Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Saya dan Rasa Takut

17 September 2019   10:28 Diperbarui: 17 September 2019   10:39 63 2
Setelah menginjakan kaki di kepala tiga, kekhawatiran merebak di benak menyelimuti pikiran dan angan-angan. Ketika teman-teman seusia sudah menimang momongan saya masih larut dalam kesendirian. Di saat ekonomi mereka sudah mulai mapan saya tetap saja berkutat dengan harapan. Sehari-hari hanya menyapu sepi dengan aktivitas yang dianggap berarti.

Ada satu hal untuk menghibur diri, bahwa "saya tidaklah sendiri". Di luar sana masih banyak teman senasib sepenanggungan. Mereka juga tercekam oleh himpitan kehidupan. Badan semakin membukuk. Pundak dan punggung menahan beban persoalan. Kerut jidat semakin bertambah sebab tidak mudah untuk berbenah.

Pun ketika sudah menemukan tambatan hati. Menjelang pernikahan perasaan khawatir masih saja menyelimuti. Beda status sosial dan pandangan pemikiran mengaduk gejolak rasa. Melahirkan ketakutan, kekhawatiran baru.

Pasca terajut tali pernikahan pun masih sama. Keterbatasan pendapatan melahirkan kekhawatiran. Melambungnya harga tanah dan material bangunan menambah gundah gulana dalam dada.

Sebagai pemimpin keluarga, wajar jika memiliki harapan membahagiakan keluarga. Istri dan anak tinggal di tempat yang layak. Tidak ada maksud menyengsarakan anak orang yang menjadi tanggunan. Namun, persoalan rizki itu urusan Illahi, saya hanya bisa pasrah sambil mengikhtiari sesuai kemampuan diri.

Bagi saya, tidak elok lari dari rasa khawatir. Seperti tuan rumah yang meninggalkan tamu sendirian. Sebenarnya, mau lari kemana pun juga percuma. Dimanapun bersembunyi rasa khawatir selalu saja dapat menemui. Layaknya hantu gentayangan, dia seakan tahu setiap jengkal tempat yang saya pijak. Dia bisa datang kapan saja. Dia menyapa sesuai kehendaknya. Dia pun tidak butuh diundang untuk bertandang.

Pada akhirnya, saya merasa tidak perlu khawatir. Toh ketakutan tidak khusus untuk saya sendiri. Ketakutan, kekhawatiran, atau entah apa pun namanya juga membersamai semua orang. Orang kaya maupun miskin ia temani. Demikian juga para pejabat dan orang melarat, akan dia bersamai.

Setelah sekian lama didampingi kekhawatiran, saya sedikit banyak tahu tabiatnya. Rasa takut tidak bermaksud menakuti, apalagi mengintimidasi. Ketika rasa takut bertamu saya hanya perlu menarik nafas. Membukakan pintu dan mengajak masuk. Saya persilahkan duduk di lorong kesendirian. Mengajak berbincang di penghujung malam tentang berbagai persoalan.

Pada akhirnya semua juga akan  terselesaikan. Tentu bukan saya seorang diri yang merampungkan. Namun Tuhan yang bekerja melalui kepanjangan tangan. Tanpa keterampilan kerja dari kepanjangan tangan Tuhan, semua hanya sebatas impian.

Tidak perlu menyalahkan apalagi memburu kambing hitam. Saya hanya perlu jujur dengan kondisi diri. Bahwa kealpaan memang lekat dengan saya peribadi. Segala persoalan yang mendera tidak lepas dari sifat keakuan.

Rasa takut hanya sebatas utusan. Dia mengingatkan bahwa saya harus bebenah. Bahwa dalam diri saya masih banyak yang lemah. Saya harus memperbaiki keyakinan juga menambah kebajikan. Keduanya menjadi modal utama turunnya pertolongan dari Tuhan.

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabi'in, dan orang-orang Nasrani, barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati."[QS. Al-Ma'idah: Ayat 69]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun