Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif Pilihan

Memperkuat Kepak Sayap Garuda Indonesia

8 November 2019   03:04 Diperbarui: 8 November 2019   10:01 125 1
Garuda adalah maskapai kebanggaan penulis. Pelayanan yang ramah dan konsisten di kabin merupakan salah satu keunggulan yang membuat duduk di pesawat Garuda sangta nyaman, serasa rumah sudah dekat. Pengalaman paling berkesan adalah saat sebagai anak kecil usia 9 tahun, saya, Ibu dan adik sedang terbang dari Jakarta ke Los Angeles, kemudian saya muntah ketika akan mendarat. Tanpa menunggu pesawat mendarat, pramugara dengan sigap membantu penulis mengatasi ini. Pramugari pun dengan ramah menawarkan untuk membekali penulis dengan minuman untuk dikonsumsi di jalan. Sejak saat itu, penulis sebenarnya punya cita-cita menjadi pramugara. Pengalaman berkesan lain, jaket penulis pernah tertinggal saat sampai tiba Mumbai. Dengan luar biasa, jaket ini bisa diambil beberapa bulan setelahnya di kantor Garuda Jakarta. Ditengah pelayaan yang baik itu, melemahnya keuangan Garuda merupakan berita buruk; apalagi ditengah banyaknya maskapai terkemuka Asia yang terancam gulung tikar, dari Thai Airways, MAS hingga Air India. Ini berbeda sekali dengan nasib anak perusahaannya, Citilink dan GMF Aeroasia, yang keuangannya terus moncer.  Melihat kondisi ini, memang ada banyak hal yang harus diperbaiki supaya Garuda dapat terus melayani konsumen dan terbang hingga abad berikutnya. Apalagi mengingat harga Garuda yang seringkali cukup premium, sehingga kelemahan sedikit saja akan membuatnya mudah ditelikung maskapai lain dengan layanan lebih, atau harga lebih ekonomis.

Salah satu point yang harus sering dilakukan adalah dengan secara aktif meminta umpan balik pelanggan.  Apalagi mengingat konsumen di Asia, termasuk Indonesia, bukan tipikal yang mudah mengeluh secara terbuka. Pelanggan Asia juga jarang sekali memberikan umpan balik. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan survei, focus group discussion dan meminta konsumen mengisi survei di monitor Personal Entertainment Device ketika mendarat. Pramukabin juga harus memposisikan dirinya sebagai manager, dengan menanyakan konsumen jika ada yang kelihatannya tidak beres. Saya sangat terkesan dengan pelayanan Singapore Airlines ketika di flight tengah malam saya bangun namun sama sekali tidak menyentuh makanan saya. Pramugari langsung menanyakan kenapa makanannya tidak disentuh sama sekali. Ini sesuatu yang belum pernah saya temukan di Garuda Indonesia karena pramugari tidak memposisikan diri sebagai karyawan yang punya kepentingkan melakukan hard selling dan memperbaiki produknya.

Garuda juga harus memperkenalkan urutan boarding yang ketat, untuk memastikan boarding dilakukan dengan singkat dan nyaman. Mendahulukan orang yang duduk dibelakang untuk masuk akan mempercepat proses boarding, memastikan Garuda mampu mempertahankan penghargaan sebagai maskapai dengan On Time Performance yang baik. Kondisi ini harus diawasi terus menerus oleh manajer/penyelia ground handling, karena petugas lapangan (baik di Indonesia maupun negara lain) punya kecenderungan abai dan merasa tidak enak saat tegas terkait urutan boarding. Hal yang tak boleh dilupakan adalah mereka harus dahulukan penumpang premium: baik yang duduk dikelas pertama , bisnis maupun frequent flier. Sangat sering, penumpang premium tidak bisa masuk duluan karena penumpang ekonomi menggunakan antrian mereka. Disini, penyelia seringkali tidak terlihat tidak ada yang mengarahkan penumpang dan petugas pun menjadi abai. Hal ini sangat berbeda dengan Singapore Airline yang dimanapun berada akan sangat konsisten menerapkan aturan ini, kecuali saat penumpang kosong. Sikap tidak profesional saat menangani penumpang premium juga terjadi di imigrasi, dengan priority line. Banyak sekali penumpang biasa yang menggunakan jalur ini di imigrasi. Selain itu, tiket priority check-in yang seharusnya diambil petugas imigrasi malah diserahkan kembali ke penulis.

Terkait program peningkatan pemasukan penumpang, menjual layanan personal service assistant dan economy sleeping comfort merupakan terobosan yang cukup oke. Namun, produk ini hanya dijual di website dan berita. Tidak ada petugas counter check in yang berinisiatif menjualnya, atau ditawarkan saat pesawat mengudara. Selain itu, ada banyak terobosan lain yang bisa dicontek dari maskapai lain. Salah satunya adalah dengan menawarkan upgrade kursi dengan biaya tertentu, yang ditawarkan baik saat check-in maupun saat penumpang sudah duduk di kabin. Hal ini lah yang secara agresif dilakukan KLM, bahkan dengan mengulang-ulang penawaran upgrade ketika penumpang sebenarnya sudah duduk di pesawat. Selain itu, KLM bisa dicontoh karena pramukabin secara agresif menawarkan duty free shop. Di Singapore airline, hal ini dilakukan dengan video iklan dan menu pilihan duty free di monitor penumpang. Tentunya, pembayaran ini bisa dikombinasi dengan frequent flier miles (sejumlah cash dan miles) supaya penumpang merasa miles mereka berguna . Saat ini, pilihan yang ada hanya membayar dengan uang atau cash saja, tanpa bisa mengkombinasikan keduanya sehingga miles umumnya hanya berguna untuk beli tiket pesawat dan melakukan upgrade.

Untuk seluruh program efisiensi yang dilakukan, ada kontroversi karena netizen menganggap Garuda menjadi maskapai murahan. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menjual citra sebagai maskapai yang ramah lingkungan, mirip dengan KLM. Apalagi warna biru turqoise yang sangat sesuai dengan citra pro-lingkungan. Di Singapore Airlines, ini dilakukan dengan meminta kembali gelas penumpang untuk di disi ulang dengan minuman lain. Alat untuk efisiensi sumberdaya seperti lean management atau six sigma bisa mulai diperkenalkan ke jajaran flight manager, misal dengan mengevaluasi sisa makanan, minuman, barang duty free, bantal dan selimut yang tidak terpakai untuk sebuah rute. Garuda juga sudahs seharusnya memanfaatkan big data dana anlisa komputer dalam perencanaan logistik. Jika penumpang sedikit, manajemen perlu mempertimbangkan untuk tidak perlu membawa semua ameneties. Semakin efisien (baca: sedikit) barang yang dibawa akan membuat konsumsi bahan bakar semakin rendah, sehingga potensi keuntungan bertambah. Awak pesawat juga mempertimbangkan untuk efisiensi amenities dengan: (1) menghapusnya sama sekali, (2) menggunakannya di rute tertentu yang memang dipakai penumpang, (3) memodifikasinya dengan yang dibutuhkan penumpang, misal cukup kaus kaki dan pelembab bibir untuk tujuan negara 4 musim atau sendal sekali pakai untuk durasi terbang >10 jam seperti Jakarta-London, dan (4) menyediakannya sesuai permintaan, misal diumumkan di monitor dan penumpang harus meminta ke pramugari. Supaya tidak terkesan sebagai strategi murahan, kampanye ini perlu diulang terus di video (misal saat mendarat), seperti berapa pohon yang diselamatkan dari program ini atau berapa uang yang bisa disumbang ke yayasan sosial. Untuk boarding pass, Garuda sudah selayaknya beriklan bahwa penumpang tidak perlu mencetak boarding pass. Tiket dengan penerbangan lanjutan cukup dibuat dalam 1 tiket yang sama, seperti yang dilakukan KLM. Penumpang yang tidak mencetak boarding pass atau terbang sekian kali juga mendapatkan poin yang di bandara bisa ditukar dengan pohon yang bisa ditanam dirumah. Terobosan ini dimasukkan ke video iklan, seperti yang KLM lakukan, sehingga muncul faktor WOW saat terbang bersama Garuda.
Strategi lain yang bisa dilakukan adalah melakukan overbooking. Ini bisa dilakukan jika managemen merasa pesawat yang oversold dan penuh (sehingga ada penupang ekonomi yang di naikkan ke kelas bisnis) lebih menguntungkan dari pada membiarkan kelas bisnis itu kosong. Big data diperlukan untuk strategi ini, sehingga komputasi bisa melakukan prediksi statistik untuk menghitung kemungkinan penumpang tidak bisa datang tepat waktu dan berapa banyak kursi kosong, sehingga dapat mengisinya dengan overbooking.

Untuk terobosan, Garuda dapat mulai menawarkan sesuatu yang belum pernah ditawarkan maskapai lain, seperti adanya kursi ekonomi dengan konfigurasi stagering (miring seperti https://simpleflying.com/qatar-may-introduce-staggered-economy-seating-next-month/) atau kabin tidur yang diakses di bagian kargo (https://mashable.com/2018/03/28/qantas-cargo-hold-sleep/). Kabin tidur awak di pesawat badan lebar juga bisa dijual untuk penerbangan yang hanya 7 jam dimana awak pesawat tidak perlu tidur atau cukup istirahat di kursi business class. Ini tidak perlu banyak, cukup 1 pesawat tapi mampu menjadi buah bibir sedunia, terutama blogger yang ingin merasakan tidur terlentang. Garuda juga dapat mulai mempertimbangkan kerjasama untuk layanan penerbangan masa depan, misalnya dengan Space-X untuk penerbangan antariksa.
Garuda juga dapat melakukan hard selling dengan memutar iklan di pesawat yang menjual paket wisata, yang tidak hanya harus dibayar dengan uang. Ini juga bisa ditawarkan saat penumpang check ini. Paket wisata itu bisa dibayar dengan miles maupun kombinasi miles dan uang.  Ini akan meningkatkan loyalitas pelanggan dalam memilih Garuda. Penumpang juga harusnya dapat berbelanja di bandara dengan miles yang mereka miliki. Insya Allah, pelanggan akan merasa adanya manfaat dari kartu pelanggan yang dimiliki.

Terkait iklan, perusahaan juga bisa meningkatkannya dengan tampilan sehabis safety video maupun sesaat sebelum memutar film pilihan penumpang. Iklan ini sudah selayaknya disesuaiakan dengan citra premium yang dibangun Garuda. Pernah sekali, Garuda mengiklankan S**nda Plafon, produk yang sama malah menjatuhkan kesan premium yang ingin dibangun karena berbeda kelas.

Salah satu kelemahan utama Garuda adalah terkait ground handling yang buruk jika ada masalah. Ini seringkali dibahas di traveller blog. Masuk kabin serasa masuk surga, namun keluar kabin, kita akan temukan pelayanan darat yang amatir. Saya pernah 2-3X delay karena ada latihan militer di Bandara Shanghai, kemudian menunggu lama di pesawat dalam perjalanan  ke Jakarta. Seluruh delay itu menawarkan pengalaman yang berbeda di 2-3 kesempatan itu. Pernah, saat menunggu sekitar 1-3 jam dipesawat, awak kabin inisiatif menyajikan minuman untuk mengurangi kebosanan penumpang dan ini sangat membantu. Tapi diwaktu lain, tidak ada sama sekali inisiatif untuk menyajikan minuman. Rekan penumpang menduga, mereka takut kehabisan minuman saat mengudara. Padahal, ketika pesawat mengudara, mayoritas penumpang bersiap untuk terlelap tidur sehingga harusnya tidak ada kekhawatiran minuman habis. Diwaktu lain, ada penundaan penerbangan 1 hari saat perjalanan Seoul-Jakarta. Prosesnya sangat chaos karena manager on -duty Garuda saat itu tidak memberikan arahan jelas ke penumpang mengenai apa yang terjadi dan apa harus dilakukan. Chaos ini terjadi hingga 2 jam. Ada antrian namun tidak jelas untuk apa. Setelah chaos selesai, barulah jelas apa yang terjadi. Penumpang ternyata harus menitipkan barang duty free, untuk kemudian pindah ke hotel untuk menginap dan setelahnya bisa diambil saat akan terbang. Petugas ground handling dari bandara Incheon saat itu juga nampak kurang harmonis dengan manager on-duty Garuda, seperti kurang berkoordinasi dan kurang siap. Entah kenapa, Garuda di luar negeri umunnya jarang mendapatkan posisi parkir yang premium namun mendapat slot di ujung yang sangat jauh dari pintu imigrasi. Ini terjadi baik di bandara Shanghai maupun Seoul dan terkadang di Mumbai. Apakah ini disebabkan kurangnya kemampuan lobi dan diplomasi manajemen Garuda terhadap manajemen bandara?

Terkait program penghematan makanan, Garuda seharusnya melakukan evaluasi kembali. Saya merasa bingung karena kudapan dalam boks diberikan saat naik Citilink dan Sriwijaya, namun Garuda hanya memberikan kudapan dalam kantung kertas dengan isi kacang yang tidak bermerek. Manajemen Garuda seharusnya secara pintar memberikan pembeda yang tegas antara Garuda dan afilisasinya (yang diposisikan sebagai lebih ekonomis). Selain itu, Garuda juga bisa melakukan re-branding dengan memposisikan makannya halal, sehat (rendah kalori namun kayak nutrisi), membantu diet (karena hitunga nutrisi yang jelas dan mudah diakses) dan berasal dari sumber lokal (sehingga rendah jejak karbon dan ramah lingkungan). Garuda juga dapat secara aktif mempromosikan bahwa meski hanya kudapan, penumpang bisa memilih sesuai kebutuhannya maksimal 24 jam sebelum terbang. Layar bisa menampilkan iklan mengenai menu yang disajikan saat itu beserta hitungan kalori dan cerita dibaliknya (chef, sumber bahan, asal muasal masakan dll). Garuda juga dapat menawarkan makanan khas, yang dibuat catering Aerofood yang berkerjasama dengan warung kuliner terkenal di daerah tertentu. Ini akan menjadi sensasi di penerbangan lokal yang sangat gandrung wisata kuliner. Garuda dapat menjual cerita kemanusiaan dibalik hidangan tersebut. Untuk terobosan lain, Garuda bisa menawarkan makanan yang dimasak celebrity chef, bahkan chef dari restoran dengan penghargaan bintang Michelin untuk tujuan luar negeri. Sisa makanan juga bisa disumbangkan ke bank makanan  atau dibuat kompos yang bisa diambil penumpang di bandara.Upaya ini pasti akan mencipatkan kekaguman dan perasaan bahwa Garuda lebih superior.

Dari ragam pilihan hiburan, Garuda juga perlu melakukan terobosan. Jika jumlah film hanya sedikit, untuk apa ada video iklan yang menayangkan keunggulan hiburan Garuda. Apakah tidak malu bersanding dengan ratusan film dan siaran TV live yang disajikan ICE Emirates, OrynxOne Qatar Airways dan KrisWorld Singapore Airlines? Untuk perbaikan dasar, Garuda bisa menyesuaikan pilihan bahasa di sistem PED dan pilihan film dengan tujuan. Jika akan ke India, film Bollywood seharusnya lebih banyak dengan menu berbahasa Hindi. Pilihan hiburam pun dapat disesuaikan dengan setiap provinsi, misal pesawat tujuan medan akan menampilkan film dokumenter kuliner Sumatera Utara. Pilihan hiburan yang lebih personal akan membuat penumpang nyaman, juga menurunkan biaya langganan pembelian hiburan ini (jika dihitung per tayang). Layaan ini bisa merujuk ke profil kewarganeraan penumpang. Jadi, tidak ada cerita pilihan menu berbahasa Perancis sementara tidak ada penerbangan ke sana dan jumlah penumpang kewarganegaraan Perancis pun sangat sedikit. Hal ini yang diterapkan oleh Emirates, yang ketika pesawat yang saya gunakan ke Brazil ternyata memiliki pilihan film Indonesia. Pilihan hiburan pun seharusnya semakin beragam, seperti TEDx talk, konser musik, muratal, hingga ke ceramah keagamaan. Jika ini tidak bisa dilakukan, sebaiknya Garuda tidak perlu membuat iklan mengenai sistem hiburan ini karena sudah sangat jauh tertinggal. Sistem hiburan ini juga seharusnya bisa menunjukkan bagasi akan keluar di conveyor belt mana. Jika ada penerbangan koneksi (terutama di hub), monitor juga harus menunjukkan  informasi mengenai tujuan gerbang boarding penerbangan koneksi, peta bandara dan info kira-kira berlu jalan berapa lama dari gerbang ketibaan hingga ke gerbang penerbangan koneksi. Ini yang penulis jumpai di A350-900 Singapore Airlines yang baru.

Lounge penumpang juga merupakan salah satu area yang perlu diperbaiki. Lounge saat ini menjadi terlalu padat dengan hanya ada 1-2 meja untuk makanan panas dengan lorong sempit sehingga mudah tabrakan antar pelanggan. Ketika salah satu area padat, manager pun kurang aktif mengarahkan penumpang ke area lain yang lebih sepi. Banyak keluhan rasan makanan Garuda pun tidak seperti di warung makan pinggir jalan, suatu hal yang ditunjukkan salah satu video ulasan pengacara Hotman Paris. Pilihan makanan segar pun harusnya diperluas. Garuda bisa memasak misalnya Indomie di lounge seperti halnya lounge lain, tentunya dengan garnish setara warung mie mewah. Garuda juga perlu berkerjasama untuk menyajikan kopi yang enak, seperti yang saya lihat di Emirates di lounge dengan berkerjasama dengan salah satu waralaba kopi terkenal . Garuda dapat sesekali menyajikan makanan, minuman dan kue yang lezat dari restoran lokal yang terkenal. Petugas resepsionis dan papan petunjuk juga harusnya bisa menjual fitur lounge dengan menginformasikan layanan pijat, mobile office, quiet room dan shower. Rasanya tidak banyak pelanggan yang tahu bahwa Garuda memiliki seluruh layanan ini karena petugas tidak mempromosikannya.

Program check in online amadeus juga merupakan bagian yang harus diperbaiki. Penumpang premium harusnya bisa melakukan check in lebih lama dari penumpang biasa. Jika daat sudah diisi saat berangkat, amadeus tidak seharusnya meminta data serupa saat pulang. Sistem amadeus juga seharusnya bisa menawarkan pemesanan makanan spesial, upgrade dengan kombinasi uang dan/atau miles, serta menawarkan paket wisata dan komoditas lain jualan Garuda. Fitur bid upgrade seharusnya juga bisa dijual di Amadeus, dengan harga yang mungkin lebih murah daripada di situs Garuda. Data ini juga seharusnya bisa terintegrasi di miles, sehingga data bisa diatur dari salah satu sistem.

Terkait layanan pelanggan, Garuda seharusnya menyediakan layanan pelanggan gratis 24 jam dengan nomor lokal di tiap negara. Telepon ini akan tersambung dengan VOIP ke Indonesia. Ini akan memudahkan costumer melakukan telepon saat ada masalah di negara tujuan. Penulis pernah sangat tertolong dengan fitur ini saat harus memajukan tiket Singapore Airlines terkait pembatalan acara mendadak. Saat ini, balasan email pun butuh>24 jam, bahkan kadang tidak terjawab. Layanan pelanggan ini juga seharusnya mampu berbicara dalam bahasa sesuai profil pelanggan, seperti bahasa Mandarin, Jepang, Korea, hingga Bahasa Arab.

Semoga dengan masukan ini, Garuda bisa bebenah. Garuda juga bisa merekrut orang dengan kapasitas manajemen yang lebih mumpuni, dengan terobosan inovatif. Jika belum bisa ekspansif keluar negeri, Garuda seharusnya semakin kuat di pasar domestik yang memberikan keuntungan banyak. Dengan terobosan ini, Garuda seharusnya mampu bertahan terbang 100 tahun lagi.

Salam hangat,
Penggemar Garuda Indonesia
GA183020541

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun