Mohon tunggu...
KOMENTAR
Gaya Hidup Pilihan

Kejadian di Hari Ahad

4 Oktober 2015   14:53 Diperbarui: 4 Oktober 2015   14:53 80 1
Aku sempat menyerah. Memasuki bus Primajasa Garut-Lebak Bulus yang masih dibukakan pintu itu, aku kira di dalamnya masih kosong atau setidaknya ada tempat duduk untukku. Ternyata... penuh sesak. Mau tidak mau aku harus berdiri dengan tangan menggenggam besi dan tas ransel membebani pundak. Berat, kesal, penuh, sesak.

Hampir setengah jam lamanya aku berdiri di dalam bus. Iri melihat orang lain yang duduk santai bahkan nyenyak tidur. Hanya aku dan seorang pemuda di belakangku yang berdiri. Pikiran negatif mulai bermunculan, “Bagaimana kalau sampai Jakarta aku terus berdiri? Masak sih terus berdiri seperti ini? Kalau berdiri ongkosnya sama rugi dong! Kesel!!!” ungkapan itu terus bersahutan dalam hati, ya apa boleh buat. Aku hanya bisa menggerutu dalam kediaman, tanpa seorangpun yang pengertian.

Dalam berdirinya kedua kakiku, otakku menyempatkan untuk berpikir dan berkelana menuju sebuah cerpen karya Om Gol A Gong. Dalam cerpen karyanya (entahlah judulnya apa, aku lupa) tersebutkan bahwa tokoh utama dalam cerpen itu adalah seorang laki-laki mulia yang sealu memberikan kursi bus nya kepada orang-orang yang membutuhkan, misalnya orang tua, ibu-ibu, atau perempuan. Aku berandai-andai dalam rintihan pundak yang semakin pegal, “Andai saja ada seorang tokoh dalam cerpen itu di dunia nyata, wuuuh... sungguh menakjubkan, sayangnya di zaman ini sepertinya sudah tidak ada lagi orang seperti tokoh dalam cerpen Om Gol. Memang cerpen hanya fiksi, ilusi, jangan berharaplah Nid...”

Aku sudah pasrah dengan keadaan, biaralah aku menggantung dan tegap sampai Jakarta. Aku coba menerima keadaan bus yang padat ini hingga Pak Kondektur mendekat, “Turun di mana Teh?” tanyanya sambil menyerahkan karcis. Wajahku semakin lusu, dalam hati: Huh, ternyata yang berdiri juga masih bayar, mahal lagi, “Turun di Jakarta,” mukaku kusut sambil merogoh ransel, kesusahan. Ya iya lah, satu tangan dipakai untuk bertahan dalam keadaan berdiri dan satu lagi membuka resleting, bagaimana nggak susah? Sepersekian detik kemudian Pak Kondektur menyahut (mungkin iba melihat aku yang susah payah), “Itu Teh, pindah saja ke sana, Alhamdulilah ada yang masih berbaik hati.” Aku dapati seorang bapak muda berdiri dari tempat duduknya lalu meraih besi panjang yang berada di atas tempat duduk. Aku merasa bersyukur sekali. Alhamdulillah bisa duduk. “Terima kasih, Pak...” ungkapku. “Iya, iya, sama-sama Neng...” Tak ada kecewa, hanya tulus yang aku tangkap.

Astagfirullah, dari kejadian itu aku ditegur oleh Allah. Aku sempat suuzhan kepada orang dan kepada Allah. Hipotesisku salah. Ternnyata masih ada orang yang tulus dan memberi kenikmatannya kepada orang lain seperti bapak muda itu tadi. Aku semakin diingatkan akan ini:

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ

“Janganlah salah seorang di antara kalian mati melainkan ia harus berhusnu zhon pada Allah” (HR. Muslim no. 2877).

Semoga menjadi pengetuk hati.

Kejadian di hari Ahad, 13 Apri 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun