Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport (2)

22 Februari 2019   14:03 Diperbarui: 22 Februari 2019   15:08 259 1
Usai menjabarkan filosofi lahirnya UU Minerba pada Bab 1, Simon kembali menyinggung UU Minerba pada Bab 2 (Regulasi yang Dibutuhkan). Namun Simon kali ini mengulasnya lebih kompleks, dengan mengurai persoalan pertambangan sejak era kolonial Belanda hingga era reformasi. Merunut sejarah aturan pertambangan itu, menurut Simon, sangat penting guna menangkap "suasana kebatinan" pada saat aturan tersebut diberlakukan. Bahwa kelahiran sebuah produk hukum selalu berkaitan erat dengan situasi pada zamannya.

Simon kemudian memaparkan aturan pertambangan di era Belanda, saat masih menggunakan produk hukum Indische Mijn Wet 1899. Di zaman Belanda, penguasaan tanah hanya diberikan kepada partikelir, yakni orang swasta Belanda ataupun orang pribumi yang dianggap berjasa. Dari sini jelas bahwa penguasaan tanah saat itu belum sesuai dengan semangat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Meski begitu, produk hukum Belanda itu masih tetap digunakan Indonesia hingga tahun 1960.

Barulah di era Presiden Soekarno, diberlakukan UU No 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan, yang secara otomatis menghapus berlakunya Indische Mijn Wet 1899. Kemudian, pada 1960, setelah Soekarno mendekritkan UUD 1945, Indonesia kemudian memiliki UU No 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan dan UU No 44 Prp Tahun 1960 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di sini, cerminan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 sudah terlihat.

Perubahan pun kembali terjadi pada tahap selanjutnya, ketika Soeharto menggantikan Soekarno. Situasi ekonomi Orde Baru yang masih morat-marit kala itu membutuhkan tindakan cepat untuk menyelamatkan perekonomian nasional. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun