Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ramadan Artikel Utama

Ramadan, Momen yang Tepat bagi Sekolah untuk Menghidupi Toleransi

28 Maret 2023   15:15 Diperbarui: 30 Maret 2023   08:40 1374 27
Tidak sedikit lembaga pendidikan non-muslim yang ada di Indonesia. Tempatnya menyebar. Ada yang berada di desa. Ada juga yang berada di kota.

Di Kudus, Jawa Tengah, misalnya, lokasi sekolah yang dikelola oleh lembaga non-muslim berada di kota dan sekitar kota. Tidak ada yang sampai berada jauh dari pusat kota.

Lembaga pendidikan tersebut memberi layanan dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga SMA/SMK. Hanya, penyelenggaranya adalah lembaga Kristen dan Katolik.

Saya yakin di daerah lain mungkin ada yang dari lembaga agama Budha, Hindu, dan yang non-muslim lainnya. Di Bali pasti ada lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan agama Hindu.

Beberapa waktu yang lalu saya melihat sebuah sekolah swasta yayasan pendidikan non-muslim  di daerah saya memasang banner ucapan selamat menunaikan ibadah puasa bagi saudara-saudara yang beragama Islam, di atas pintu gerbang sekolah.

Sebagian besar masyarakat yang melewati jalan di depan sekolah tersebut --kebetulan salah satu jalan protokol di pusat kota-- tentu saja melihatnya. Jadi, tepat sudah pemasangan banner ucapan selamat itu.

Saya sengaja turun dari motor saat melewati jalan itu. Melihat dan membaca tulisan dalam banner. Sembari mengamati aktivitas yang ada dan orang-orang yang berada di lokasi itu, saya memotret beberapa kali objek itu, memfokus ke arah banner.

Akhirnya, saya memiliki dokumentasi mengenai keberadaan banner ucapan selamat itu. Tentu juga situasi dan kondisi di lokasi tersebut, termasuk orang-orang yang berada di lokasi itu juga terdokumentasikan.

Ada penjual jajanan. Ada pak becak dan becaknya, ada satpam, ada murid, ada sopir penjemput, dan ada orangtua/wali murid. Dengan kata lain dapat digambarkan bahwa di tempat ini banyak orang.

Berdasarkan gambaran tersebut, menghidupi sikap toleran  dari dua kelompok besar, yaitu murid dan orangtua/wali murid, merupakan ikhtiar yang sangat mulia.

Ikhtiar ini dapat diraih ketika sekolah memastikan bahwa banner ucapan selamat tersebut tidak difungsikan (hanya) sebatas dipajang di atas pintu gerbang sekolah. Kemudian dibiarkan begitu saja selama bulan Ramadan.

Murid dan orangtua/wali murid harus diberi pemahaman secara benar adanya pemasangan banner ucapan selamat tersebut. Sekalipun mungkin sudah ada sebagian orangtua/wali murid yang mengetahui maksudnya.

Hanya, bukan mustahil pengetahuannya belum menyentuh pada substansinya. Karena, sangat mungkin orangtua/wali murid tidak menganggap banner ucapan selamat tersebut sebagai sesuatu yang penting.

Sebab, diakui atau tidak, kepentingan orangtua/wali murid pergi ke sekolah umumnya hanya untuk mengantar dan menjemput anaknya. Hanya sebatas itu.

Saya meyakini bahwa adanya banner ucapan selamat, yang sekalipun terpampang lebar dan mudah dilihat, kurang menjadi perhatian mereka.

Kalau gambaran orangtua/wali murid saja seperti itu, sudah pasti murid jauh lebih buruk. Artinya, mereka tidak memikirkan (sama sekali) banner ucapan selamat tersebut. Sebab, tujuan mereka pergi ke sekolah memang untuk belajar.

[Jangan-jangan malah ada orangtua/wali murid dan murid yang tidak mengetahui sama sekali bahwa sekolah memajang banner ucapan selamat bagi saudara-saudara yang menjalankan ibadah puasa. Jika ada, ini pasti fenomena yang memprihatinkan.]

Sebaiknya begini sekolah

Karenanya, semoga sekolah tidak menyia-nyiakan keberadaan banner ucapan selamat itu. Sejak awal pemajangannya, sekolah tentu sudah memiliki harapan mulia.

Dan, harapan mulia itu harus dimengerti oleh orangtua/wali murid dan murid. Mereka tidak sekadar mengetahui bahwa di sekolah ada banner ucapan selamat bagi pemeluk agama lain.

Kalau sekadar itu maka bisa dipastikan bahwa manfaat pemajangan banner ucapan selamat belum maksimal. Karena orangtua/wali murid dan murid belum merasa bahwa mereka ada di dalamnya.

Selama ini masih banyak pihak yang beranggapan bahwa pemajangan banner ucapan selamat hanya "suara" pengurus atau pengelola lembaga yang memajangnya.

Kalau sekolah yang membuat dan memajangnya, isi banner  berarti hanya mewakili "suara" komite sekolah, guru, karyawan, dan kepala sekolah.

Padahal, sejatinya tidak demikian menurut pandangan saya. Banner ucapan selamat, seperti saya melihatnya di salah satu sekolah swasta yang sudah saya sebutkan di atas, semestinya tidak dipahami hanya "suara" komite sekolah, guru, karyawan, dan kepala sekolah.

Tetapi, juga "suara" murid dan orangtua/wali murid. Sebab, murid dan orangtua/wali murid bagian dari sekolah. Keberadaan mereka tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan sekolah di tengah masyarakat.

Jika demikian keberadaannya, maka banner ucapan selamat yang dibuat dan dipajang oleh sekolah ini berarti menyuarakan pikiran dan perasaan semua warga sekolah, yang terdiri atas komite sekolah, kepala sekolah, guru, karyawan, murid, bahkan juga orangtua/wali murid.

Maka, sangat tepat kalau seperti halnya komite sekolah, kepala sekolah, guru, dan karyawan, murid dan orangtua/wali murid juga menghayati ucapan selamat yang terpampang dalam banner di atas pintu gerbang sekolah tersebut. Ini membutuhkan peran sekolah dalam mengomunikasikannya.

Penghayatan ini (akan) mengantar murid dan orangtua/wali murid mengerti dan merasakan secara sungguh-sungguh adanya pembuatan dan pemajangan ucapan selamat bagi pemeluk agama lain.

Dengan begitu, murid dan orangtua/wali murid bersama komite sekolah, kepala sekolah, guru, dan karyawan --sebagai warga sekolah-- memiliki spirit yang sama di dalam menghidupi toleransi terhadap sesama dalam konteks perbedaan apa pun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun