Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

77 Tahun Indonesia; Pemuda dan Janji Kemerdekaan yang Belum Usai

16 Agustus 2022   12:52 Diperbarui: 21 April 2023   16:25 376 7
"Perjuanganku lebih mudah karena aku melawan penjajah asing dan perjuanganmu akan lebih berat karena kamu akan melawan bangsamu sendiri"

Kita masih ingat betul teks dari pidato Soekarno yang terkenal di atas. Kata-kata itu diucapkan pada beberapa dekade silam, kini terjadi secara nyata di Negara kita.

NKRI adalah negara kepulauan dengan teritorial yang cukup luas. Negara ini merupakan yang terluas ke-14 dalam hal luas daratan, juga negara ketujuh terbesar di dunia dalam hal gabungan wilayah laut. Wikipedia mencatat bahwa Negara ini disebut sebagai salah satu negara dengan penduduk terpadat, belum lagi kenyataan bahwa sebaran penduduk kita kurang merata; separuh populasi negara ini bermukim di Pulau Jawa. Dan di negara ini, diperkirakan terdapat lebih dari 273 juta jiwa.

Dari banyaknya penduduk, luas daratan dan lautan, serta sumber daya alamnya itu berbanding lurus dengan pembangunan bangsa ini tentu masih menjadi perdebatan.

Dalam cakupan yang paling luas, tidak sulit untuk mengatakan negara ini sedang overload penduduk, tepatnya mungkin Pulau Jawa yang sedang overload penduduk. Hal ini menimbulkan dinamika, terutama di pulau lain di luar Jawa; bahwa infrastruktur, kebijakan, pemanfaatan SDA untuk kepentingan rakyat juga cara-cara berpolitik, masih jauh dari apa yang kita sebut dengan keadilan.

Beberapa pakar meramalkan bahwa bila bangsa kita mampu memanfaatkan bonus demografi, kita tak akan sulit menggapai kesejahteraan yang selama puluhan tahun telah dicita-citakan. Tapi apakah bonus demografi itu hanya soal "kuantitas" generasi muda bangsa? Jawabannya sudah pasti "tidak". Karena kualitas personal dan komunal dari pemuda-pemuda itu tidak bisa menjadi tempat bertolak dimana kemajuan, keadilan dan kesejahteraan dapat dikeluarkan dari alam yang hanya sekedar khayal dan janji.

17 Agustus 2022, Logo 77 Tahun HUT RI tidak sulit kita dapatkan; disebarkan melalui facebook, group whatsapp, diposting melalui instagram, bahkan tersebar di search engine raksasa sekaliber google. Lomba-lomba diadakan, pesta rakyat diselenggarakan, upacara-upacara ceremonial akan dilangsungkan.

Apakah kita sebagai personal atau kita sebagai bangsa Indonesia sudah merdeka? Tak ada yang mau tau; semua metutup mata. Rakyat kita sibuk berkompetisi untuk memenuhi perut sendiri, pemimpin kita sibuk ngurus stabilitas politik dan jalinan koalisi, wakil-wakil kita masih terus amankan kursi. Tapi kebijakan-kebijakan yang diambil, masih saja menindih masyarakat kecil. Maka muncul pertanyaan, "masih adakah yang bekerja untuk bangsa?"

Pertanyaan ini sudah sering ditanyakan terus menerus sampai kita sendiri bosan menjawabnya, bahkan dengan analisa-analisa yang paling canggih sekalipun. Jawaban-jawaban secanggih apa-pun ternyata belum mampu merubah kenyataan bahwa kita, negara dengan laut terluas, masih impor garam; bahwa kita negara dengan tambang emas, nikel, besi yang sangat banyak tersebar, masih impor cangkul.

Angka pertumbuhan ekonomi kita sebelum pandemic covid-19 di masa Jokowi katanya meningkat. Kenyataanya? kita ditipu oleh angka-angka statistic produksi penguasa, sebab nyatanya hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Mereka sebagai pemimpin bangsa beserta seluruh kabinetnya masih duduk di dalam istana; masih memutuskan bahwa kita harus impor ini dan itu tanpa pernah melirik kesejahteraan rakyatnya.

Dalih Demokrasi tentu tak tepat dijadikan alasan bila senyatanya yang lantang bicara adalah yang punya modal besar; persaingan bebas tentu bukan alasan menindas rakyat sendiri.

Sebagai rakyat, tentu saya paham betul bahwa memimpin negara bukan urusan mudah. Tak soal seberapa besar akumulasi kekuatan negara dari sumber daya alam, sumber daya manusia, hingga sistem-sistem dari rancangan cerdas politisi-politisi kita yang menghasilkan bangunan kokoh sebagai tempat perkantoran pegawai-pegawai BUMN, jika kita belum bisa merdeka secara politik, apa lah arti dari kekuatan-kekuatan itu?

Tentu kta semua sudah cukup jenuh dengan tradisi saling menyalahkan; dimana rakyat menyalahkan pemerintah dan pemerintah menuduh rakyat yang salah dan malas bekerja. Tapi apa yang bisa diperbuat di 77 tahun kemerdekaan kita dari penjajah asing, saat keturunan-keturunan para pejuang kita berubah menjadi kolonial yang lebih kejam dari asing? Apa yang bisa dipikirkan dan dilakukan rakyat saat mereka disibukkan dengan perut dan biaya sekolah anak?

77 tahun kita lepas dari asing. 77 tahun sudah berlalu saat sang proklamator mengumandangkan bahwa Indonesia telah merdeka. Sekarang 2022, dan kemerdekaan masih sekedar janji. Apa yang bisa kita sebagai pemuda-pemuda bangsa lakukan? Membuat event, lomba ini dan lomba itu, rapat ini dan rapat itu; apakah kita semakin dekat dengan kemerdekaan atau semakin jauh? Ah (barangkali) pertanyaan semacam ini tidak lebih penting dari meriahnya pesta rakyat dan kemegahan upacara di Istana juga di Pendopo Bupati dan Kantor Walikota.

Sebagai bagian dari generasi muda, kita perlu terus ikut memikirkan masa depan bangsa. Hal ini bisa dimulai dengan memperbaiki diri dan mulai peduli terhadap situasi kebangsaan; jangan lagi ada pemuda yang tak melek politik apalagi anti. Jangan lagi ada pemuda yang tak mau berpikir. Kenapa harus yang muda? Sebab idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda (Tan Malaka). Idealisme itu kemudian menjadi dasar bagi pemuda dalam melihat dinamika bangsa: bahwa penjajahan, entah dalam skala kecil dan besar, yang kabur dan yang terang, tetaplah watak kolonial yang harus dilawan; karena kemerdekaan, seperti bunyi pembukaan UUD 1945 adalah hak segala bangsa.


#MERDEKA!!!
#Dirgahayu NKRI Ke 77 Tahun

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun