak-anak menjadikan mereka tak punya banyak bayangan untuk dijadikan rujukan.

Saya dulu ingin jadi astronot. Itu karena saya suka sekali nonton serial Star Trek. Saya tergila-gila dengan Kapten Spock, keren rasanya bisa berpetualang di luar angkasa seperti dia.
Tapi ayah saya berpikir lain. Beliau selalu bilang,”Kamu harus jadi dokter. Papa ingin salah satu anak Papa jadi dokter.” Dan ayah saya mendidik saya begitu keras. Ekspektasi beliau sangat tinggi. Matematika tidak boleh di bawah 7, salah satunya. Yang membuat saya sering menangis karena takut. Takut karena nilai matematika saya tidak pernah lebih dari 4 atau 5. Paling bagus 6.
Tapi ketika tiba saat saya memilih jurusan di SMA, saya tidak memilih jurusan eksakta. Saya justru memilih jurusan sosial. Jadi, tidak mungkin saya akan jadi dokter. Ini pemberontakan pertama saya. Itu membuat ayah saya berubah pikiran. Beliau bilang,”Kamu masuk Ekonomi atau Hukum saja, biar gampang kerja!”. Tapi, dasar pemberontak, saya malah memilih berkuliah di jurusan Sosial Politik.

Saya tidak tahu bagaimana perasaan ayah saya saat itu. Tapi saya move on saja dengan kuliah saya. Akhirnya saya lulus dengan indeks prestasi 3,17. Tidak buruk untuk anak jurusan sosial. Dan, setelah bekerja di beberapa bidang profesi, akhirnya saya menjadi guru seperti saat ini. Pilihan saya sebagai astronot akhirnya berpindah jalur jauh sekali, tapi anehnya, saya merasa bahagia. Di akhir hidupnya, akhirnya saya tahu bahwa ayah saya ternyata juga bahagia melihat saya menjadi “seseorang”. Walaupun “seseorang” versi saya bukan impian beliau dahulu.

Dan itulah masalahnya dengan pertanyaan “Kalau besar mau jadi apa?” itu. Saya menyadarinya sekarang. Setelah menjadi ayah dari dua anak, saya langsung berhadapan dengan situasi yang sama dengan ayah saya dulu. Intinya, ada sebuah kesenjangan generasi yang amat jauh, yang membuat kita sebagai orang tua mengsalahartikan peran kita dalam proses goalsetting anak kita.

Sering, kita menentukan masa depan anak kita. Kita merefleksikan apa yang mungkin menjadi gambaran ideal yang kita yakini sebagai sebagai “yang terbaik” bagi anak. Alasannya jelas, karena kita sudah “hidup lebih lama” atau “sudah banyak melihat dan mengalami” dari anak kita. Kita tidak ingin anak kita menempuh jalan yang kita lihat di masa lalu. Jalan yang tidak kita inginkan atau kita hindari.
Padahal, kita mungkin salah. Masa depan anak kita bukan seperti masa lalu kita. Jaman mereka sudah buka jaman kita lagi. Apa yang ada di masa kita, mungkin malah sudah tidak ada lagi saat ini. Nah, apalagi nanti di masa depan anak kita? Masa depan anak kita bahkan bukan refleksi yang kita lihat saat ini.

Masalah yang ada sekarang tidak lagi eksis di masa depan. Mungkin sudah teratasi, atau mungkin malah sudah lebih buruk, dan berevolusi menjadi masalah baru. Tantangan di masa kini tidak lagi menantang di masa depan. Akan ada tantangan baru yang kita tidak kenal di masa ini. Akan banyak pekerjaan dan profesi yang saat ini tidak kita kenal. Dan ini membutuhkan ketrampilan hidup yang mungkin saat ini tampaknya belum begitu dibutuhkan. Intinya, masa depan bukan sesuatu yang jelas bagi anak-anak kita. Ketidakpastian itulah satu-satunya hal yang pasti.
Yang pasti adalah, anak-anak kita harus siap dengan ketidakpastian itu sendiri. Bagaimana caranya? Kalau belum pasti, bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapinya? Sebenarnya bukan 100% tidak pasti, menurut saya.

Seperti apa yang saya katakan di atas, apa yang ada di masa depan adalah evolusi dari elemen-elemen yang ada sekarang. Ponsel jaman sekarang embrionya sudah ada belasan tahun yang lalu. Yang tidak kita antisipasi adalah seberapa jauh kemajuannya ternyata mengimbas pada lebih banyak aspek dalam hidup kita. Bisnis online di masa sekarang mungkin akan tetap ada di masa depan, hanya mungkin kita belum bisa mengantisipasi dampak dan peluang yang mendampinginya. Jadi, bukan 100% out of nowhere.
Dengan demikian, ada hal-hal yang bisa kita persiapkan mulai sekarang. Apa itu? Ketrampilan hidup. Kemampuan dasar untuk bertahan di era apapun, bahkan yang tidak pasti sekalipun. Ketrampilan hidup akan menentukan bagaimana anak kita bisa memposisikan dirinya dan mengambil peluang sekecil apapun untuk bertahan hidup dan mengambil manfaat sebaik-baiknya bagi kehidupannya di masa depan.

Inilah yang luput dari perhatian kita sebagai orang tua. Kita sibuk mendorong anak kita menguasai content yang tidak semuanya akan efektif di masa depan, dan melupakan untuk menanamkan ketrampilan hidup yang justru lebih mendasar. Sekolah-sekolah kita pun melakukan hal yang sama. Memaksa anak berorientasi pada kekinian. Meraih kejayaan masa kini. Parahnya, ini dilakukan dengan asumsi bahwa kejayaan masa kini adalah “jaminan” masa depan.Ironis, bukan?

Nah, saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa bukan tugas kita, orang tua, untuk menentukan anak kita mau jadi apa ketika ia besar nanti. Asal masih positif dan sesuai nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan, dukung saja ia mau jadi apa. Toh, ia mungkin tidak akan jadi apa yang ia cita-citakan sekarang, karena masa depan penuh ketidakpastian, bukan? Tidak usah repot-repot mendorong ingin jadi apa, yang penting bekali dia agar apapun pilihannya ia tidak akan kehilangan kendali atas dirinya dan mampu memaksimalkan potensinya. Dan yang lebih penting, ia akan tetap menjadi manusia seutuhnya, di dalam dunia yang penuh ketidakpastian. Orang yang mampu bertahan dalam ketidakpastian, tetap punya arah ketika semuanya tidak pasti, itulah orang yang sukses sejati. Bukankah itu yang sebenarnya kita idam-idamkan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun