Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Sindoro - Wonosobo

25 Maret 2011   10:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:27 571 0
Perjalanan ini kutulis untuk mengenang pendakianku di akhir tahun 1997. Saat itu aku dan 2 orang temanku yaitu Chandra Magga dan Bambang Heriyanto merencanakan pendakian ke daerah Jawa Tengah. Kitapun sepakat memilih Gunung Sindoro. Perjalanan dimulai dari kota Serang-Banten menuju Jakarta via kereta api. Lalu lanjut ke Jawa Tengah dengan cara hitchhiking (numpang truck). Saat itu istilah backpacker belum begitu tenar seperti sekarang. Jadilah kami backpacker plus mountaineer. Hingga akhirnya setelah melewati perjalanan selama 2 hari kami sampai di kota Wonosobo dengan perjuangan yang cukup melelahkan.

****

Matahari memancarkan sinar orange saat kami menginjakan kaki dikota Wonosobo. Kota kecil nan asri dikelilingi 2 gunung berketinggian diatas 3000 mdpl membuat kota ini sejuk nan dingin berada diatas ketinggian 700 mdpl. Segera kami menuju warung makan untuk mengganjal perut yang keroncongan. Sore ini kamipun mendapat kenalan orang Wonosobo dan orang Baduy yang merantau kesana. Aku lupa namanya.

Selepas sholat maghrib di Masjid Agung Wonosobo kami menuju alun-alun kota Wonosobo untuk bermalam dan mendirikan tenda dome. Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing terlihat jelas dari alun-alun ini. Dan kamipun terlelap dalam mimpi indah akan kisah petualangan kami esok hari.

Kamis, 18 Desember 1997

Hari ini kami melanjutkan perjalanan menuju Dataran Tinggi Dieng. Tepatnya desa Kejajar Dusun Sigedang. Sebuah desa yang dipenuhi perkebunan teh yang dikelola oleh PTPN. Turun di pertigaan desa kami lanjutkan dengan berjalan kaki menuju Desa Sigedang yang berada diatas gunung. Setelah kira-kira 3 jam tekking kami sampai didesa terakhir. Desa Sigedang. Kami langsung menuju sebuah mushollah ditengah desa. Disana kami berkenalan dengan warga setempat. Namanya Sarodin. Kami diajak makan bersama dirumahnya. Lauknya nasi jagung dengan sayur daun urang aring. Wow sungguh pengalaman yang sangat berkesan.

Selepas sholat Maghrib kami diantar Sarodin menuju rumah Ibu Lurah. Lho, pak lurahnya kemana? Ternyata disini yang menjadi lurah adalah perempuan. Jadi tidak ada Pak Lurah..hehe.. Kami berbincang sejenak dengan Ibu Lurah yang sangat ramah menjamu kami sebagai tamunya.

Ba'da Isya kami mulai mempersiapkan pendakian menuju puncak Sindoro.Setelah pamit kepada Sarodin dan keluarganya kami menusuri jalan aspal hinggal ujung desa. Udara sangat dingin. Diselimuti kabut yang tebal. Menembus malam. Membelah perkebunan teh. Jari-jari tangan terasa membeku. Padahal sudah kami lindungi dengan sarung tangan yang sengaja kami beli di desa Sigedang.

Malam semakin larut. Kabut semakin menutupi jarak pandang kami. Udara dingin menggigit kulit kami. Menerobos melewati pori-pori pakaian yang kami pakai. Awalnya kami melewati perkebunan the. Semakin keatas kami melewati hutan terbuka yang ditumbuhi pohon pinus. Beberapa kali kami berhenti sejenak mengatur napas. Semakin lama kami berhenti, udara dingin semakin menyerang kami. Oleh karena itu kami hanya istirahat tidak lebih dari 5 menit setiap berhenti.

Jum'at, 19 Desember 1997

Setelah mendaki selama 5 jam, sinar orange mentari di ufuk timur mulai tampak. Jalur pendakian semakin landai. Pertanda Puncak Sindoro sudah dekat. Saat kami istirahat sejenak, kami menoleh kebelakang. Subhanallah...tampak sebuah pemandangan yang sangat indah. Pegunungan Dataran Tinggi Dieng yang diselimuti awan dan kabut. Kami seperti diatas awan. Daengpun mengbadikan pemandangan ini dengan kamera pocket. Aku, Daeng Chandra dan Bambang 'Roleng' Hariyanto istirahat cukup lama untuk menikmati keindahan alam ini.

Sekitar pukul 6 pagi akhirnya kami sampai di Puncak Sindoro -3153 mdpl-. Sebuah puncak yang luasnya lebih dari 1 hektar. Ada beberapa gundukan batu dan hamparan tanah lapang yang luasnya cukup untuk bermain futsal. Dari gundukan batu tersebut kita bisa melihat tulisan yang terbuat dari gundukan batu yang disusun diatas tanah lapang. Tidak jauh dari situ ada sebuah kawah mati yang sedah menjadi telaga. Dipinggiran kawah inilah banyak ditumbuhi ladang eidellweis.

Dipuncak kami sempat memasak air untuk membuat secangkir kopi & memasak indomie. Air kopi yang panas dapat langsung kami minum.Sruuuffff...sungguh nikmat !!! Hei ada pendaki lain yang juga lagi mendaki gunung Sindoro ini.Mereka juga bertiga. Selebihnya tidak ada. Sepi. Setelah lebih dari 3 jam kami dipuncak akhirnya kamipun mulai turun melewati jalur berbeda. Jalur Kledung.

Ini adalah jalur resmi pendakian Gunung Sindoro. Sehingga kami cukup banyak menemui sampah bekas pendaki yang melintas. Sungguh ironis memang. Dipinggir jalur kami banyak temui pohon arbei yang sudah berbuah. Wah, suplemen gratisan dari alam euy ! Semakin kebawah kami temui jalur bebatuan. Sehingga untuk melewatinya harus mengikuti celah-celah batu. Hutan Gunung Sindoro memang terbuka. Dipenuhi pohon lamtoro dan pinus serta hutan perdu. Di depan mata terhampar pemandangan indah. Gunung Sumbing dengan gagah menantang kami untuk menjamah puncaknya. Dikejauhan tampak puncak Gunung Merbabu dan Gunung Lawu yang diselimuti awan putih. Dibawah terbentang hijaunya perkebunan tembakau, kota Parakan dan Temanggung dikelilingi gunung nan hijau berseri. Udara sangat sejuk merasuki rongga paru-paru kami yang biasa menghirup karbondioksida kota besar. Sungguh nikmat perjalanan ini. Banyak hal yang dapat kami jumpai dan lalui menjadi kami semakin matang menjalani hidup. Dan kami semakin bersyukur atas segala nikmat-Mu ya Allah..

Tak terasa akhirnya sampailah kami di Pos 3 di ketinggian 2530 mdpl. Dipos yang berbentuk gubuk dan diatapi dengan seng ini kami istirahat sejenak meluruskan otot kaki. Cukup 15 menitan kami mengatur napas, perjalanan kami lanjutkan menerobos hutan pinus. Tak lama berjalan hujan membasahi tubuh kami. Langkah kaki kami percepat mencari tempat perlindungan. Mengharap pos 2 segera sampai. Ternyata di pos 2 ini gubuknya sudah rusak dan sangat memprihatinkan. Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan walaupun tubuh kami basah.

Menjelang sore kami mulai memasuki perkebunan penduduk. Hujan masih turun. Sayup-sayup terdengar adzan maghrib dari dusun terdekat. Tenaga kami mulai terkuras. Tak berdaya. Kami putuskan untuk istirahat dan membuka tenda disebuah gubuk dekat perkebunan warga. Tendapun kami buka didalam gubuk ini untuk menangkal dinginnya udara malam. Kompor gas kami nyalakan untuk menghangatkan tubuh kami yang menggigil kedinginan. Dan bluuuphhh....kompor gas terbakar. Api cukup besar menyembur dari tabung gas yang bocor. Bambang "Roleng" langsung melepas tabung gas dan membuang keluar tenda. Dan..akhirnya kami selamat dari peristiwa ini. Setelah kompor gas diperbaiki kami mulai memasak air dan indomie dan kemudian tertidur pulas ditemani dengan rintik hujan yangmembasahi hutan Sindoro.

Sabtu, 20 Desember 1997

PAGI HARI YANG SANGAT CERAH. Kami keluar dari tenda. Mengemas perlengkapan untuk melanjutkan perjalan pulang. Di dalam gubuk ini ternyata banyak terdapat pupuk kandang. Wow ..pantas aja tadi malam kami mencium bau yang tak sedap seperti kotoran binatang. Ternyata kami memang tidur diantara kotoran pupuk kandang. Mantabb deh..

Disi kami melihat ada beberapa pendaki yang baru memulai pendakian. Diantara mereka ada yang berbincang sejenak dengan kami. Sekedar sharing pengalaman.Memang asyik jadi petualang banyak mempunyai teman dan pengalaman perjalanan. Pokoke seru deh. Selesai berkemas kami lanjutkan turun menuju Desa Kledung. Mampir ke Pos Pendakian. Disebuah rumah penduduk yang open house. Dijendela depan banyak tertempel atribut berbagai Organisasi Pecinta Alam. Di dalamnya ada sebuah dinding terbuat dari triplek. Disini tertempel stiker Organisasi Pecinta Alam yang lebih banyak lagi dari berbagai propinsi di Indonesia. Disini pendaki bias memesan menu makanan yang disediakan di dapur umum. Harganya dijamin sangat murah meriah. Selain nikmat juga mengandung vitamin K yaitu Kenyang...hehe..

Dipos ini kami istirahat hingga dzuhur. Setelah itu kami lanjutkan perjalanan menuju kota Kertek dengan berjalan kaki. Di jalan raya yang menghubungkan kota Wonosobo dengan Temanggung ini sedikit sekali truk yang melintas. Kalaupun ada mereka tidak mau memberi tumpangan kepada kami. Jadilah kami petualang yang tersesat di kota.

Saat hari mulai gelap kami teringat seorang kenalan yang kami temui di kota Wonosobo kemarin. Kami mencoba mencari alamat tersebut. Alhamdulillah akhirnya kami berhasil menemuinya. Disini kami dijamu makan malam. Inilah pentingnya jalinan pertemanan dalam suatu perjalanan petualangan. Bisa banyak membantu kita saat kita membutuhkanya. Selepas sholat Isya kami pamit untuk melanjutkan menuju kota Wonosobo. Menusuri kota yang dingin dimalam hari, 2 jam berlalu sampailah kami di alun-alun kota Wonosobo. Kami sepakat untuk menginap disini. Membuka tenda kami didalam pendopo yang beralaskan marmer. Dinginnya malam membuai tidur kami yang panjang akan kisah petualangan selanjutnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun