Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen | Di Bawah Pohon Kersen

28 Maret 2020   11:13 Diperbarui: 28 Maret 2020   13:11 772 5

Langit sore itu tampak muram. Matahari perlahan mulai turun ke ufuk barat. Warna kemerah-merahan di langit menandakan hari segera berakhir. Perempuan itu berjalan menyusuri pematang. Di kiri kanan tampak kuncup padi bergoyang. Sesekali ia membenarkan syalnya seraya merasakan angina dingin melewati wajahnya.

Pikirannya melayang jauh ke langit sore. Keningnya mengkerut dan sorot matanya lesu. Kadang-kadang kepalanya menggeleng sambil menarik napas panjang. Beberapa kali ia menendang kerikil sambil menggumamkan kata-kata pahit. 

Perempuan itu berhenti di salah satu pohon kersen. Terdengar halus suara cuitan anak burung. Matanya berputar mencari sumber suara tersebut. Seekor burung kemade terbang rendah di atas kepalanya. Ia melihat ke atas pohon dan mendapati sarang burung di sana. Ibu burung kemade membawa beberapa cacing di mulutnya. Anak-anak burung itu berhenti mencicit dan dengan lahap menyantap cacing-cacing. Ia memperhatikan bagaimana anak-anak burung itu berebut makanan. Burung-burung itu mendapat makanan tanpa harus menabur, pikirnya.

Ia kembali menarik napas dan duduk di bawah pohon. Matanya bergerak melihat hamparan padi yang menguning. Suara jangkrik pertama mulai terdengar. Jangkrik lain tidak segan menyaut. Beberapa jangkrik mulai berani menampakkan dirinya di pinggir sawah. Salah satu jangkrik melompat dari kerumunan padi, mengepakkan sayapnya lalu meloncat masuk ke tepian sawah.

Perempuan itu membenarkan duduknya dan menyenderkan kepala di batang pohon. Ia memejamkan mata dan menghela napas panjang. Ia mengingat-ingat apa yang terjadi hari ini. Tak ada satu pun kejadian yang luput dari pikirannya. Ketika ia bangun, bersiap-siap untuk berangkat kerja, bertemu dengan orang banyak dan mulai membereskan pekerjaannya.

Sepanjang hari otaknya tidak berhenti berpikir, sepanjang hari kepalanya penuh dengan bisik-bisik orang dan sepanjang hari juga ia menahan emosinya. Entah sampai kapan keadaan ini berlangsung. Mata perempuan itu bergerak-gerak di balik kelopaknya. Kerutan di dahinya semakin dalam dan napasnya semakin berat. Wajahnya tampak pucat membuat garis-garis halus di pipinya semakin terlihat. Ia tersesat dalam pikirannya.

Seekor kodok melompat disela-sela kakinya sambil mengeluarkan suara nyaring. Sontak kakinya terangkat dan badannya melipir. Seperti kurang puas, kodok hijau dengan perut bergelembung itu mengeluarkan suara nyaring lagi kemudian melompat masuk ke semak-semak. Perempuan itu terbangun dari pikirannya dan menemukan dirinya kembali. Ia menyipitkan mata dan melihat sekeliling. Gelap mulai turun dan angin malam memaksa masuk ke sela-sela lehernya. Ia mengencangkan balutan selendang sambil memeluk lengannya.

Pikirannya masih menerawang jauh ke langit malam. Ia memiringkan kepalanya dan tiba-tiba tersentak, ia teringat ucapan laki-laki separuh baya dengan jubah panjang beberapa hari lalu, “Siapakah di antara kamu karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”. Perempuan itu termenung.

Ia mencoba mengingat-ingat perkataan laki-laki itu, “Siapakah di antara kamu karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”. Sekali lagi suara berat itu terlintas di pikirannya. Perempuan itu menegakkan badannya dan bibirnya mengulang-ulang kalimat tersebut. Ia mengerti sekarang.

Perempuan itu berdiri. Matanya kembali memandang langit malam. Tapi kali ini berbeda, setitik sinar terpancar di bola matanya. Ia mengangguk pada dirinya sendiri, menarik napas panjang, lalu berjalan pulang dengan langkah mantap.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun