Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

WAYANG, Cermin Demokrasi Mengakar Di Nusantara

18 Maret 2009   03:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:16 454 0

Wayang budaya warisan leluhur. Wahana tutur tinular, filosofi, wejangan, nasehat, sosialisasi kebijakan di masa lampau. Bahkan penyampai kritik pedas bagi penguasa negeri, bisa jadi alat kampanye, penggalang dukungan rakyat, di masa itu. Wejangan kebaikan pasti menang melawan kebatilan, spirit yang diajarkan nenek moyang turun-temurun generasi ke generasi selama beabad-abad melegenda.

Ada Raja Rama melawan Angkara murka Raja Dasamuka. Pandawa versus Kurawa, yang happy ending setelah perang puputan di medan kurusetra. Melahirkan Negeri yang gemah ripah loh jinawi dipimpin Sang Parikesit cucu Pandawa, anak Arjuna. Gambaran solusi ratu adil pada episode zaman berikutnya. Gambaran yang diterjemahkan dalam Kalatida oleh Ki Joyoboyo, futuris Tanah Jawa. Pirhyc Victory wejangan versi bule. Kemenangan Akbar dengan pengorbanan yang sangat besar. Gambaran solusi "Bersih-bersih Negeri", dari negeri acak adut yang sudah tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang batil dan mana yang haq.

Wejangan ini mirip-mirip bahkan sangat simetris dengan kondisi bangsa kita saat ini. Pemimpin, penguasa sudah tertutup hatinya oleh duniawi yang menyesatkan. Kejahatan di depan mata tak terlihat, tertutup oleh silau harta karun negeri yang langgeng menjadi jarahan, membudayakan mengangkanginya buat kroni dan jaringan kelompoknya meski harus mengorbankan rakyat menjadi telantar miskin papa. Mereka sudah lupa dengan ajaran Agamanya. Ajaran para leluhur nenek moyang.

Bagi yang muslim, "Do'a orang teraniaya sangat ijabah (makbul bisa dikabul seketika oleh Allah, Sang Maha Kuasa), ada dalam Al qur'an." Dalam demokrasi "Suara rakyat suara Tuhan." Dalam wayang diajarkan salah satunya melalui episode "Goro-goro". Dimana seorang hamba sahaya yang bukan siapa-siapa, menjadi sakti mandraguna luar biasa mengacak-acak negeri. Punakawan bisa menjadi raja, bahkan menjadi pandito, gambaran kasta tertinggi yang bisa dimiliki manusia, demi membenahi negeri yang sudah acak adut. Episode ini simetris dengan analogi episode bangsa saat ini, NKRI sedang menjalani lelakon goro-goro.

Pasukan punakawan pun turun gunung dipimpin Ki Lurah Semar, Petruk, Gareng, Bagong, yang biasanya kalau para ksatria sudah kehilangan akal dan kesaktiannya mengatasi keruwetan ontran-ontran negeri, pasukan punokawan ini unjuk gigi. Kadang Petruk jadi Raja. Gareng munggah Pandito, Bagong lelaku Ksatria menyamar mengganti baju punokawan perang melawan angkara murka.

Kalau anak buah punokawan sudah tidak bisa ngasih solusi, jurus terakhir adalah Ki lurah Semar selaku Dewa Ismoyo yang sedang lelaku ngejawantah di Bumi bertindak. Bisa jadi aneh-aneh. Bisa jadi raja, raksasa, bisa macem-macem. Kalau sudah begini, Bethara Guru penguasa kahyangan pun akan ketakutan, lebih baik merayu pake jurus tai chi master, meminjam tenaga lawan karena tidak sanggup melawan kesaktian sang Semar. Begitupun Kresna "si item, sang Jliteng, Dewa ngejawantah" yang ngemong Pandawa akan sama kedernya.

Yang bisa ngademin suasana biasanya Bathara Narada, sesepuh dewa atau Dewa yang dituakan, masih di segani para juniornya karena sifat tengahannya. Membimbing, mengayomi, tidak memihak, sabar, dan bisa menghukum sang terdakwa tanpa merasa dihakimi. Sang Semar pun akan mereda amarahnya, kalau yang menyadarkan Sang Narada ini.

Di tataran realitas negeri, yang mirip-mirip adalah Gus dur. Bisa memainkan banyak peran dalam mengatasi masalah, solusi kekusutan bangsa ini. Beliau bisa berperan sebagai Semar, Bathara Guru, Bathara Narada, Kresna, bahkan kadang berperan sebagai Petruk, Gareng, Bagong; mengatasi kebuntuan masalah yang sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Bisa mengatasi masalah sambil guyon, seger.

Hobi bangsa ini adalah menyelesaikan masalah yang sangat sederhana dengan cara rumit, supaya kelihatan pinter, intelek, demokratis dan kelihatan lebih priyayi. Harus diakui pemikiran kita masih pemikiran feodal, tertanam bangga mengakar kuat di benak masyarakat pada umumnya. Bukan pemikiran wayang, warisan yang sangat luhur filosofi, budi pekertinya bisa masuk di semua ras, golongan, agama, bahkan diakui dan dipelajari bangsa Bule, yang mengaku penemu demokrasi.

Kita berbeda dengan Amerika. Majemuknya mungkin mirip-mirip, tapi cara pengambilan solusi masalahnya berbeda. Orang bule disana tidak segan-segan mengakui kesalahannya, meskipun kalau mengkritik sangat tajam, cara bertindak pun bisa sangat keras. Contoh nyata kenekatan menginvasi Irak serta berperang di Afganistan.

Mereka mampu menemukan solusi atas masalah yang sangat rumit dengan cara sangat sederhana. Itu mencerminkan value tersendiri, menunjukkan bahwa kualitas intelektualnya memang masih unggul dibanding bangsa lain di dunia termasuk kita. Logika tanpa emosi, lebih realistis meski dalam pandangan kita tidak religius.

Melihat hasil Pemilu Amerika, kunjungan Hillary Clinton ke Indonesia, kita bisa ngiri dan bercermin mengambil pelajaran bagaimana negara besar menghukum pemimpinnya. Amerika telah menghukum BUSH, menghukum Partai Republik sekaligus mengakui kesalahannya. Melalui Partai Demokrat berusaha bangkit berbenah diri, keliling dunia untuk menunjukkan ada kesalahan masa lalu yang ingin diperbaiki bangsanya, dengan "kebijakan lebih banyak mendengar." Omongan Presiden Obama yang di-ejawantahkan dalam kebijakan Smart dan Soft Power kebijakan luar negerinya.

Melihat kecepatan bertindaknya, bisa dinilai bahwa Para Birokrat, Politisi Amerika memang amanah dalam mengemban amanat bangsanya, tidak partisan, tidak aji mumpung. Guyup rukun meski dongkol kalah setelah bertarung habis-habisan demi misi besar Amerika. Jelas terlihat bagi mereka kepentingan rakyat nomor satu.

Dalam terminologi Indonesia, mereka telah memainkan filosofi wayang kita, dalam menyikapi dan memaknai "Lelakon Goro-goro" yang ditukangi Bush and the Gank. Bisa kelihatan bijak meskipun kita belum bisa tahu secara pasti ujung dari smart and soft power itu. Tapi arahnya tergambar dan kelihatan jelas, dengan penampilan garda depan Amerika yang humanis dipimpin Hillary. Kelihatan tampak membumi.

Demokrasi kita sebenarnya sudah sangat lama, bahkan lebih tua dari bangsa Amerika itu. Hal ini tercermin dari Lelakon Goro-goro dalam wayang. Lelakon ini adalah lelakon Demokrasi telah ada berabad-abad silam meski kita berganti keyakinan. Dari mulai menyembah batu dan pohon, beralih ke Hindu dan Budha, terakhir Kristen dan Keislaman.

Demokrasinya tetep ada dalam wayang itu. Itulah mengapa Sunan Kalijaga memakai wayang dalam berda'wah. Begitu pun Romo Mangun. Mereka tampak membumi, merakyat memiliki value yang diyakini dan disegani karena ketulusannya membela kepentingan rakyat.

Itu juga bagian dari strategi Soft power ala pendahulu kita. Mereka memainkan peran sipil dan militer humanis. Mereka tidak butuh kelihatan pinter, demokratis, tidak seperti priyayi karena memang mencintai rakyat sekitarnya. Mereka tidak butuh diakui sebagai pemimpin, tidak mengejar-ngejar supaya diberi amanah, tapi rakyat mengangkatnya sebagai panutan. Namanya pun mengharum mewangi menahun, berabad-abad diakui berbagai kalangan dengan berbagai keyakinan yang berbeda. Dalam perspektif yang lebih luas bisa dimaknai sebagai lelaku "Rahmatan Lil Alamin" dalam versi apapun.

Itulah pelajaran dari nenek moyang, para pendahulu dan dari seberang, kalau kita masih komit dan ingin tetap dalam pilihan Demokrasi. Tampilah apa adanya. Akuilah kekurangan. Jangan bermake-up, lagi musim krisis mahal. Malah keliatan aneh, tidak menarik. Belajarlah dari wayang, Walisongo, Sunan Kalijaga, para pendiri negeri, Obama dan Hillary. Mereka merakyat, tampak membumi. Selamat mencoba "amanah seeker!"

Ki Lurah Kaukus 98 mengingatkan, Suara Rakyat Penguasa Negeri! Ada yang memilih dan ada yang memilih untuk tidak memilih. Golput!!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun