Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Persoalan Mudik dan Haji di Tengah Pandemi Covid-19

2 April 2020   19:10 Diperbarui: 3 April 2020   19:50 111 0
Virus Covid-19 yang tak kunjung mereda jelang Ramadhan membuat kita bertanya-tanya. Apakah kondisi seperti ini akan terus berlanjut hingga Hari Raya Idul Fitri atau bahkan Idul Adha nanti?

Hari Raya Idul Fitri merupakan hari penting bagi umat Islam di dunia, tak terkecuali Indonesia. Berkumpul bersama keluarga dan silaturahmi telah menjadi tradisi yang tak pernah lepas dari kehidupan umat Islam di tanah air. Momen tersebut sebisa mungkin tak boleh dilewatkan, sehingga jelang Hari Raya Idul Fitri terjadilah arus mudik dimana banyak warga yang kembali ke kampung halaman. Termasuk WNI yang bekerja di negara lain alias TKI.

Namun semua itu berubah semenjak pandemi Covid-19 menyerang. Rakyat Indonesia dihimbau untuk tidak kembali ke kampung halaman. Meski tidak dilarang, mereka yang memilih pulang akan berubah statusnya menjadi Orang Dalam Pengawasan (ODP) sehingga harus dikarantina mandiri selama 14 hari.

Sumber : Kumparan [Jokowi Tak Larang Mudik Lebaran, tapi Pemudik Berstatus ODP]

Bagi sebagian rakyat Indonesia yang berada di tanah air mungkin masih bisa meredam rasa rindu pada keluarga dan menahan keinginan untuk mudik. Apalagi ada kesadaran diri untuk tidak pulang demi keselamatan keluarga di kampung halaman. Akan tetapi, tentunya tidak semua warga berpikiran seperti itu. Ada saja yang nantinya memilih pulang meski dengan risiko dinaikkan statusnya menjadi ODP.

Apabila kondisi warga di dalam negeri saja seperti ini, bagaimana dengan TKI yang bekerja di luar negeri? Terlebih lagi apabila mereka bekerja di negara yang tengah memberlakukan Partial Lockdown.

Tengok saja kasus TKI di Malaysia. Wabah Covid-19 menyebabkan negeri jiran itu menerapkan Partial Lockdown. Selama lockdown, Pemerintah Malaysia meminta agar warga tetap berdiam di rumah, menutup sekolah, dan kawasan bisnis. Apabila ada yang melanggar, maka akan dikenakan denda sebesar 1000 RM atau sekitar Rp 3,5 juta. Ditutupnya kawasan bisnis dan penerapan denda bagi yang berkeliaran tentu menyebabkan banyak TKI yang memilih kembali ke Indonesia.

Pada 29 Maret 2020, Plt Gubernur Kepulauan Riau, H Isdianto mengatakan jumlah TKI dari Malaysia dan Singapura yang masuk melalui jalur Kepri mencapai 3000 orang per harinya. Isdianto berharap agar sejumlah provinsi di Indonesia tidak memberlakukan local lockdown karena banyaknya TKI yang datang telah membuat reasah warga Kepri apalagi di tengah kondisi pandemi seperti ini.

Pemerintah sendiri telah memperketat jalan masuk TKI ke tanah air. Banyaknya jumlah TKI yang pulang tentu menambah daftar panjang ODP yang harus diawasi oleh pemerintah. Apabila mereka terindikasi Covid-19, maka akan diisolasi di beberapa tempat seperti Pulau Galang dan Natuna.

Sumber : Kompas [Malaysia Lockdown, Pemerintah Perketat TKI yang Pulang ke Tanah Air]

Dengan kata lain, kondisi para TKI kini terombang-ambing sebab proses pemulangan terhalang dengan ketatnya pemeriksaan masuk ke Indonesia. Belum lagi dengan kurangnya sarana transportasi dalam rangka Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Apabila potensi pandemi corona semakin besar maka ada kemungkinan negara-negara penerima TKI berskala besar seperti Malaysia, Hong Kong (China) dan Arab Saudi justru mendorong agar TKI dipulangkan. Faktor keterbatasan transportasi dan larangan keluar masuk Indonesia, akan menjadikan suara Jutaan TKI di luar negeri menjadi salah satu penentu kebijakan RI di Semester II -- 2020.

Hal yang turut menggelitik nalar adalah bagaimana bisa pemerintah memantau jutaan ODP dalam arus mudik termasuk arus mudik para TKI? Bukankah jutaan arus mudik itu sama saja dengan Kerumunan Sosial Berskala Besar yang sangat bertolak belakang dengan arahan Presiden tentang PSBB? Kenapa Presiden tidak membatasi Kerumunan Sosial Skala Besar di arus mudik?

Persoalan sosial tidak hanya sampai di situ saja. Setelah Idul Fitri, maka sekitar dua bulan kemudian, umat muslim akan menyambut Hari Raya Idul Adha yang identik dengan musim hajinya. Wabah Covid-19 tentunya menjadi pertimbangan bagi Arab Saudi apakah akan membuka pintu bagi jemaah ibadah Haji atau tidak.

Pada 1 April 2020, Kementerian Agama telah memastikan bahwa Pemerintah Arab Saudi tidak menunda pelaksanaan haji tahun ini, melainkan menunda pelaksanaan seluruh kontrak yang berkaitan dengan haji. Juru Bicara Kementerian Agama Oman Fathurahman mengatakan keputusan Saudi menunda pelaksanaan kontrak ibadah haji bisa jadi karena tengah menyiapkan fasilitas terkait ibadah haji. Oleh karena itu, hingga saat ini, persiapan layanan haji di Arab Saudi seperti pengadaan akomodasi, transportasi darat, dan katering masih terus berjalan.

Sumber : Kompas [Kemenag Pastikan Arab Saudi Tak Batalkan Haji 2020]

Namun kabar dari pemerintah Saudi tersebut tidak dapat jadi pegangan, karena akan sangat bergantung pada angka Covid-19 di sana. Sebab per 1 April 2020, telah terjadi penambahan 157 kasus di negara kelahiran Rasulullah SAW tersebut. Dari 157 kasus itu, positif Covid-19 terbanyak terjadi di Kota Madinah (78 kasus) dan Mekkah (55). Arab Saudi sendiri telah mengalami total 1720 kasus Covid-19, di mana 16 orang meninggal dunia dan 264 orang telah dinyatakan sembuh.

Sumber : Gulf Business [Covid-19: Saudi reports six additional deaths, 157 new cases]

Berdasarkan paparan tersebut, maka kita bisa bayangkan akan makin banyak permasalahan dan gejolak di negeri ini.

Pertama dari keresahan TKI yang terombang-ambing karena terhalang transportasi dan imigrasi. Kondisi itu dapat menjadi momen bagi pemodal penyedia jasa ekspor TKI yang dikuasai jaringan NU untuk memprotes pemerintah. Terlebih lagi mereka memiliki kepentingan menolak demonopoli halal yang tercantum di dalam RUU Ciptaker Omnibus Law. Penolak RUU Ciptaker dengan massa terbesar adalah para buruh, oleh karena itu terjadilah simbiosis mutualisme untuk menolak RUU Ciptaker. Di sini bergabunglah kekuatan People Power antara pemodal dari pihak NU dengan para pekerja yakni TKI di luar negeri dan buruh di dalam negeri.

Kedua, warga yang telah menabung dana haji dan mendaftar dari jauh hari hingga bertahun-tahun yang lalu kemungkinan tidak jadi menunaikan ibadah haji tahun ini. Hal ini dapat dimanfaatkan pemodal penyedia jasa dana haji maupun perusahaan travel haji yang dikuasai jaringan NU dan 212 untuk mengadakan People Power memprotes pemerintah. Apalagi mereka saat ini sangat merugi dengan adanya wabah Covid-19.

Kedua aspek tersebut ketika digabungkan maka akan menjadi ancaman bagi RI di Triwulan III 2020 (Juli -- September). People Power gabungan kelompok Islam dan buruh dapat menjadi huru-hara 2020.




KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun