Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Soal Perempuan, Jokowi-Ma'ruf Lebih Mengerti

15 April 2019   09:19 Diperbarui: 15 April 2019   10:10 240 4
 Saya sepakat dengan rekan Kompasianer Leya Cattleya, bahwa isu kesetaraan gender tidak mendapat porsi selayaknya dalam debat terakhir capres/cawapres hari Sabtu 13 April 2019 yang lalu. (Lihat "Partisipasi Perempuan dalam Ekonomi adalah Tanggung Jawab Bersama", kompasiana.com, 14 April 2019).
 
Dalam debat pertama, isu kesetaraan gender sebenarnya telah disinggung pula. Hanya saja masih terbatas pada partisipasi perempuan di bidang politik, baik pemerintahan maupun kepartaian. Pada akhirnya debat waktu itu hanya mempersoalkan porsi perempuan dalam struktur pemerintahan dan organisasi politik.
 
Selama masa kampanye isu kesetaraan gender  sejatinya  tak mendapat perhatian memadai juga. Isu gender malahan direduksi, dengan nada pejoratif, menjadi persoalan mobilisasi potensi kekuatan sosial-politik "emak-emak". Atau lebih buruk dari itu, kisah "derita" beberapa orang emak di-blow up  sebagai "masalah nasional" dalam kesempatan debat capres/cawapres.
 
Lebih menyedihkan lagi, ada politisi yang bilang  peran heboh emak-emak mendukung  capres/cawapres adalah kebangkitan partisipasi politik perempuan. Tidak, itu tak lebih dari mobilisasi perempuan sebagai "alat produksi" di bidang politik. Kelompok gender perempuan sedang direndahkan di situ.
 
Saya pikir, apresiasi harus diberikan pada Jokowi-Ma'ruf karena mereka relatif terhindar dari langkah eksploitasi perempuan sebagai "alat produksi" politik. Mereka juga memilih penggunaan istilah ibu-ibu, dan  menghindari istilah emak-emak yang bernada merendahlan itu.
 
Kembali pada isu kesetaraan gender dalam debat terakhir capres/cawapres itu, jika membanding maka Jokowi-Ma'ruf lebih mengerti duduk persoalan ketimbang Prabowo-Sandi.
 
Jokowi-Ma'ruf langsung merujuk pada isu pengarus-utamaan gender (gender mainstreaming) saat menjawab pertanyaan tentang kebijakan kesetaraan gender di bidang ekonomi. Bahkan juga di bidang sosial dan politik khususnya pemerintahan.
 
Sebagai contoh, Ma'ruf mengungkapkan program-program kredit usaha mikro (UMI) dan Bank Wakaf Mikro. Nasabahnya 100 persen adalah perempuan. Ma'ruf sama sekali tidak mencatut nama ibu ini atau itu. Sebab dia mengerti, ibu-ibu memang suka rame gosipin ibu lain, tapi jika dirinya yang digosipin maka urusannya bisa "rame".
 
Sebaliknya jawaban Prabowo tidak mencerminkan adanya pemahaman yang memadai tentang isu kesetaraan gender. Prabowo menyebut RI pernah punya presiden perempuan. Ini bukan jawaban untuk pertanyaan kebijakan kesetaraan gender.
 
Jawaban Sandi sebenarnya relevan ketika menjelaskan perlunya pelatihan dan akses permodalan bagi para perempuan yang menjalankan usaha skala mikro. Tapi Sandi kalah selangkah karena jawaban Ma'ruf sudah merujuk pada program kongkrit yaitu UMI dan Bank Wakaf Mikro.
 
Uraian Jokowi-Ma'ruf terkait kebijakan dan program kesetaraan gender sebenarnya  masih serba sumir. Tapi, seperti dikatakan rekan  Leya Catleya,  dengan menyebut "pengarus-utamaan gender" setidaknya mereka sudah di jalur yang tepat. Sementara Prabowo-Sandi belum mengungkap secara jelas bagaimana kebijakan kesetaraan gender yang akan ditempuh.
 
Saya sepekat dengan rekan Leya Catleya bahwa tantangan utama kesetaraan gender di Indonesia kini adalah eliminasi kesenjangan atau ketimpangan  dalam peluang usaha/kerja, akses pada teknologi, dan keamanan di tempat kerja.  

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun