Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sore

5 April 2021   22:22 Diperbarui: 5 April 2021   22:25 320 5
Matahari sudah condong ke barat, ashar sudah lewat. Na, perempuan itu terlihat gelisah.

"Na, sudah selesai?" Tanya perempuan yang sudah memasuki monoupause

"Sudah Mak,"

"Cepatlah, kalau kelamaan terlalu sore akan panjang antriannya!"

"Baik Mak!"

Na beranjak, hari ke sekian bolak balik berobat tradisional ke rumah seorang ahli saraf. Setiap siang, Na merasa ngilu, begitu hari memasuki sore dia merasa ketakutan.

"Kau harus tabah" pesan Li, kekasihnya melalui pesan singkat.

"Apa aku terlihat tidak tabah?"

"Kamu terlihat Tabah. Aku ngomong kayak gitu bukan karena dirimu tidak tabah. Tapi mengingatkan."

Persoalan itu sering jadi perdebatan antara mereka, kadangkala berbutut panjang pada pertengkaran. Akhir-akhir ini hubungan mereka memburuk. Li sibuk dengan pekerjaannya dan persiapan pernikahan mereka juga tertunda, Na terserang penyakit. Mereka saling memunggungi.

"Na, cepatlah." Teriak Ibunya.

Na melangkah cepat. Entah cerita apa yang ditemui sore ini. Sore lalu, seorang lelaki berusia 30 tahun, belum menikah terkena struk setengah badan, tangannya cengkok.

"Saya bahkan ditinggalkan menikah oleh perempuan yang saya cintai ketika semua persiapan sudah mantap namun tiba-tiba saya struk dan semuanya berlalu begitu saja"

Sudut mata lelaki itu sudah tidak punya penyesalan lagi, dia tersenyum dengan mulut tidak sempurna saat menceritakan itu. Na sudah sebelas hari bertemu dengan lelaki itu, mereka sudah sering bercerita dimulai dari basa-basi "sakit apa?"

Perjalanan terasa singkat, pintu rumah tukang urut seolah lubang gua kelam yang tidak ada cahaya bagi Na, seumpama memanggilnya pada kematian sementara. Na memasuki rumah tersebut.

"Sudah datang Nong? Coba tertawa dulu" sapa sang pengobat

Na tertawa. Abu Yed, begitu lelaki tua yang tidak pernah segan mengetok kaki, tangan, menarik dan memperapat kepunyaan pasiennya, tidak peduli pada teriakan mereka.

"Alhamdulillah, mulai membaik. Masih gugup hari ini?"

Na kembali tersenyum, tidak menjawab.

"Sakit apa?" Tanya seorang nenek yang memangku tangannya, terkena struk.

"Ini" tunjuk Na.

"Penyakit tidak pernah memandang usia ya."

Antrian masih panjang. Beberapa pasien saling bercakap-cakap, membandingkan diri dengan keadaan orang lain. Teriakan-teriakan terdengar, lelaki yang sedang diobati tidak tahan untuk tidak teriak.

Sebuah kursi roda di dorong masuk, di atasnya seorang anak lelaki seusia Na duduk dengan kepala miring, tangan cengkok, kaki cengkok dan mulutnya miring. Mereka duduk di dekat Na. Na sedang tidak ingin memulai percakapan, ia diam saja.

"Sakit apa?" Tanya si ibu lelaki itu

"Ini" Tunjuk Na pada bagian wajah

"Sudah lama?"

"Belum, langsung di bawa kemari" jawab Ibu

"Ada kurang?"

"Lumayan"

"Kami juga, dia begini sejak semeter dua dan ini sudah beberapa bulan lumayan, sudah bisa duduk sebelumnya harus tiduran"

"Betul, harus dibawa terus. Meski hujan badai"

"Iya, pengennya sembuh dan bisa seperti dulu lagi"

"Setidaknya ikhtiar"

Na sudah tidak menyimak lagi pembicaraan tersebut, ia sudah gugup, sebentar lagi gilirannya.

Pengobatan itu selesai, air mata Na tidak berhenti mengalir, ia menahan sakit tanpa berteriak.

"Semoga cepat sembuh" doa Nenek yang antri setelah Na.

Di sana unik sekali, kadang menertawakan kawan yang sedang diobati dan berteriak-teriak, kadang saling mendoakan agar segera sehat. Lebih banyak saling mendoakan. Na menatap lelaki di atas kursi Roda, menyeringai, lelaki itu tersenyum. Na mengangguk lantas pamit pulang pada semua orang.

Begitu kaki menginjak rumah, deringan telepon masuk. Sebuah panggilan video.

"Apa kabarmu kekasih?" Begitu diangkat wajah Li jelas terlihat di sana, segar.

"Aku, begini saja!" Na menyeringai

"Bagiku, kau semacam tidak sakit, kau masih cantik seperti ingatanku pada awal bertemu di teluk lalong"

"Halah, alasanmu. Paling karena di depanku saja"

" Segala dosa yang kita lakukan bersama dan bahkan barangkali aku yang menjadi pemicu, aku meminta maaf, lalu memulai lembaran baru masih denganmu."

"Kok keren?"

"Akukan penggemar El Sahdawi hahaha. Di hari hari ini mungkin kau capek, tapi dengan memutuskan bertahan itu artinya kau masih menjadi pemuja harapan dan doa. Masih meyakinkan diri bahwa jodoh itu adalah mereka yang bertahan."

"Ah sudahlah, aku mau buat obat dulu. Tapi sebentar, kutanya dulu. Apa aku masih menarik?"

"Siapa bilang tidak? Kalau aku pemuja fisik sejak dulu kau tidak menarik. Kaj menarik bukan karena fisikmu, ada ketenangan setiap kali kau bilang bahwa kau bersedia ikut denganku kemanapun aku pergi jika menikah denganmu!"

"Bahasan itu lagi!"

"Hei, kau harus mengenal dirimu lebih baik Na! Kau sakit dan sekarang kau harus mengenal semua kekuatan itu, menemukan dirimu seperti yang kutemukan"

"Lantas siapa yang akan menikahi perempuan sakit yang saban sore menggigil?"

"Aku! Lihat saja nanti!"

***

Sore itu nyatanya jadi terakhir percakapan, Li menghilang. Ia tidak pernah lagi menghubungi Na. Na? Masih menjalani hidupnya senormal mungkin. Dia tidak berhenti. Meski terbaring masih mengajar, tidak peduli apapun. Anehnya lagi, murid-muridnya, tidak pernah berhenti belajar. Mereka menyukai Na.

"Sudah kubilang, tidak ada yang ingin menikahi orang sakit. Menyusahkan saja!" Ujar Na ketus setiap kali ditanya apakah Na mau menikah.

Sore itu, rutinitasnya masih sama. Na sudah lama tidak menggunakan media sosial. Dia hanya memakai fasilitas telpon sms.

Begitu matahari condong ke barat, sedikit lagi akan tenggelam, Na baru pulang berobat. Di depan rumahnya, seorang lelaki dengan postur yang sangat familiar menyambut Na.

"Maaf, aku sudah berusaha menghubungimu lewat pesan di media sosial namun kau tidak pernah membalas dan aku menyusulmu hingga ke sini."

Li, lelaki itu. Kekasihnya setahun lalu menghilang tanpa kabar. Kekasih yang sudah mempersiapkan pernikahan namun terputus pada segala komunikasi. Nyatanya? Sore terakhir panggilan video mereka, hujan lebat. Musibah melanda kampung Li, Na tau itu dia mencoba mencari kabar tapi hasilnya nihil. Keluarga Li adalah salah satu korban. Syukurnya mereka semua selamat meski harus terlunta-lunta beberapa purnama karena musibah itu. Li baru bisa mencari Na sekarang setelah semuanya membaik.

"Kau bertanya siapa yang akan menikahi perempuan sakit yang mengigil saban sore bukan? Maka pada sore juga aku ingin kau menikah denganku, aku tidak peduli kau sakit atau sehat. Aku menikah karena orangnya kau, bukan yang lain"

"Tapi kenapa?" Na sesegukan

"Karena aku memilihmu. Aku mendapati kabar dari media yang menuliskan seorang perempuan lumpuh masih mengajar dan ketika kuperhatikan itu kau, dibubuhkan alamat di sana. Aku tidak menyangka kau pindah!"

"Aku harus berkomentar apa?"

"Terserah kau. Aku butuh jawabanmu dan kuharap jawabannya iya. Aku sudah menempuh perjalanan 21 jam penerbangan pesawat, 8 jam perjalanan darat untuk menemuimu!"

Ibu Na mulai menderas tangisannya. Lantas tanpa basa-basi memeluk Li.

"Terima kasih sudah mencari gadis keras kepala kami. Dia tidak pernah berhenti bekerja sekalipun sakit. Dia tidak pernah mengeluh pada semuanya."

"Maafkan aku mak, terlalu lambat datang."

Mereka saling menangisi, Na mematung. Apa yang difikirkan oleh lelaki gila di hadapannya itu? Menikahi perempuan sakit yang saban sore menggigil.

"Berdirilah di gerbang kesakitan, pada teriakan yang bisa kudengar bahwa aku masih mendampingimu pada sakratulmaut yang Tuhan tentukan!" Ujar Li

"Halah, omong kosong. Saban sore aku berdoa ada lelaki gila yang mengucapkan kata serupa itu. Kenapa kau muncul?"

"Sebab aku cukup gila menurut Tuhan."

Pernikahan terlaksana sore berikutnya, semua orang desa bersuka cita. Teriakan-teriakan sore hari di pengobatan altenatif berurai ucapan selamat, sebab sore berikutnya Na sudah tidak diantar ibunya tapi diantar Li, mereka masih terus berusaha mengobati, sebab itu satu-satunya cara sebelum mati.

"Pada moncong maut sekalipun kau berdiri, aku mendampingimu. Aku berjanji dengan Tuhan bukan pada kau, saat mengucapkan kuterima nikahnya..."
Ucap Li

"Semoga Tuhan selalu menganugerahkan lelaki gila sejenis ini pada setiap perempuan yang mengigil takut kala sore hari" doa Na, lama dan dalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun