Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih Pilihan

Pilkades Ditunda, Pilkada Tetap Lanjut: Menjemput Kematian

22 September 2020   07:52 Diperbarui: 22 September 2020   07:59 126 8
Mendagri Tito Karnavian Tunda Seluruh Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa Tahun Ini. Begitu judul berita di Tribunnews.com edisi Senin, 21 September 2020. Ada tambahan tulisan "Breaking News".

Saya senang dong. Senyum saya mengembang. Akhirnya Pilkada serentak ditunda oleh seorang menteri bernama Tito Karnavian. Lega saya. Ada pembantu presiden yang membantah atasannya.

Eh ternyata otak saya dan mata saya tidak nyambung. Mata membaca sesuai judul berita, tapi otak saya membacanya "Mendagri Tito Karnavian Tunda Seluruh Pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah Tahun Ini".

Yang tadinya senang, ekspresi saya jadi berubah kesal. Ya kan jadi tidak nyambung. Pilkades ditunda, tapi pilkada tetap lanjut. Korelasinya di mana coba? Apakah dengan pilkades ditunda berarti pelaksanaan pilkada jadi aman begitu dari Covid-19?

"Pilkades ini ditunda semua, ada 3.000. Pilkades kita tunda karena tidak bisa kita kontrol. Itu kan yang melaksanakannya panitianya adalah bupati," ujar Tito dalam webinar, Minggu (20/9), begitu katanya. Alasannya ya karena ingin mencegah penularan Covid-19.

Kalau alasannya demikian, ya pilkada 2020 juga harus ditunda. Apa ada jaminan penyelenggaraan pilkada tidak terjadi penularan. Apalagi KPU tidak melarang kampanye dan tidak melarang juga konser musik saat kampanye. Urgensi apa ya kalau pilkada tetap dilaksanakan?

Pilkada selalu diidentikkan dengan "pesta rakyat". Yang namanya pesta berarti berpotensi memunculkan kerumunan. Dan, sebagaimana dipahami kerumunan menjadi salah satu penyebab mudahnya terjadi penularan Covid-19.

Pesta pernikahan saja yang digelar di tengah pandemi dibubarkan begitu saja oleh petugas, masa "pesta rakyat" yang jumlah kerumunan bisa melebihi kerumunan "pesta pernikahan" tidak dibubarkan?

Ya kan itu namanya tidak adil. Pilih kasih. Tidak tegas. Tidak responsif. Ambigu. Jadi, wajar saja kalau rakyat banyak yang tidak patuh menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Lha pemimpinnya saja mencla mencle. Plin plan.

Ya memang sih Presiden Jokowi berulang kali mengingatkan untuk mewaspadai klaster Pilkada, tapi di sisi lain menyatakan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 harus tetap dilaksanakan di tengah pandemi virus corona (covid-19). Presiden Jokowi tak setuju jika Pilkada 2020 harus ditunda.

"Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap sesuai jadwal, 9 Desember 2020, demi menjaga hak konstitusi rakyat, hak dipilih dan hak memilih," kata Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, Senin (21/9/2020).

Nyambung tidak sih itu omongan Presiden? Kalau begitu, pilkada ya lebih baik ditunda saja daripada keselamatan rakyatnya terancam. Apa ada jaminan tetap aman? Tidak ada ruginya juga kan ditunda?

Kalau tetap dilaksanakan namanya ya nekat karena saat ini positivity rate di Indonesia lebih dari 10 persen. Positivity rate adalah rasio jumlah kasus konfirmasi positif Covid-19 berbanding dengan total tes di suatu wilayah. Data terakhir dari Kementerian Kesehatan per Minggu, 20 September, malah menyebutkan jumlah positivity rate Indonesia mencapai angka 14,2 persen. Mengerikan sekali, bukan?

Presiden lantas merujuk Korea Selatan, Prancis, Singapura yang tetap melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) di tengah pandemi Covid-19. Memang benar negara-negara itu menyelenggarakan "pesta rakyat", namun yang harus diingat positivity rate-nya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia.

Korea Selatan, misalnya, melaksanakan pemilu pada 15 April dengan positivity rate di hanya berkisar satu persen. Prancis yang pada 28 Juni melaksanakan pemilihan umum dengan jumlah positivity rate di angka dua persen. Singapura melaksanakan pemilu pada 10 Juli dengan tingkat positivity rate dikisaran tiga hingga lima persen. Jauh banget kan perbedaannya?

Kalau banyak orang terkena Covid-19 kan berarti keadaan negara dalam bahaya. Nyawa banyak manusia terancam, petugas kesehatan keteteran, rumah sakit penuh, tempat pemakaman khusus Covid-19 bisa jadi juga penuh, persediaan obat menipis, uang negara juga semakin terkuras, dan ekonomi semakin melemah. Ah, resesi sudah di depan mata ini.

Di saat masyarakat dihimbau untuk tidak berkerumun lha kok jadi kontra begini pernyataannya. Apalagi si coro sudah menembus klaster keluarga. Yang namanya keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat.

Bayangkan, unit terkecil saja sudah berhasil ditembus oleh Covid-19. Ngeri saya. Bagaimana tidak khawatir mengingat klaster keluarga bisa berkontribusi hingga 85% terhadap peningkatan kasus positif Covid-19. Bahaya banget kan?

Wilayah saya tinggal saja, di Kelurahan Pondok Jaya, Depok, sudah ada yang terkena. Yang menjadikan wilayah tempat tinggal saya ini berada dalam zona merah, yang sebelumnya zona hijau. Kota Depok, Jawa Barat, sendiri masih zona merah dalam penyebaran Covid-19, bahkan dari data Provinsi Jawa Barat Kota Depok nomor satu penyumbang tertinggi penyebaran Covid.

Ketua RW di wilayah saya berkali-kali mengingatkan para Ketua RT dan anggota Satgas Covid-19 untuk mencermati perkembangan kasus Covid belakangan ini. Ia memohon warga di lingkungan masing-masing untuk patuh dan waspada. Karena, saat ini, katanya, sudah 3 RT melaporkan ada kasus, dan 1 lg dalam konfirmasi.

"Kita belum memasuki tahap normal, malah sebaliknya kita sedang memasuki fase ledakan baru dari klaster perkantoran. Mohon protokol di masing-masing warga dilaksanakan. Sekiranya tidak urgen atau bisa ditunda, event yang melibatkan banyak orang sebaiknya dihindari, termasuk olahraga. Semoga Allah melindungi kita semua. Aamiin," begitu himbauan Ketua RW yang menyebar di group warga.

Setelah Covid-19 sudah menembus benteng pertahanan keluarga, apa akan kita biarkan Covid-19 menciptakan klaster pilkada? Itu sama saja kita memberi angin kepada si Coro ini. Itu sama saja artinya Bapak Presiden membiarkan rakyat menjemput kematian di gerbang pilkada.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun