Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Memoar dari Film Negeri 5 Menara

14 April 2012   16:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:36 199 0

Malam itu saya dan teman-teman satu asrama tiba di salah satu bioskop di kawasan Bintaro dengan kesal. Kami terlambat datang hingga film Negeri 5 Menara (N5M) sudah tayang satu jam yang lalu. Apa daya, kami harus menungu hingga jam tayang terakhir sekitar setengah sepuluh malam. Loket tiket tentu sepi karena penonton sudah masuk ke dalam studio.

Namun rasa kecewa itu terbayar karena—entah kebetulan atau tidak—kami bisa bertemu dengan para pemeran N5M. Tidak ada fans yang mengerubuti karena hampir tidak ada orang yang berkeliaran di lounge bioskop. Akibatnya kami dengan leluasa ngobrol dan berfoto dengan Gazza (pemeran Alif), Rizki (Atang) dan Aris (Dulmajid). Kalau mau jujur, ini pertama kalinya saya foto bareng artis!

Sebagai pembaca novel, saya termasuk kalangan yang khawatir novel ini tidak bisa memenuhi ekspektasi. Novel N5M yang sudah mendapat berbagai award, memiliki ribuan penggemar fanatik, Wajar saja, karena N5M juga berpromosi besar-besaran, hingga beberapa kali diundang dalam acara-acara talkshow di televisi swasta. Di sampul novelnya sendiri, sejak dua tahun lalu sudah tertempel label “segera difilmkan”. Tentu para penggemar N5M sedari dulu menunggu kehadiran filmnya.

Mengadaptasi novel menjadi sebuah film tentu bukan pekerjaan mudah. Sebab dalam prosesnyaadalah penerjemahan bahasa tulisan sejumlah ratusan lembar jadi adegan visual yang berdurasi lebih pendek, kurang lebih 90 menit atau 2 jam. Tentu ada bagian yang harus ditambah atau dikurangi. Namanya saja mengadaptasi, bukan terjemah secara letterleijk.

Makanya, Riri, teman saya yang maniak N5M mewanti-wanti sebelum kami masuk ke studio yang gelap, “Anggap saja kita belum baca novelnya ya… jadi biar gak kecewa nantinya” saya mengerenyitkan dahi. Ada-ada saja.

Kisah bermula dengan pemberontakan Alif yang disuruh ibunya melanjutkan pendidikan di pesantren. Alif menolak mentah-mentah karena cita-citanya sejak dulu adalah melanjutkan kuliah di ITB. Nilainya juga termasuk tinggi di kabupatennya. “Mau jadi Habibie,” begitu katanya. Sedangkan ibunya ingin putera satu-satunya itu masuk sekolah agama.

Setelah melalui serangkaian pergulatan batin, Alif akhirnya patuh pada kedua orang tuanya. Singkat cerita, berangkatlah Alif dan ayahnya menuju bagian timur pulau Jawa di kabupaten Ponorogo. Alif pun jadi santri Pondok Madani.

Alif bertemu lima orang sahabat yang punya hobi nongkrong di bawah menara mesjid. Inilah yang menjadi asal usul nama Sahibul Menara atau Para Pemilik Menara. Bersama para sahabatnya itu Alif menjalani suka-duka di perantauan, hingga masing-masing berikrar bahwa suatu hari nanti mereka akan menggapai impian masing-masing.

Dalam catatan saya ada beberapa hal yang patut digarisbawahi, seperti:

Pertama; Setelah keberangkatan Alif ke Jawa, Amak menggantung foto Alif di antara foto Bung Hatta dan Buya Hamka, dua tokoh besar asal Sumatera Barat di ruang tamu mereka. Entah kenapa saya sempat merinding saat adegan itu. Saya seakan bisa merasakan kenapa dulu ibu saya juga bersikeras memasukkan saya ke pesantren.

Kedua; Okelah, kalau pada mulanya tokoh Alif seakan kurang menonjol di film. Justru para Sahibul Menara yang lain seperti Said (diperankan oleh Ernest Samudera) atau Atang (Rizki Ramdani) terlihat lebih ‘semarak’. Namun setelah saya pikir lebih dalam, ternyata karakter Alif memang cenderung pendiam dan hanya menjadi pengamat keadaan di sekelilingnya. Rupanya sutradara Affandi Abdul Rachman ingin menghidupkan karakter utama yang tidak banyak omong namun tetap memiliki chemistry tersendiri.

Ketiga; Sutradara banyak berimprovisasi dengan cerita novel. Dari kacamata seorang pembaca—yang sudah berkali-kali khatam—tentu ada beberapa nilai minus karena bagian-bagian menarik dalam novel justru dibuang. Malah ada beberapa cerita yang tidak terdapat dalam novel sama sekali. Setelah saya renungi lagi, ini adalah usaha sutradara dan penulis skenario untuk menerjemahkan bahasa tulisan ke dalam bentuk gambar bergerak. Tak heran ada beberapa percakapan yang membangkitkan motivasi atau deskripsi dalam novel yang tak terdapat dalam film. Tapi tak mengapa, justru improvisasi ini banyak membantu. Bisa dibayangkan jika sutradara bersikeras mengikuti jalan cerita novel, entah berapa episode yang dibutuhkan untuk merangkum semua cerita dalam N5M.

Keempat; Saya adalah alumni Pesantren Gontor yang menjadi inspirasi Pondok Madani di N5M. Lokasi syuting juga bertempat di Gontor selama sebulan penuh. Tentu hal ini luar biasa karena konon begitu sulit untuk mendapat izin dari Pak Kyai. Jadi, nonton film ini serasa nostalgia kembali terhadap pesantren yang sudah saya tinggalkan selama hampir 6 tahun yang lalu. Apalagi beberapa teman satu angkatan saya yang masih mengabdi sebagai ustadz di Gontor, tampil sebagai figuran. Pak Kyai juga ikut nongol di salah satu bagian film.

Kelima; Pada mulanya saya pesimis dengan pemilihan Ikang Fauzi sebagai Kyai Rais. Jika anda yang sering nonton televisi, tentu akan mendapati Ikang dalam salah satu iklan klinik kesehatan pria. Dalam iklan itu, suami Marissa Haque ini bertingkah agak brutal sebagai penyanyi rock. (Dan memang, Ikang adalah seorang penyanyi rock). Tapi akting Ikang di film N5M membuat saya melupakan Iklan itu. Dari gerak tubuh dan logat nya yang dibuat medok Njawani, saya seakan melihat sosok Kyai saya yang luar biasa itu. Ditambah lagi adegan Kyai Rais saat mengajari santrinya bermain gitar, tentu memberikan wawasan baru bagi penonton yang belum mengenal dunia pesantren.

Ya sudahlah, sengaja saya tidak banyak membeberkan jalan cerita film ini. Bagi anda yang sudah membaca novelnya, jangan takut menonton filmnya. Dan bagi anda yang belum baca novelnya, tidak ada salahnya untuk menonton film terlebih dahulu.

Wasssalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun