Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Lockdown Versi UU: Urusan Perut Jadi Kewajiban Pemerintah

29 Maret 2020   11:41 Diperbarui: 29 Maret 2020   12:38 181 2

Meningkatnya kasus positif Covid-19 diiringi dengan tingkat kematian yang tinggi membuat beberapa negara di dunia memutuskan untuk lockdownSalah satu negara dengan kasus tertinggi adalah Amerika Serikat diikuti dengan Italia. Pantauan per tanggal 29 Maret 2020, total kasus positif Italia mencapai 92.472 kasus. Mengatasi hal ini, pemerintah Italia, melalui Perdana Menteri Giuseppe Conte, mengumumkan lockdown penuh pada tanggal 9 Maret2020. Italia menjadi negara demokrasi pertama yang mengumumkan lockdown sejak Perang Dunia ke II.

Sebelum Italia, China sudah lebih dahulu memberlakukan lockdown. Sebagai negara di mana virus Covid-19 pertama kali ditemukan, China sudah melakukan lockdown untuk kota Wuhan terhitung sejak tanggal 23 Januari 2020. Pemerintah setempat memberlakukan lockdown secara bertahap. Di mulai dengan himbauan untuk menghindari keramaian, pembatasan transportasi darat, laut, dan udara, hingga pembatasan mobilitas warga di Wuhan. Setelah Wuhan, lockdown juga diperluas di wilayah-wilayah lain secara bertahap.

Italia dan China memberlakukan lockdown sesuai dengan kebutuhan negaranya. Kemudian timbul pertanyaan, apa itu lockdownIndonesia sendiri tidak mengenal istilah lockdown. Situasi yang paling mendekati definisi lockdown menurut hukum Indonesia adalah karantina sebagaimana didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU 6/2018). Pasal 1 UU 6/2018 mendefinisikan kekarantinaan kesehatan sebagai upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan ini wajib didahulukan dengan penetapan darurat kesehatan masyarakat, di mana pemerintah pusat wajib menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko terlebih dahulu sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 10. 

Pada tanggal 14 Maret 2020, presiden melalui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Doni Monardo, menetapkan virus corona Covid-19 sebagai bencana nasional. Penetapan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007) yang membagi bencana menjadi 3 jenis yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial. Salah satu penyebab bencana non alam adalah epidemi atau penyakit. Atas penetapan ini maka syarat dalam Pasal 10 jelas terpenuhi. Belum lagi pernyataan World Health Organization (WHO) yang mengumumkan bahwa Covid-19 dikarakteristikan sebagai pandemik pada 12 Maret 2020.

Selanjutnya, penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat harus ditindaklanjuti dengan penyelenggaraan karantina kesehatan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melindungi warganya yang juga amanat dari UU 6/2018. Karantina kesehatan yang diatur dalam UU ini terbagi menjadi 4 bentuk, yaitu karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah, dan pembatasan sosial berskala besar.

Lalu dimanakah posisi Indonesia saat ini? Sampai saat ini, Indonesia belum resmi mengumumkan status karantina. Tetapi secara de facto, Indonesia berada pada pembatasan sosial berskala besar. Hal ini bisa dilihat dari himbauan Joko Widodo terkait social distancing atau jaga jarak sosial dengan pemberlakukan kerja dari rumah, sekolah dari rumah danibadah dari rumah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dengan menerbitkan Surat Edaran Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta nomor 32/SE/2020 tentang Penyesuaian Sistem Kerja Pegawai dalam Upaya penegahan Penyebaran COVID-19 dan untuk dunia usaha Anies mengeluarkan Seruan Gubernur Nomor 6 Tahun 2020 yang menegaskan seluruh kegiatan perkantoran untuk sementara waktu dihentikan. 

Untuk kegiatan ibadah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Wabah Covid-19 di Indonesia bagi umat Islam. Untuk umat kristiani, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga sudah mengedarkan himbauan kepada gereja-gereja untuk menerapkan e-church. Tindakan-tindakan yang diambil oleh pemerintah ini setidaknya sudah memenuhi kriteria paling sedikit dalam pembatasan sosial berskala besar yang di maksud dalam Pasal 59 ayat 3 UU 6/18.

Jika melihat pada kasus terkonfirmasi positif per tanggal 29 Maret 2020, Indonesia memiliki 1.155 kasus dengan kasus tertinggi di wilayah DKI Jakarta, disusul Jawa Barat dan Banten. Sejak dikeluarkannya himbauan social distancing, sampai saat ini kasus Covid-19 terus saja meningkat. Salah satu upaya keras yang dapat dilakukan pemerintah adalah karantina wilayah dengan melakukan pembatasan penduduk. Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina. Karantina wilayah ini dianggap perlu khususnya untuk daerah Jakarta sebagai wilayah dengan kasus terkonfirmasi tertinggi.

Persoalannya sekarang, beranikah pemerintah mengambil langkah ini? Sesuai UU 6/18 jika pemerintah memberlakukan karantina wilayah maka kebutuhan hidup menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Kebutuhan hidup sehari-hari ini meliputi kebutuhan pakaian, perlengkapan mandi, cuci dan buang air. Ini artinya pemerintah wajib menggelontorkan dana untuk lebih dari 10 juta warga Jakarta. Sanggupkah? Atau lebih tepatnya, maukah?

Sayangnya, UU 6/18 tidak mengatur lebih jauh mengenai tanggung jawab pemerintah dalam hal penyelenggaraan pembatasan sosial berskala besar sebagaimana diberlakukan saat ini. Itu artinya pemerintah belum memiliki tanggung jawab hukum dalam menopang kebutuhan hidup warganya. Kemudian timbul pertanyaan, mungkinkah pemerintah mengambil langkah untuk melakukan karantina wilayah DKI Jakarta di tengah perekonomian global yang tidak stabil? Siapkah pemerintah menanggung lebih dari 10 juta perut warga Jakarta? Ataukah pemerintah akan menggalang pinjaman luar negeri lagi seperti yang sudah dilakukan dalam rangka percepatan reformasi keuangan di tengah pandemik Covid-19? Atau mungkin menggandeng sektor swasta? Atau yang paling masuk akal menggalang dana dari masyarakat alias pendanaan pribadi?

Menindaklanjuti hal ini, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, menyatakan pemerintah sedang menggodok Peraturan Pemerintah (PP) tentang karantina wilayah. Menurutnya, pelaksanaan karantina wilayah butuh payung hukum demi keseragaman policy. Jika nantinya karantina wilayah menjadi keputusan resmi yang akan diambil pemerintah, maka bersiaplah untuk skenario terburuk.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun