Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Lingkaran Cinta

2 Juni 2020   06:29 Diperbarui: 2 Juni 2020   06:32 175 8
Aku dan Daneswari akhirnya berada di sini, di panggung pelaminan yang sangat indah, juga megah. Kami harus menyungging senyum semringah, tatkala tamu-tamu menyalami dan memberikan ucapan selamat.Beberapa kali kami beradu pandang tanpa sengaja. Dalam balutan kebaya warna perak, dia tampak sangat anggun. Binar-binar kebahagiaan pun terpancar jelas di parasnya yang cantik. Entah di dalam hatinya, apakah juga seperti perasaanku. Perih.

***
Setelah tiga windu berpisah, acara reuni kampus membuat kami bertemu lagi. Bagiku, itu bukan sekadar persuaan biasa, tetapi juga momen bertautnya kembali kisah cinta yang telah usang. Sebuah kebetulan klasik.

Ada denyut yang tak biasa di dalam dada, saat kulihat Daneswari nyaris tak berubah. Dia tetap menawan seperti dulu, cantik dan seksi. Sambutannya yang hangat ketika aku menghampiri, sontak membuat hati ini tercabik-cabik. Sungguh, aku menyesal pernah mengkhianati cintanya.

"Hai, Mas Tama. Apa kabar? Selamat, ya. Kudengar sudah jadi wali kota," sapa Daneswari, saat kusalami. Senyum manis mengiringi suaranya yang masih selembut dulu.

"Baik, Nes. Terima kasih."

Andai saja dia tahu, dadaku riuh bergemuruh manakala mengucapkan kalimat basa-basi berikutnya. Melebihi rasa gugup saat orasi di masa kampanye. Sama sekali tak menyangka, Daneswari bisa bersikap demikian ramah padaku. Kembali teringat --bahkan kata demi kata-- apa yang dia ucapkan, ketika mendapatiku bermesraan dengan sahabatnya.

"Sumpah! Aku benci kalian! Menjijikkan!"

Begitu ucapan kekasihku,  sebelum melangkah pergi. Tatapannya bak hujaman ribuan jarum suntik, menancap tepat di ruang sesal paling dalam. Sejak itu pula, Daneswari tak pernah memberiku kesempatan. Bahkan untuk menerima panggilan telpon saja, dia tidak bersedia. Apalagi bertemu. Dokter gigi itu marah, semarah-marahnya.

"Kupikir kamu nggak bakalan mau kenal aku lagi," ucapku jujur, ketika kami punya kesempatan berbincang berdua saja, di tengah acara reuni.

"Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu. Aku sudah lama berdamai dengan diriku sendiri, juga denganmu."

"Denganku?"

Mantan kekasihku mengangguk, menyesap kopi, lalu berkata, "Buat apa menyimpan amarah. Nyatanya, aku tak pernah berhasil membencimu, Mas."

"O, ya? Kamu nggak lagi mabok, 'kan?"

"Hahahaha, seandainya dulu Mas terus berusaha mendapatkan maafku, pasti aku luluh juga. Saat itu, aku memang benci padamu, benci sekali. Tapi sekaligus rindu," ucap Daneswari santai, sembari terus menatapku. Tak kutemukan ada bias dusta di matanya.

"Ahh, parah kamu, Nes! Kenapa nggak bilang?" tanyaku tanpa bisa menutupi rasa gemas. Andaikan saja waktu bisa diputar ulang ....

"Hahahaha, aku ini perempuan, Mas. Malu. Umm, gengsi lebih tepatnya."

Hari itu juga, aku seperti remaja yang sedang dimabuk cinta. Mungkin inilah yang disebut puber kedua. Semua kenangan indah bersamanya seketika menyergap, mendesakku untuk mengulangi. Tidak ada penghalang, aku dan Daneswari sama-sama lajang. Perceraian sudah terjadi jauh sebelum acara reuni.

Cinta bersemi kembali, bermekaran memenuhi sudut-sudut jiwa. Tidak ada hari yang kami lewati tanpa puja puji dan perjumpaan di ruang maya. Dan akhir pekan adalah waktunya memangkas kerinduan.

Satu yang berbeda dari kisah cinta di waktu lampau hanyalah usia. Aku dan Daneswari kini sudah sangat matang, sama-sama memiliki sepasang anak yang juga telah dewasa. Karenanya, kami butuh membicarakan perihal rencana pernikahan dengan mereka berempat.

"Kita harus mulai terbuka pada anak-anak perihal hubungan ini, Mas," usul Daneswari dua bulan setelah pertemuan pertama.

"Tentu, Sayang. Aku akan bicara dengan si bungsu lebih dulu. Dia lebih mudah diajak kompromi. Kakaknya sibuk kuliah, sibuk pacaran juga. Hahahaha."

Kami sangat bahagia saat itu. Gerbang pernikahan seakan-akan tinggal selangkah di depan mata.  Aku juga membayangkan sebuah pesta bernuansa romantis, persis seperti yang pernah kami rancang dulu. Kali ini, jangan sampai gagal. Aku sangat mencintai Daneswari dan bertekad menghabiskan sisa usia bersamanya. Sekaligus menebus kesalahan di masa silam.

"Tidak bisa, Mas. Kita harus mengalah. Lupakan soal pelaminan serba putih dan gaun pengantin warna perak impian kita," pinta Daneswari yang tak lagi mampu menahan bendungan air matanya sore itu.

Oh, mengapa cinta tak pernah berpihak padaku dan Daneswari. Setidaknya, janganlah terlalu menyiksa begini, pintaku entah pada siapa. Mungkin pada angin lalu.

Daneswari memberitahuku tentang kehamilan Maharani, putri pertamanya. Sampai di situ, dia sudah sangat syok, meskipun Reno bersedia bertanggung jawab. Tambah terperenyak, saat mengetahui siapa Reno.

Aku bukan lagi patah hati, tetapi hancur lebur. Daneswari menghambur, merebaskan air mata di dadaku. Baru kali itu kami merasakan betapa berat jadi orang tua. Ternyata cinta kami pada anak-anak, tetap di atas segalanya, berapa pun usia mereka.

Ya, aku dan Daneswari di sini. Di panggung penuh bunga-bunga, tempat pengantin dan orang tuanya menerima ucapan selamat dari para tamu. Aku mendampingi Reno, putra sulung yang sebentar lagi memberiku cucu.

Tamat

Kartasura, 30 April 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun