Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Imajinasi Lebih Penting Daripada Pengetahuan?

23 Agustus 2013   01:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:56 6920 23
Dalam acara talkshow tentang "Membangun Budaya Literasi" di Perpustakaan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya (18/8/ 2013) -saya bersyukur bisa duduk semeja sebagai narasumber bersama penulis top Dukut Imam Widodo. Dari sejumlah penanya, ada salah satu penanya yang menyatakan bahwa menulis membutuhkan knowledge(pengetahuan).  Tanpa pengetahuan, mustahil seseorang bisa menulis. Apa yang akan ditulis jika tidak ada bahan atau sesuatu yang ditulis?  Singkatnya,  pengetahuan itu mutlak adanya. Mas Dukut-demikian saya memanggilnya-menanggapinya dengan meyakinkan, bahwa pengetahuan itu wajib bagi penulis untuk dimilikinya. Sebagai penulis sejarah kota-kota tempoe doeloe (semisal "Soerabaia Tempoe Doeloe", "Hikajat Soerabaia", sebentar lagi "Sidoarjo Tempoe Doeloe"), Mas Dukut mengilustrasikan,  untuk menulis sebuah buku 'sejarah kota' dia harus membaca literatur tak kurang dari 200 buku-di samping berita, jurnal, dan sebagainya. Selain itu, Mas Dukut juga melakukan penelitian-bersama tim  kreatifnya (kadang sampai 10 orang)-tentang objek kota yang akan ditulisnya berbulan-bulan lamanya. Bahan-bahan empirik ini melengkapi bahan-bahan literatur yang dilahapnya setiap hari di luar jam kerja rutinnya. Bagi Mas Dukut, "membaca" buku dan data lapangan adalah wajib untuk menulis buku sejarah kota. Hal itu menegaskan betapa pentingnya pengetahuan sebagai bahan dasar menulis.  Saya ikut memberikan sumbang ide, bahwa jika seseorang memiliki pengetahuan banyak yang diperoleh sebelumnya, lalu dia mendapat pemantik atau pemicu (trigger), maka akan muncullah inspirasi (inspiration). Jadi, saya formulasikan begini: prior knowledge + trigger = inspiration. Meski demikian, dalam dunia penulisan kreatif, saya sampaikan kepada hadirin talkshow ungkapan Albert Einstein: "Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world." (Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Imajinasi melingkupi dunia.") Ya, imajinasi jauh lebih penting daripada (sekadar) pengetahuan. Ungkapan ini sangat meyakinkan ketika yang mengungkapkan adalah seorang saintis, ilmuwan, orang yang terbiasa dengan dunia (ilmu) pengetahuan empirik. Jika Einstein yang biasa dengan pengetahuan empirik saja yakin dengan ungkapan itu, itu pastilah beradasarkan hasil refleksi yang mendalam dan komprehensif. Saya telah memegang ungkapan Einstein itu sejak tahun 1990-an, dan mungkin sudah menular kepada (mantan) mahasiswa saya dalam matakuliah menulis (kreatif). Dalam matakuliah menulis saya mengajar dua genre besar, tulisan ilmiah dan tulisan kreatif (cerpen, puisi, drama, jurnalistik). Dari sekian mahasiswa, entah berapa orang yang telah tertular virus ungkapan Einstein. Saya juga yakin bahwa Mas Dukut juga telah "menghayati" pentingnya imajinasi di samping pengetahuan/wawasan yang luas, malah jauh-jauh hari sebelum saya. Mas Dukut telah menghasilkan belasan novel yang diterbitkan, dan di sanalah Mas Dukut menghayati imajinasi dan pengetahuan itu. Mengapa imajinasi lebih penting? Jika pengetahuan diperoleh dengan kegiatan panca-inderawi, imajinasi  bermain lebih dari arena akal ini. Meski demikian, imajinasi bukanlah angan-angan kosong (daydreaming), melainkan berangan-angan yang terarah (imagining). Apa yang mustahil dipikirkan akal, masih mungkin dimainkan oleh imajinasi. Dengan demikian, imajinasi bisa berangkat dari pengetahuan untuk berkembang dan melesat dalam ruang mental dan bathin tanpa batas. Pengetahuan bahkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengembangan itu. Bertumbuhnya film-film fiksi ilmiah semisal Star Trex atau Star Wars, menunjukkan betapa pengetahuan itu penting, namun dengan imajinasi yang cerdas dan hebat, jadilah film-film yang luar biasa-film-film yang seakan membawa kita pada perang bintang, sesuatu yang menurut pengetahuan umum mustahil terjadi. Dulu sebelum ada lampu listrik, ada orang yang punya imajinasi tinggi, yakni Thomas Alva Edison.  Maka, pada 1879  dia menemukan lampu listrik itu-suatu temuan yang semula ditertawakan, namun akhirnya dikagumi dan bahka disyukuri hingga sekarang ini. Demikian Albert Einstein, ilmuwan Fisika Teoretis terbesar abad ke-20. Dia membarengi pengetahuannya dengan imajinasi, hingga dia menemukan Teori Relativitas (dan rumusnya yang tersohor E = mc2) dan banyak menyumbang pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistika, dan kosmologi. Para sastrawan besar dunia yang telah menyabet Hadiah Nobel (kini sudah 109 orang) adalah penulis-penulis yang menitikberatkan imajinasi, di samping kekuatan pengetahuan yang mereka miliki. Rudyard Kipling (novelis, cerpenis, dan penyair dari Inggris), Rabindranath Tagore (penyair, novelis, dramawan, cerpenis India), George Bernard Shaw (dramawan, kritikus sastra Irlandia), John Galsworthy (novelis Inggris), Eugene O'Neill (dramawan Amerika), Ernest Hemingway (novelis, cerpenis Amerika), Albert Camus (eseis, novelis, dramawan Prancis), Saul Bellow (novelis, cerpenis Amerika), Naguib Mahfouz (novelis Mesir), Toni Morrison (novelis  Afrika-Amerika), Mo Yan (novelis, cerpenis China)-semuanya memiliki imajinasi dahsyat di samping pengetahuan yang banyak. Demikianlah, pengetahuan itu sangat penting bagi siapapun, terlebih bagi penulis. Dengan pengetahuan, orang tercerahkan dan terkayakan-sehingga dia berwawasan luas. Namun, untuk berkreasi atau berkarya (menulis) kreatif, selain pengetahuan atau wawasan luas, orang sangat membutuhkan kekuatan imajinasi. *** Copyrights@Much. Khoiri, 2013.

Cara Penulisan Daftar Pustaka :

Khoiri, Much. Tahun upload. Judul artikel.  Alamat URL lengkap artikel ini. Diakses pada tanggal........

Contoh:

Khoiri, Much. 2013. Jurus Mengatasi Kemacetan Menulis. http://media.kompasiana.com/buku/2013/07/02/jurus-mengatasi-kemacetan-menulis-573794.html.Diakses pada tanggal 25 Agustus 2013.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun