Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Mak, Belikan Aku Kelinci

4 Maret 2016   21:52 Diperbarui: 4 Maret 2016   21:59 18 0
“Halo, Malik.”
Mataku langsung takjub dengan sorot mata penyapaku. Bagaimana dia bisa mengenalku?
“Namamu Malik, kan?”
“Iya, namaku Malik,” masih tersisa rasa takjub, “kok kamu bisa tahu namaku?”
“Iya.”  
Mata penyapaku mengerucut. Ketakutan. Atau mungkin malas dengan keramaian. Sama, aku juga benci dengan keramaian Pasar Malam ini. Apa pula yang dicari orang-orang ini?! Mengotori kampungku!
“Kamu mau, kan, berteman denganku?” si pemilik suara bertanya.
Retina mata miliknya membesar dan mengecil menatap tajam ke retinaku. Entahlah, kata artis dalam film yang kutonton di TV, itu bisa berarti bohong atau takut. Dari sekian persentase tebakanku, penyapaku ini ketakutan.
“Aku pulang dulu, ya,” tak bisa kutahan lagi menguap. Malam sudah larut. Pasti Emak akan marah kalau aku pulang lebih telat.  
Mata penyapaku kembali mengerucut dan membesar. Ketakutan.  
“Jangan pergi.”
Kutegaskan kata-kataku, “Aku harus pulang! Ibuku pasti akan marah!”
Penyapaku ragu. Terpaksa memberi simpati padaku. Telinganya yang tidak gatal ia garuk, sambil berkata, “besok ke sini lagi, ya...”
Lalu kukerlingkan mataku pada penyapaku. Mengiyakan.

***  

Mardliyah tidak bisa lagi menahan kemarahannya. Matanya mendelik pada anaknya.
“Ya Allah....!” kali ini kedua tangannya berkacak pinggang. Kemarahan mulai tak tertahankan.  
Tapi yang dimarahi tak terima, “Pokoknya aku mau kelinci itu!”
Ibu dan anak itu saling mendengus satu sama lain. Si ibu kesal harus menyisihkan uang belanja yang sudah merepet.  
Sedangkan si anak tidak mau tahu lagi. Dia harus dibelikan Kelinci! Titik! Tidak ada tawar menawar lagi.
Ibu ndak ada uang, Nak.... Lirih Mardliyah dalam hati.
Hatinya menjadi melas. Tak sanggup melakukan kompromi pada realitas. Di satu sisi uang yang ia pegang saat ini adalah uang satu-satunya yang ia punya untuk belanja tiga hari kedepan.
Sisi dirinya sebagai ibu memanggil, memelas, betapa dirinya tidak becus menjadi ibu. Tidak bisa membahagiakan anak.  
Muncul perasaan nelangsa. Perasaan apalagi yang dimiliki orang tua, saat merasa tak bisa memberi sesuatu untuk kebahagiaan anaknya.
“Gini saja,” Mardliyah membujuk anaknya, “Ikus makan dulu, besok kita beli kelincinya ya..”
“Janji, ya?” si kecil Ikus mengancam.
Tambahan kata si kecil tak kalah kejam. Bahwa setiap orang yang berbohong akan berdosa.  
Mardliyah tak habis akal. Jawabnya, “Ya pasti... Setiap orang yang bohong itu dosa.”
Dan si kecil akhirnya mau makan. Perkara beres!

***  

“Hei, kenapa kamu tidak makan?” sergahku.
“Malas.”
Jawaban yang tidak memuaskan hatiku. Penyapaku bisa mati jika tidak makan. Namun jawabnya hanya ‘malas’ saja.  
“Kamu harus makan!” paksaku.
Perlahan kujejalkan makanan yang kubawa. Kusuapkan langsung pada mulut penyapaku.
“Kamu harus kuat.”
Penyapaku masih mengunyah. Sesekali memerima suapan makanan yang kusodorkan ke mulutnya.
Tak kami hiraukan lalu lalang pengunjung Pasar Malam.

***  

Setan tidak hanya berwujud makhluk halus. Tapi juga berwujud manusia. Menggoda setiap hasrat manusia yang hendak bertaqwa.  
Mardliyah mempercayai itu.
Seperti pagi ini. Entah setan cilik mana yang memulai. Tapi setan cilik berwujud anak-anak tetangganya berhasil menghasut Ikus anaknya untuk kembali merengek.
“Ardan sudah dibelikan bapaknya Kelinci!!!” lengkingan suara anaknya mengiris hati Mardliyah.
Ya Allah, setan mana yang mengganggu kini?
“Orang bohong itu dosa!!!!” kali ini teriakan Ustadz Sanusi meminjam suara anaknya.
Ya Allah, tak bisakah hujan deras mengguyur Pasar Malam di hari ini?
Lolongan kata-kata tidak ada. Berganti raungan anaknya yang menjadi-jadi.
Telinga Mardliyah perih. Hatinya pedih.
Ya Allah, mas, tega kau tinggalkan kami.
Mardliyah menghitung dalam kepala. Ini adalah Pasar Malam kelima sejak kelahiran Ikus, anaknya. Lima tahun sudah suaminya meninggalkan tanpa kata.
Bertanya pada keluarga suaminya pun percuma. Buntu. Seperti ada persekongkolan Mafia Italia dalam memecahkan alasan kepergian suaminya.
Nada tangis Ikus masih sama. Namun bertambah dengan tendangan kaki ke tembok.
Mardliyah tak kuat lagi. Ia akan beranjak ke Pasar Malam. Dilihatnya isi dompet. Tinggal jatah makan dua hari.  

***  

Aku merasa seperti Muhammad Al-Fatih. Pemimpin yang paling gagah sepanjang sejarah. Dunia Barat boleh bungkam. Namun sejarah mencatat, tembok Roma Timur takluk dalam genggamannya. Muhammad Al-Fatih, sang pembebas.  
Meski dalam kasusku, yang kubebaskan adalah penyapaku. Namun bagaimanapun, aku sudah berbuat.  
Menirukan kata-kata ilmuwan mancanegara, aku sudah berkontribusi bagi dunia.  
Penyapaku tak henti-henti mengatakan terima kasih.
“Sudah, jangan diulang-ulang,” kataku.
“Kamu sangat berjasa bagiku, Malik.”
Aku tersenyum simpul. Antara bangga, bahagia, dan tak ingin membahas hal yang sama berulang kali.

Dari kejauhan Ardan, Dani, Rofikin, dan Akhwan mendekatiku.
“Wah... Ikus sudah punya kelinci...” Akhwan berdecak kagum.
Rofikin memberi persetujun.
“warnanya putih seperti kapas, ya.” kali ini Dani berkomentar.
“Tapi jelas masih lucu punyaku, kan...” yang tak mau kalah ini adalah Ardan.
“Punya Ikus lebih putih,”
“Tapi punyaku telinganya lebih lebar.”
“Ikus,”
“Ardan,”
“Ikus,”
“Ardan,”

Bukannya merasa bangga karena ada yang membela, aku justru makin kesal.  
Bisakah semua orang berhenti memanggilku Ikus?! Panggil aku Malik!
Namun bibirku tetap terkatup.
Teman-teman masih meributkan soal kelinci siapa yang terlucu. Sementara kepalaku tak berhenti memikirkan nasib malang panggilanku.
Bagaimana mungkin nama secemerlang Raja Aceh Malikus Saleh, bisa berjuluk IKUS!
Tinggal kau tambahkan huruf “T” di depannya, maka jadilah aku berjuluk seperti hewan pengerat itu.
Siapa yang memulai?!
Kupandangi emakku yang sudah berjalan ke rumah, meninggalkanku dengan teman-teman.
Ah, tidak mungkin Emak yang memulai. Emak orang yang baik.
Ah, peduli amat.
Kutinggalkan teman-teman dalam debat kusir mereka. Aku sudah punya urusan sendiri dengan penyapaku. Kelinciku.  

***  

Uang belanja habis. Bahkan Mardliyah menanggung hutang pada tetangga. Hanya satu hari ini makan. Dan besok dia harus mengutang lagi, sebelum gaji yang belum diturunkan itu akan diperoleh.
Ditengah kebingungannya, Mardliyah teringat anaknya yang belum makan.  
“Ikus, makan dulu.”
“Iya, Mak.”
“Mau ditaruh di belakang rumah. Atau bagaimana?” Mardliyah menyinggung kelinci yang baru dua hari dibeli.
Si kecil menerawang halaman belakang rumah. Halaman yang luas, yang diujungnya adalah tepi sungai Bengawan Solo. Kemudian berkata pada ibunya,
“Kalau dilepas di halaman, gimana, Mak?”
Mardliyah heran.
“Kan, enak, bisa hidup bebas kelinci ini.”  
Lantas kenapa begitu merengek meminta membeli kelinci?
Dilihatnya isi dompet. Sudah habis. Mardliyah berpikir dirinya sudah bisa menyiapkan bumbu sate. Menu untuk besok. [Afif E.]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun