Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Covid-19 dan Nasionalisme Seorang Ganjar Pranowo

20 Juni 2021   20:04 Diperbarui: 20 Juni 2021   20:23 394 4
"....pokoke angger ke sini sing teko menungso ya dirawat. Ojo mbok tekoni KTP ne ngendi, ojo mbok tekoni agamane, pokoke teko dirawat...." Ganjar Pranowo.

Pernyataan berbahasa Jawa itu dilontarkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo saat mengecek penanganan Covid-19 di daerah Wonogiri, belum lama ini. Pernyataan itu muncul untuk menjawab kegelisahan Kepala Dinas Kesehatan Wonogiri, Adhi Dharma ketika banyak pasien dari luar Jawa Tengah yang ikut dirawat di rumah sakit Wonogiri. Akibatnya, rumah sakit jadi penuh dan membuat pelayanan jadi terhambat.

Tak bisa dipungkiri, lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi akhir-akhir ini membuat rumah sakit kelimpungan. Ruang isolasi maupun ICU penuh. Bahkan di beberapa rumah sakit, ada pasien umum yang harus dirawat di tenda-tenda darurat, karena semua ruangan digunakan untuk pasien Covid-19.

Jawa Tengah jadi salah satu provinsi dengan peningkatan kasus yang tinggi. Tak hanya di kota-kota besar seperti Solo dan Semarang, di daerah pinggiran seperti Wonigiri juga mengalami peningkatan.

Tak hanya warga Jawa Tengah, rumah sakit di Wonogiri ternyata juga menampung pasien-pasien dari luar provinsi. Jelas saja, mengingat daerah ini diapit oleh dua provinsi tetangga, yakni Jawa Timur dan Jogjakarta. Akibatnya, banyak warga perbatasan dua provinsi itu yang berobat ke Wonogiri. Hal itulah yang membuat rumah sakit di sana kewalahan menangani pasien.

Mungkin bagi orang lain, pernyataan Ganjar di atas biasa-biasa saja. Tapi bagi saya, pernyataan itu memiliki makna sangat dalam, yang dikeluarkan seorang negarawan bernama Ganjar Pranowo.

Pernyataan itu jika diartikan dengan bahasa Indonesia kira-kira seperti ini. "....yang penting ketika ke sini yang datang manusia, ya dirawat. Jangan kamu tanya KTP nya darimana, jangan kamu tanyakan agamanya. Semua yang datang harus dirawat.."

Sebagai gubernur, Ganjar bisa saja memerintahkan seluruh rumah sakit memprioritaskan penanganan pasien dari Jawa Tengah saja. Karena sejatinya, warga Jawa Tengah juga sangat butuh fasilitas layanan kesehatan itu. Kalau ada pasien dari luar provinsi, bisa saja Ganjar meminta rumah sakit untuk menolaknya.

Tapi Ganjar tak melakukan itu. Dari pernyataan yang saya kutip di atas, Ganjar jelas-jelas bukanlah pemimpin yang egois. Ia sadar betul, bahwa di atas batas wilayah otonomi daerah, masih ada garis batas yang lebih tinggi bernama NKRI.

Tak ada kamusnya bagi Ganjar, melarang pasien Covid-19 dari Jogjakarta maupun Jawa Timur untuk berobat ke Jawa Tengah. Bagi Ganjar, mau orang Jawa Timur, Yogyakarta bahkan Papua sekalipun, semua harus mendapat pelayanan yang baik saat berobat di Jawa Tengah. Karena semuanya adalah sama, sama-sama anak bangsa.

Kisah nasionalisme Ganjar ini bukanlah yang pertama kali. Saat lonjakan kasus Covid-19 di Kudus, Ganjar adalah orang yang pertama menggagas tentang pentingnya gotong royong. Dengan tangan dinginnya, Ganjar memerintahkan daerah penyangga Kudus untuk membantu penanganan Covid-19.

Karena rumah sakit di Kudus penuh, maka rumah sakit daerah lain diminta Ganjar membantu. Alhasil, semua wilayah di sekitar Kudus turun tangan. Kota Semarang menerjunkan ambulans ke Kudus untuk membawa pasien Covid-19 dan dirawat di Semarang, Pemkab Boyolali dengan tangan terbuka menerima ratusan warga Kudus untuk isolasi di Donohudan. Solo mengirimkan dokter-dokternya membantu Kudus. Sementara Pati, Jepara, Demak, Grobogan semuanya ikut membantu memberikan layanan kesehatannya bagi warga Kudus.

Dengan metode seperti itu, penanganan Covid-19 di Kudus terus mengalami peningkatan. Jumlah pasien yang positif di Kudus terus berkurang, beban rumah sakit dan tenaga kesehatan di sana tak lagi menjengahkan.

Bicara soal nasionalisme Ganjar dalam penanganan pandemi, dua contoh di atas bukanlah satu-satunya. Saat awal pandemi, Ganjar jadi satu-satunya Gubernur yang ngopeni nasib ratusan warga luar Jawa Tengah yang tak bisa pulang ke rumah. Mereka para pelajar dan mahasiswa yang hidup di kos-kosan, serta pekerja yang tinggal di kontrakan, satu persatu disambanginya dan diberikan bantuan.

Bagi Ganjar, pelajar, mahasiswa dan pekerja luar Jawa Tengah yang kini tinggal di Jawa Tengah, semuanya sama saja. Warganya. Jadi ketika ia memberikan bantuan pada warga Jawa Tengah, warga lain yang tinggal di Jawa Tengah juga harus mendapatkan hak yang sama.

Ganjar tak berharap pamrih saat melakukan hal itu. Buktinya, ketika Pemprov DKI Jakarta tak bisa membantu para diaspora Jateng yang bekerja di sana, Ganjar tak marah. Dengan legowo, ia ikut meringankan beban Pemprov DKI Jakarta, dengan cara mengirimkan bantuan langsung dari Jawa Tengah ke sana.

Meski bantuan itu untuk warganya sendiri, tapi setidaknya tindakan itu turut membantu Pemprov DKI. Sebab saat Pemprov DKI melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), seharusnya semua warga di Jakarta mendapat bantuan. Tapi karena Pemprov DKI kesulitan anggaran, akhirnya Ganjar ikut meringankan beban. Setidaknya, jutaan warganya yang ada di sana tak kelaparan.

Ganjar memang bukanlah orang hebat. Tapi tindakannya dalam penanganan pandemi ini, patut kita apresiasi. Banyak pemimpin di negeri ini yang selalu mengedepankan ego sektoral. Penanganan pandemi, dibatasi pada tembok pembatas bernama otonomi daerah. Mereka bekerja keras demi daerahnya masing-masing.

Padahal jika semua bergandengan tangan, tentu penanganan akan jadi lebih gampang. Karena pepatah mengatakan, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun