Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Berawal Di Yunani

27 November 2011   06:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:08 350 0
Saat mewarisi posisi sebagai perdana menteri Yunani pada 6 Oktober 2009, George Papandreou tak pernah membayangkan bahwa krisis Eropa yang dimulai di Yunani yang hingga saat ini masih belum terselesaikan ini pada akhirnya mengancam eksistensi euro sebagai mata uang 17 negara Uni Eropa. Berawal pada saat pemerintahan baru yang dibentuk di bawah kepemimpinan Papandreou menemukan bahwa telah terjadi manipulasi jumlah utang negara yang ternyata berjumlah sangat besar. Temuan ini segera meruntuhkan kepercayaan investor terhadap kredibilitas Yunani dan secara bertahap menyebar ke negara-negara anggota euro lainnya. Lambatnya respon dari para pemimpin di zona Eropa membuat krisis kepercayaan terhadap Yunani ini semakin berlarut-larut sehingga pada akhirnya semakin banyak investasi yang keluar dari Yunani dan hal ini berakibat pada makin tingginya imbal balik yang diminta oleh para investor untuk mau berinvestasi di sana. Turunnya tingkat investasi menyebabkan pendapatan negara makin turun dan pada akhirnya tidak mampu mengimbangi tingkat pengeluaran negara. Kondisi utang yang makin sulit terbayar ini akhirnya memaksa Yunani untuk meminta pertolongan finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Uni Eropa (UE). Sebagai imbal balik dari kucuran dana yang akan dikeluarkan oleh UE dan IMF, pemerintah Yunani sepakat untuk melakukan pemangkasan anggaran negara senilai 30 miliar euro untuk jangka waktu tiga tahun. Paket bailout ini bernilai 110 miliar euro dan merupakan paket pertama yang pernah diberikan untuk negara anggota zona Eropa. Walaupun telah menerima dana bailout, Yunani justru semakin terpuruk akibat program pemotongan anggaran negara yang dijalankannya sebagai salah satu syarat utama yang diajukan oleh UE dan IMF. Pajak yang meningkat dan makin meningkatnya angka pengangguran berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan menyebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi justru menjadi terpangkas. Penerimaan negara justru menjadi menurun dan akibatnya kepercayaan para investor malah menjadi semakin runtuh. Lambatnya program privatisasi asset-asset negara di Yunani juga berlangsung cukup lambat, demikian pula dengan program reformasi yang tadinya disepakati bersama dengan IMF dan UE. Hal ini makin memperburuk keadaan sementara di Eropa Portugal dan Irlandia juga tumbang terkena imbas dari krisis di Yunani. Standard and Poor’s, lembaga rating yang berbasis di London memangkas peringkat utang Yunani menjadi CCC dari B. Peringkat ini merupakan yang terendah di dunia dan tak lama kemudian pada bulan Juni lalu PM Papandreou melakukan reshuffle kabinet dan menunjuk Evangelos Venizelos sebagai menteri keuangan yang baru. Bulan Juli lalu IMF kembali mengucurkan dana bantuan bagi Yunani senilai 3.2 miliar euro sehingga secara total jumlah uang yang telah dikeluarkan oleh IMF untuk Yunani berjumlah 17.4 miliar euro. Masih di bulan yang sama, para pemimpin di Eropa mencapai kesepakatan untuk memberikan paket bantuan kedua bagi Yunani senilai 109 miliar euro. Dana ini sebagian merupakan milik pemerintah ditambah dengan dana dari sektor swasta yang diestimasi mencapai 50 miliar pada pertengahan 2014. Tentu saja, semuanya ini ditukar dengan lebih banyak lagi program pengurangan anggaran oleh pemerintah Yunani. Sementara itu, publik Yunani semakin tertekan oleh segala macam program reformasi ekonomi dan memicu terjadinya unjuk rasa besar-besaran. Kekacauan di arena politik Yunani juga kembali mengancam program reformasi di Yunani. Kesabaran para pemimpin di Eropa menipis setelah pada akhir Oktober secara mendadak Papandreou mengusulkan diadakannya referendum untuk menentukan apakah publik di Yunani memang masih mau terus berada di dalam euro atau tidak. Usulan ini bagaikan sambaran petir bagi Kanselir Jerman Angela Merkel dan juga Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Banyak orang bertanya-tanya mengapa pada saat-saat kritis Papandreou justru mengusulkan suatu ide yang sangat kontroversial yang berpotensi mendorong Yunani menuju jurang kebangkrutan. Tidak hanya itu saja, namun reputasi dan karir politik Papandreou juga menjadi suram setelah usulan referendum dilakukan. Mengenai hal ini, penulis berpendapat bahwa usulan kontroversial inilah yang perlu diajukan untuk menyadarkan para pemimpin politik di Yunani dan juga publik Yunani bahwa hanya ada dua pilihan: tetap menjadi anggota blok euro atau keluar dari euro. Merkel dan Sarkozy pun kemudian mengundang Papandreou pada sebuah pertemuan darurat di Cannes sehubungan dengan usulan referendum yang dilontarkannya. Sementara itu dari dalam kabinet Papandreou sendiri menteri keuangan Venizelos mengutarakan penolakannya pada usulan referendum dari Papandreou. Tuntutan terhadap Papandreou untuk mundur pun ditolaknya dan sebaliknya Papandreou terus berupaya menyatukan pendapat di kalangan partainya, terutama menjelang diadakannya voting terhadap kelangsungan pemerintahan Papandreou. Usulan referendum ini akhirnya ditarik kembali oleh Papandreou, sesaat sebelum voting berlangsung. Voting tersebut berhasil memperpanjang periode pemerintahan Papandreou dan  menghindarkan Yunani dari ancaman terjadinya pemilu mendadak yang dapat menggagalkan diterimanya dana bantuan berikutnya dari UE dan IMF. Kepemimpinan Papandreou pada akhirnya berakhir setelah Lucas Papademos, mantan pejabat bank sentral Eropa (ECB) ditunjuk sebagai PM Yunani yang baru. Pemilihan Papademos ini pun berlangsung alot. Papandreou dan Samaras sebelumnya mengajukan Filippos Petsalnikos, sementara George Karatzaferis dari partai LAOS menolaknya dan lebih menginginkan Lucas Papademos sebagai PM yang baru. Namun faktor politik kembali mengintervensi proses pencairan dana ini. Pimpinan partai oposisi Antonis Samaras menolak untuk memberikan pernyataan tertulis yang berisikan komitmen dari partainya untuk mendukung sepenuhnya program austerity yang akan dijalankan di Yunani. Ketentuan yang diajukan oleh UE dan IMF ini akan digunakan sebagai jaminan bahwa uang yang dikeluarkan oleh UE dan IMF benar-benar terpakai untuk menjalankan reformasi yang telah disepakati. Tanggal 29 November mendatang, Yunani diharapkan telah menyerahkan komitmen tertulis akan pelaksanaan program reformasi ekonomi yang juga didukung secara tertulis oleh para pemimpin partai di Yunani. Pada hari itu, para menteri keuangan Eurogroup akan bertemu untuk membahas apakah mereka akan menyetujui pencairan dana untuk Yunani atau tidak. Jika tidak, Yunani hampir dipastikan akan mengalami kebangkrutan. Walaupun sempat mengalami proses yang berliku-liku, para pemimpin partai politik di Yunani pada akhirnya mengirimkan pernyataan tertulis pada Uni Eropa seputar dukungan masing-masing terhadap pelaksanaan program reformasi di Yunani. Antonis Samaras  yang memimpin partai Demokrasi Baru dan George Karatzaferis dari partai LAOS  akhir pekan ini menggenapi permintaan komitmen tertulis yang diminta oleh UE dan IMF. Hasil dari pertemuan tanggal 29 mendatang diperkirakan akan berakhir positif dengan dicairkannya dana bantuan bagi Yunani. Namun, pertanyaan yang masih belum terjawab adalah apakah program reformasi yang akan dijalankan oleh PM Papademos akan berjalan lancar? Mampukah para pelaku pasar menunggu hingga Yunani dapat keluar dari krisis ini mengingat lamanya waktu yang akan diperlukan oleh Yunani untuk membereskan masalah fiskalnya? Pertanyaan terpenting saat ini adalah mampukah euro bertahan? Yunani sudah bukan menjadi faktor utama lagi dalam krisis ini. Faktor utama saat ini adalah peran ECB sebagai bank sentral Eropa dalam mengatasi krisis. Faktor lainnya adalah negara-negara lain yang terkena imbas dari krisis di Yunani seperti Portugal yang baru-baru ini terkena downgrade, Italia yang baru saja membentuk pemerintahan teknokrat di bawah PM Mario Monti, dan juga Spanyol yang terus melambung yieldnya. Prancis dan Belgia yang tersangkut kasus Dexia jg mulai diragukan akan mampu mempertahankan tingkat yieldnya. Jadi, apakah euro mampu bertahan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun