25 Agustus 2016 09:07Diperbarui: 25 Agustus 2016 09:15671
Sungguh tak ada yang paham rumitnya isi kepalaku ini. Watakku yang aneh dan kerap membingungkan. Begitu kata orang-orang yang mengenalku. Apalagi bagi dia yang belum setahun menjadi sahabat kamarku. Sembilan bulan tepatnya, saat kumenginjak semester tiga kuliah di salah satu universitas negeri kota apel ini. Persahabatan yang terjadi lantaran alasan klise tapi fungsional, sama-sama tak kuat bayar kalau harus ngekos sekamar sendiri. Sahabat yang adik kelas, tapi kadang berlagak sok dewasa, mungkin karena dia anak cikal. Sedang aku bungsu dari sekian bersaudara. Sahabat yang akhirnya tak kuat lagi dengan keganjilan tabiatku, memilih angkat kaki setelah sebelumnya beradu mulut sengit, lantang berjam-jam penuh dengan kata makian. “Pola pikirmu rumit, sok pinter, merasa paling jago. Anj**ng, bersihkan otakmu pake obat serangga!” Keributan kami mengundang tetangga kosan persis di sebelah ikut berteriak keras menyindir geram, yang di tengah pura-pura tak peduli, sebelahnya lagi malah menyetel musik metal keras sekali. Teman-teman kosan menyangka ada yang akan mati, jika saja salah satu tidak segera pergi. Sebenarnya mereka mafhum dengan kelakukan kami. Ini bukan kali pertama. Setelah pertengkaran, terka mereka, salah satu akan merutuki, salah satu akan saling mencari, ke pojok kampus, ruang kuliah, kantin, warnet, tempat ibadah atau kosan teman-teman lainnya. Persis orang tak waras.
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.