Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Mama Migo dan Pelajaran Toleransi Beragama

31 Desember 2014   18:16 Diperbarui: 21 Agustus 2018   15:09 80 0


“Coba lihat anak mama Migo, mereka rajin sekolah walau harus berjalan kaki.”

Itu yang berulang kali disampaikan oleh ayah atau ibuku kepada kami, anak-anak mereka. Bukan… bukan karena kami ber-4 malas sekolah. Sama sekali tidak, insyaAllah, dalam prestasi belajar, kami tidak pernah mengecewakan orang tua. Orang tua kami menyampaikan itu sebagai bentuk pompaan semangat agar kami gak pernah males buat bersekolah.

Mama Migo, ya penduduk di kampung biasa memanggil namanya dengan sebutan itu. Migo itu nama anak tertuanya. Mereka adalah keluarga minoritas di lingkungan kami. Mereka Batak, berasal dari Medan dan beragama Kristen. Beda sekali dengan penduduk sekitar yang semuanya Islam dan mayoritas berasal dari Sumatera Selatan.

Ketika kami pindah ke lingkungan ini tahun 1993 lalu, keluarga Mama Migo sudah berada di sana. Perlahan, perkenalan berlanjut ke hubungan antar tetangga yang baik. Bahkan bisa dibilang sangat baik. Mereka keluarga yang sederhana yang sangat memperjuangkan hidup. Ya, seperti yang aku bilang tadi, anak-anak mereka (4 orang) biasa bersekolah berjalan kaki. Jaraknya cukup jauh bisa 2 Km. Mau panas, mau (sedikit) hujan, mereka biasa selalu berjalan beriringan. Nah, jika kebetulan sepapasan, ayah akan dengan senang hati menumpangi mereka sampai ke jalan besar. Karena itulah, mau tidak mau ada ikatan keakraban antara keluarga kami dan keluarganya.

Alhamdulillah, kami tumbuh dalam didikan orang tua yang sangat….. Sorry, aku harus capslock. Ya, SANGAT menghargai perbedaan. Ini hal sederhana namun terus terang tidak semua keluarga mampu menerapkan ini. Ada keluarga yang secara terbuka memproteksi anak-anak mereka untuk tidak terlalu berdekatan dengan keluarga seperti Mama Migo ini. “Jangan sering-sering main sama mereka. Mereka Kristen, nanti kamu terpengaruh (?)” (?) terpengaruh apa sih? Gak jelas banget, kan?

Ada satu anak Mama Migo yang seusiaku, namanya Edo. Ya, dulu sama Edo inilah aku paling akrab. Soalnya sering main bareng dan belajar bareng. Kebanyakan sih Edo yang main ke rumah. Aku bukannya gak mau main ke rumah mereka. Tapi mereka pelihara anjing, dan aku suka keringat dingin tiap kali lewat rumah mereka dan anjing mereka mengguguk. Hehe, selebihnya sih, intensitas komunikasi sangat baik. Pada intinya, bisa dibilang sohibnya ibukku di lingkungan masyarakat ya Mama Migo ini.

Balada Telepon

Tahun segitu –Pertengahan tahun 1990-an, masih sedikit sekali orang yang memiliki telepon rumah. Apalagi telepon genggam ya, bisa dibilang itu barang mewaaah banget. Kami tinggal di kampung kecil yang mandi dan minum aja masih pakai air sumur. Nah, ada salah satu tetangga yang pasang telepon rumah. Aku ingat, tetangga ini sempat misuh-misuh (baca : marah) tiap kali menerima telepon dari keluarga Mama Migo yang ada di Medan sana. Ya, Mama Migo sadar bahwa si tetangga sebal dia menumpang MENERIMA telepon. Memang agak ribet sih, jika ada telepon, si tetangga ini harus mendatangi rumah Mama Migo, cuma, kan ya gak susah-susah banget. Hitung-hitung bersedekah, kan?

Hal-hal remeh temeh semacam ini jika berhubungan dengan keluarga mereka yang minoritas itu bisa jadi agak ‘heboh’. Pernah juga, ada tetangga lain lagi yang rumahnya lebih dekat dengan rumah Mama Migo marah karena ketika Mama Migo meninggikan dapurnya, pasir untuk timbunan diletakkan di sisi jalan. “Kadang aku sedih yuk Eva, pasir itu kan tidak menutupi jalan, dia bilang jalanan bisa kotor,” curhat mama Migo ke ibukku. Hmm… memang susah ya jika ada orang yang gak bisa ‘hidup’ bertetangga semacam itu. Alhasil undukan pasir dipindahkan ke depan rumah kami. Kasihan tukang aja yang harus mengangkut pasir karena jaraknya lebih jauh.

Oleh-oleh dan Makanan

Mama Migo rutin main ke rumah kami. Biasanya sore-sore dia datang untuk ngobrol macem-macem sama ibukku. Paling sering sih saling tukar resep masakan :) Mama Migo-lah yang mengajari ibukku masak ikan mas kuning bumbu aceh. Lebaran lalu, seharian mama Migo ke rumah ngajarin ibuku bikin kue keranjang.

Oh ya, paling asyik itu kalau Mama Migo sudah mudik ke Medan. Yihaa, biasanya beraneka kue (Bingka Ambon salah satunya) pasti diberikan kepada kami sebagai oleh-oleh. Enyaaaakkk…. Aku lupa lebaran tahun kapan ya, Mama Migo memberikan kami kue-kue kering dan pempek. “Bang, kasih tahu ibuk, ini kata mama pempeknya bikin sendiri, tapi cukanya beli,” ujar si Bungsu Mega ketika mengantarkan pempek ke rumah.

Begitupun sebaliknya, Natal minggu lalu, gantian ibukku yang memasakkan tekwan buat mereka. Eh ketika wadah tekwannya dikembalikan, diisi beberapa bungkus kue kering. Harmonis banget kan ya? Pokoknya, nih orang sohib ibukku banget. Ya sama kami-kami juga cukup akrab. Walaupun kadang-kadang Mama Migo ini agak kepo sih hahaha. “Yan, mana pacar kamu?” atau, “Mana gaji pertamamu, bagi-bagilaaah,” ujarnya bercanda.

Oh ya, keluarga Mama Migo ini Kristen yang taat. Tiap minggu pagi pasti ke gereja. Beberapa acara keagamaan pun sering diselenggarakan di rumah mereka. Jadinya kan kami cukup kenal beberapa keluarga mereka yang lain karena suka nitip mobil di halaman rumah. “Yan, nanti sore aku nitip mobil, ya!” ujar Mama Migo. Ya seperti acara kebaktian (kalo di Islam, kayak yasinan gitu kali ya). Acara ini bergantian antara satu keluarga ke keluarga lain (masih satu marga mungkin?). Kalo sudah begitu, ya jelas kami kecipratan makanan lagi dong hihihi. Namun tenang, Mama Migo sangat ngerti mana yang bisa kami konsumsi, mana yang tidak. Jadi amanlaah :)

Keakraban yang berlebihan?

Sempat ada desas-desus di sekitaran lingkungan dari beberapa tetangga yang menilai hubungan keluarga kami dan keluarga Mama Migo terlalu berlebihan. Hehe, biasalah, tetangga lain kan suka kepo dan (mungkin) agak sirik hehehe. Bayangin, sama Mama Migo, ibukku bisa pinjemin baju, peralatan masak (macam kompor atau wajan besar, maklum ibuku kan perlengkapan masaknya lengkap, namanya aja tukang katering). Gak terhitung berapa kali ibukku dan mama Migo jalan bareng. Ke pasarlah, ke rumah sakitlah (check up bareng), ke pasar loak bareng hehehe. Bahkan kedua ponakanku suka diajak juga sama si Opung ini naik TransMusi –busway. Daya jelajahnya Mama Migo ini kan jempolan haha, maklum sangat mandiri dan biasa kemana-mana. Beda sama ibukku yang mental “penumpang” buahahahaha. Eh gak juga ding, ibukku juga jago kemana-mana seorang diri. Cuma ibukku ini doyan banget nyasar hehehe, ke mall aja bisa tersesat loh *lol* eh balik lagi ke Mama Migo.

Ayah-Ibukku sangat respek sama keuletan keluarga Mama Migo ini. Mereka sangat disiplin, gak neko-neko dan anak-anak mereka sekarang semua berhasil. Edo dan bang Migo sekarang jadi polisi. Mbak Endang pernah satu kantor denganku dulu di salah satu bank, dan si bungsu Mega kini kuliah sambil bekerja. Bandingkan sama keluarga-keluarga lain yang mencemoh mereka? Hmm, senyum sajalah. “Wui Mama Migo, hujan nih, naik becak sajalah, sayang banget sama duit,” ujar salah satu tetangga tanpa tedeng aling-aling. “Ah, Cuma rintik kecil ini saja, mending jalan kaki, sehat,” jawabnya dengan senyum dan logat bataknya.

Mungkin diantara para tetangga, cuma anak-anak Mama Migo ya yang menyimpan nomor ponsel pribadi ayahku. Memang itu dibutuhkan kalau-kalau ada keadaan yang mendesak. Misalnya saja dulu ketika hampir tengah malam Mama Migo sakit, ayah dan ibukkulah yang mengantar ke rumah sakit. Itu kejadiannya beberapa tahun lalu. Sekarang sih keluarga Mama Migo sudah punya kendaraan sendiri. Suami mbak Endang juga punya mobil jadi sekarang amanlaaah :)

Oh ya omong-omong, baru ketika mbak Endang menikahlah aku masuk gereja untuk pertama kalinya ;) melihat beberapa prosesi pernikahan ala Batak. Menarik banget, masing-masing tamu disediakan tempat duduk terpisah sesuai marga *cmiiw*. Di gereja itu pula aku melihat acara pelelangan *cmiiw lagi* beberapa bagian tubuh babi. Ada kepala, kaki dsb. Haha, rada ngeri sih ngelihatnya. Tapi, Mama Migo sudah menyiapkan catering khusus bagi tamu-tamu yang beragama Islam. Uniknya ya, pengantin sempat keluar ke bagian halaman gereja (tempat tamu muslim dikumpulkan) dan pengantin juga didoakan cara islam :) nice kan?

Toleransi yang utama

Alhamdulillah, sekali lagi aku hidup dalam didikan orang tua yang sangat menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama. Bahkan dulu di kuliah, satu kelas lengkap 5 agama! :D gak kebayang dong betapa serunya ketika Lebaran, Natal, Diwali atau Sincia tiba? Semua heboooh haha. Kalo lebaran, mereka berkunjung (baca : nyerbu) ke rumahku. Begitupun kalo temen-temenku merayakan hari besar agama mereka. Toleransi kami sangat solid dan keakraban kamu melebur tanpa ada bumbu-bumbu intrik agama. Bahkan, bisa dibilang sahabat-sahabatku kebanyakan yang agamanya berbeda denganku. Namun begitu, sekali lagi, kami tidak mengkotak-kotakan komunikasi kami hanya karena perbedaan itu.

Pasca kejadian yang dialami AirAsia, heboh kan tuh ada yang mengait-ngaitkan hal ini dengan agama. Ada yang menyumpahi keluarga pendeta-lah dsb dsb. Miris sekali… Cuma bisa berharap, semua teman-teman yang beragama Kristen tidak lantas tersulut emosi. Hmm, siapa ya yang bilang? Kurang lebih begini. “Kita bertanggung jawab untuk menjaga kewarasan diri kita sendiri.” So, kali tuh orang-orang tingkat kewarasannya patut dipertanyakan, ya semoga kita gak jadi ikut-ikutan ‘terjerumus’ kayak mereka hehe.

Mama Migo kini telah berpulang kepangkuanNya

“Yan, Mama Migo meninggal,” ujar uwakku ketika aku pulang ke rumah Senin kemarin (29/12/14). Duaaar… itu kabar yang sangat mengagetkan. “Ibu sudah tahu?” cercaku. “Ibu lagi ke dokter,” sahut uwakku. Bergegas aku menelepon ibu dan ayah. Jelas, reaksi mereka sangat kaget. Untuk urusan di dokter sudah selesai. Mereka langung pulang.

Malam itu kami satu rumah langsung ke rumah Mama Migo. Tetangga sudah ramai berkumpul. Miris sekali… di hari Senin itu, Mama Migo pergi ke mall bersama Mega. Tujuannya untuk membelikan baju ibunya Mama Migo yang habis merayakan Natal di Palembang. Di mall, mereka berpisah, Mega langsung bekerja dan Mama Migo pulang naik bus seperti biasa.

Tepat di atas Jembatan Ampera, bus berasap dan penumpang meloncat panik keluar bus. Nah cerita masih belum jelas, apakah Mama Migo meninggal karena serangan jantung karena panik atau meninggal karena jatuh dan kepalanya terbentur. Beliau meninggal di tempat jam 3 sore. Satu hal yang menjadi keluarga Mama Migo emosi adalah, di saat kejadian ada saja pihak-pihak yang memanfaatkan hal tersebut untuk menjarah dompet dan handphone-nya Mama Migo sehingga keluarga mereka baru mendapat kabar tersebut jam 8 malam!!!

Kami menunggu jenazah Mama Migo pulang ke rumah hingga jam 11 malam. Aku ikut membantu mengangkat ranjang kecil dari kamar untuk ditempatkan di ruang tengah. Pilu mendengar tangisan Mega si bungsu sedangkan keluarga lain masih dalam perjalanan karena bang Migo dan Edo tugas di luar kota. Sampai detik ini, ibukku terus saja bercerita akan kebaikan-kebaikan mama Migo dan kilasan-kilasan peristiwa jalinan persahabatan mereka. Ah….

Selamat jalan Mama Migo, semoga amal kebaikanmu diterima Tuhan. Amin.

*Catatan mengenang satu sosok baik yang pernah ada dalam kehidupan keluarga kami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun