Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Luapan Shariela

2 Januari 2021   19:25 Diperbarui: 2 Januari 2021   19:30 68 1
Pagi itu Sjariela duduk di depan Bank. Sambil merenggangkan otot-otot punggung sebab lama berdiri dari perjalanan rumahnya ke tujuannya. Memandang apa yang terjadi di atas gelar aspal yang membentang. Menarik perhatiannya, rupa-rupa warna para penjajak aspal mulai dari jelata sampai yang tak tahu apalagi arti uang. Tersadar Sjariela menjadi seperti bayi yang lahir kembali yang baru mengetahui ada rupa-rupa warna di bumi. Tak bohong. Matanya berbinar dan hatinya bergetar. Rupa-rupa segala pelbagai apa yang di takdirkan untuk masing-masing terjadi. Sjariela terlalu naif, ia baru tahu akan rupa bumi. Bukan bumi, tepatnya Imaji. Warna-warni manusia. Yang terjebak dalam nuansa mega.
Tersentak lamunanya, sebab karena pemuda lelaki seumuran dengannya menghampiri menimbulkan genjrang-genjreng suara okulele memutus pengheliatannya akan rupa. Lalu Sjariela merogoh uang dua ribu di saku dan langsung memberinya.
Katanya "Terimakasih kakak"
Lalu pemuda lelaki itu pergi berjalan dan dia duduk tak jauh dari tempat Sjariella duduk. Sejujurnya Sjariela merasa tertipu. Tetapi ya sudahlah anggapnya. Mungkin itu ucapan selamat datang baginya. Dan jangan sungkan untuk mengetahuinya. Tak lama ibu-ibu penjual minuman seduh instan meneproki tangannya. Awalnya Sjariela tak mengerti, terdiam sebentar dan ternyata teprokan itu di kode kan untuknya. Ah, ternyata ia meneprokinya. Dan mewarkan dagangannya.
"Neng! Mau minum apa nih?"
Sjariela hanya anggukkan kepala. Tapi ia enggan juga, sebab ia kebelet pipis. Rupa-rupa warna sepeda ibu kota membuat menyala kembali seperti air mata bayi.
Berjalanlah ia kearah barat.
Petugas kebersihan A:"Mau kemana neng?"
Petugas kebersihan B: "Neng, neng artis ya?"
Petugas kebersihan C: "Neng Museum sono lewat mandiri"
Sjariela: "Hah?"
Petugas kebersihan C: "Emang mau kemana?"
Sjariela: "Museum"
Petugas kebersihan C: "Eh kirain. Jyahahaha"
Dalam hati, sinting. Ah tapi ternyata Sjariela yang salah. Dan bapak itu benar. Tapi mungkin memang Sjariela terlalu tak tahu cara komunikasi dengan orang baru. Ia kesulitan menyebrang. Ia menggerutu dalam hatinya
"Sepertinya ku takkan di ampuni oleh para roda-roda konglomerat ini."
"Ayo neng.." kata petugas kebersihan yang sudah tua. Ia pun menyebrangi Sjariela. Lalu Sjariela  mengucapkan
"Terimakasi pak"
Lalu Sjariela mengikuti kedua lelaki yang sebetulnya sudah dari jauh-jauh ku amati. Mengikuti langkah mereka dengan cepat agar ia tak kesasar. Sebetulnya Sjariela kuwalahan, langkah mereka terlalu besar dan cepat, sedang Sjariela yang rapat nan lambat.

Berbagai aturan tentang kesehatan protokol kesehatan yang di gaungkan petugas keamanan enggan ia dengarkan. Ia langsung mengencangkan suara lagu yang sedang ia dengarkan dengan earphone kencang-kencang. Sebab dari dahulu hanya itulah yang di gaung-gaungkan. Protokol kesehatan-protokol kesehatan, dalam hatinya sungguh membosankan. Ia tak angkuh. Hanya saja jenuh. Bukan tak besyukur, hanya saja semrawut. Ia ingin terbang. Tak sabar ingin menjelajah yang sudah ada. Seni rupa.

Ia tahu sedikitnya seni rupa, hanya saja tak paham sama sekali dengan seni lukis. Ia tak paham bagaimana cara mengerti dan menerjemahkan arti lukisan. Sesungguhnya sungguh kejam mengapa seniman selalu berhasil membuat terheran-heran akan ciptaan mereka. Terutama bagi yang berhasil merincikan detail-detail lukisan sehingga bisa di terjemahkan dalam masing-masing alam imaji sendiri. Ia terheran-heran pada lukisan yang selalu menggambarkan perempuan. Perempuan, entah tiap pada lukisan selalu berhasil seakan-akan ialah yang paling sempurna dan patut di abadikan. Ya sesungguhnya memang itu. Namun ia selalu kagum. Perempuan begitu ayu akan kesederhanaan. Perempuan desa. Ia selalu suka. Dan mengapa lukisan selalu punya kejeniusan. Seketika itu juga ia merasa tak bisa apa-apa. Sjariela merasa payah. Sekali lagi, ia berpikir. Aku ini bisa apa?

Ia merasa ada yang mengetahui perasaanya. Barusan. Kali ini, untuk rentan waktu selama ini. Sisi pergi, sisi hilang, sisi ketiadaan. Keramik itu, tak menyatu. Ia terpisah pecah berkeping-keping. Ia merasa hatinya tertusuk. Tersadar. Dalam pemahamannya "Sebegitukah rasanya?" Ia paham, bahwa rupa adalah rasa. Rasa yang tak bisa bicara. Ia menelurusi lorong demi lorong, mencari dimana lagi jejak-jejak yang telah pergi. Lalu mata Sjariela menemukan bunga. Bunga seperti di kain-kain tingkah laku Eropa. Dan Sjariela ingin bertanya-tanya mengapa bangsa Eropa sebegitu bisa menggambarkan keindahan? Seperti Sjariela mengetahuinya. Ia mempunyai selera vintage Eropa. Pada keramik itu berbicara warna mawar merah muda. Iya kah ia belum matang? Iya kah ia sama denganku? Namun manis nian di kau di kesan. Kemudian ia berpikir lama. Namun ia sadar ia suka yang manis.

Lalu rasa bodohnya selalu mendorongnya untuk mengetahui, baginya mengerti masalah arti dan naluri. Untuk saat ini lebih baik ia hanya mengetahui. Pada lorong tenang dan padam itu Sjariela terus bergerak, ia terheran melihat celengan-celangan beragam bentuk hidup. Babi, ayam, kura-kura dan lainnya. "Kok bisa?" Katanya. Ia merasa bodoh dengan gemerlap teknologi masa kini. Ia tak paham pasti bagaimana cara itu dan ini. Sepertinya, ia masa bodo dengan perkembangan masa kini. Yang ia tahu tentang masa kini hanya untuk dijual dan dapat uang. Walau Sjariela tak munafik juga butuh uang. Namun ia selalu saja merasa terheran-heran. "Mengapa zaman dahulu selalu membuatku takjub? Ia kah aku nyaman? Atau aku terlalu mengeluhkan masa sekarang? Ah bilang saja kau tak kuat zaman!" Gerutu dalam hati dan pikiran Sjariela. Sedangkan ia merasa masa kini adalah hal yang membosankan. Ia merasa di kejar, merasa harus mengikuti orang. Dan ia selalu sadar bahwa ia sulit sekali mengikuti orang. Ia lupa mungkin bahwa sekarang apa pun bisa kau lakukan Sjariela. Asal tahu aturan dan batasan. Tapi mengapa Sjariela selalu sedih dan tak bisa mensyukuri bahwa ia hidup di masa kini? Bukankah masa kini lebih baik Sjariela? Dalam hak hidup? Kau tak dibunuh hidup-hidup sebab kau perempuan. Ya walau hidup tak melulu kepuasan. Pada celengan, ia merasa tangannya tak berguna sama sekali untuk kehidupan. Dan sementara di pikiran seperti gudang mainan yang berserakan sebab melebihi muatan. Berkali-kali ia tersadarkan. Apa tujuan ia turun ke bumi? Hidup hingga hari ini? Bukankah aku bisa tukar nyawa? Ayolah aku ingin reinkarnasi saja.

Ia heran mengapa tembikar kalah dari plastik? Sebab tembikar selalu indah dan mewah sedang plastik selalu polos dan murah. Tapi... tidakkah engkau tahu bahwa pada tembikar ada kau di situ? Ya Sjariela menjiwai, namun ia tak mengerti. Sjariela paham tembikar kau indah dan mahal. Tapi tidak kah kau lihat aku dan akui aku berada di situ. Walaupun hanya secepat serpih cahaya? Kau di buat dengan sangat merepotkan dan bertahap memakan waktu yang panjang. Tidak kah kau tahu aku berusaha memasukimu? Ia tersadar dalam lamunan. Ia tersentak. Sialan ia masuk kedalam arwah tembikar. Ia memasuki dimana di situ ada sebunga yang tak tahu jenis apa. Ia merasakan hatinya sakit. Ia ingin tahu itu. Kemudian ia bertanya pada dirinya.
"Bisakah aku menjadi dirimu? Yang sulit dimengerti? yang susah di pahami? Namun aku ingin memiliki"

Kemudian Sjariela keluar dari dimensi yang membuat ia bodoh beribu-ribu kali. Ia membuka nafas, menghirup bebas, menghempas dan dia tahu arti dari perjalanan dimensi bahwa ia tak perlu sombong. Sedari dahulu banyak yang pandai. Namun tak semua bisa memadai. Dari dahulu sudah ada ini dan itu. Namun sulit untuk menjadi pribadi yang tetap begini dan tetap begitu. Berubah menjadi ini berubah menjadi itu. Tentu dalam hal yang baik. Ya pada akhirnya setelah marah-marah pada dirinya Sjariela tetap kembali kepada Sjariela. Kemudian Sjariela perlu merasa mencari apa yang bukan dirinya. Ia butuh pembaharuan. Kerumunan. Kerumunan adalah bukan dirinya sama sekali. Ia mau ikut bergabung. Katanya, sesekali. Mata Sjariela merasa heran, hatinya sedikit ciut dan heran. Oh Tuhan banyak sekali orang yang berpasangan. Katanya. Sjariela hanya sendirian. Ia kena buli oleh satpam
"Hanya sendirian?"
Sjariela merasa terganggu dan risih beribu-ribu kali. Namun Sjariela mau menantang dirinya, seberapa lama ia di kerumunan? Sungguh, tak sampai hitungan menit, ia merasa ingin segera keluar setelah ia berhasil memasuki kerumunan menjadi tua dan indah pada lintasan mata memandang. Pada waktu itu Sjariela tak tahu apa arti semua ini. Namun Sjariela tersadar dalam sekejap penglihatannya. Sjariela sadar ia terlalu buta akan cinta. Ya Sjariela buta karena cinta. Bukan merasakan cinta yang indah kemudian tak bisa melihat apa pun secara jernih dan dunia terasa milik berdua. Namun ia buta karena tak tahu apa itu cinta. Ia memaki dirinya.
"Segitukah aku tak tahu dunia? Cinta pun aku tak tahu rasanya..."
"Apa itu cinta? Rasa atau rupa?"

Dilihat sekelilingnya pasang-pasangan sedang meluapkan perasaan. Ia sedih, seperti bidadari yang tak tahu apa-apa di bumi. Ia hanya memberanikan turun, namun tidak menyerahkan. Kemudian ia merasa ragu, apakah ia bisa bertahan di Bumi? Menjadi manusia. Tak melulu bidadari. Namun dirinya tak ada bidadarinya. Ia hanya merasa polos. Tidak rupawan.

Kemudian ia mengakui, "Aku ada baiknya juga, namun ternyata aku tak seburuk yang ku kira, tapi aku tahu aku payah di dunia. Aku ingin ada. Terlihat atau tidak. Aku ingin punya cinta."

Sjariela mengakui ia benar-benar di bawah standar biasa manusia. Namun ia tahu ia bisa, walau tak seperti apa yang dikira. Namun pasti menginginkan yang semestinya. Kemudian ia teringat dari mana asalnya. Adn.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun