Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Menghapus Budaya Kemunduran

29 Desember 2012   09:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:51 176 0

Pada 28 Desember kemarin Gereja Katolik merayakan Pesta Kanak-Kanak Suci untuk memperingati peristiwa dibunuhnya para bayi laki-laki di bawah 2 tahun atas perintah Raja Herodes yang merasa terancam kekuasaannya oleh kedatangan Mesias yang menurut nubuat para nabi Israel akan lahir di Bethlehem. Pada konteks zaman ini, pesta ini sekaligus drayakan untuk memperingati bayi-bayi yang diaborsi dan anak-anak yang sudah meninggal. Gereja percaya bahwa anak-anak itu, dalam keadaannya yang “innocents” telah diangkat oleh Allah ke dalam surga.

Pada masa kini, aborsi menjadi salah satu masalah yang masih melingkupi masyarakat. Sebenarnya pada hakikatnya, metode-metode KB selain metode KB alami adalah, per se, juga sebuah pencegahan kelahiran dan dengan demikian juga mencegah kehidupan baru.

Seolah zaman kita telah terbiasa dengan aneka penindasan dan pembunuhan, terutama kepada kaum-kaum yang lemah dan tidak berdaya-para bayi, anak-anak, perempuan, dan dalam situasi tertentu ada pula kaum laki-laki yang lemah dan berposisi sebagai korban.

Kaum yang lemah itu tidak terpaku pada golongan jenis kelamin atau usia tertentu saja. Kondisi termarginalkan dalam berbagai situasidapat menimpa siapapun. Kecenderungan “homo homini lupus” dan penggunaan hukum alam tidak pernah hilang dalam masyarakat, bahkan di zaman modern ini hukum itu semakin berlaku dalam berbagai bidang.

Masyarakat dunia semakin “terbiasa” dengan segala budaya kebebasannya (baca: kebebasan yang tidak bertanggung jawab). Orang-orang merasa sah-sah saja melakukan segala hal yang mereka inginkan. Orang tidak lagi mampu membedakan mana yang menjadi hak, mana yang menjadi tanggung jawab mereka, apalagi dalam konteks moral yang semakin “dibuat abu-abu” di masa sekarang ini.

Korupsi yang merajalela juga dianggap hal yang biasa dalam masyarakat kita. Segala lapisan, dari yang paling bawah hingga yang paling atas tidak bersih dari penyakit itu. Kebiasaan “menghalalkan segala cara” sudah menjadi budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat kita. Akhirnya, orang-orang yang tidak tahu apa-apa (sebagai kaum yang termaginalkan dalam konteks ini) menjadi korban.

Anak-anak sekolah di daerah terpencil yang gedung kelasnya sudah roboh habis-habisan akibat banjir, misalnya. Mereka tidak berdaya untuk menuntut banyak dari orang-orang yang mengambil hak mereka untuk mendapatkan fasilitas yang lebih baik itu. Sementara di pihak lain, orang yang melakukan korupsi dana pendidikan yang semestinya disalurkan kepada anak-anak itu menghabiskan uang yang ia peroleh itu tanpa rasa bersalah.

Kekerasan sosial mungkin dapat menjadi suatu istilah yang menggambarkan situasi ini. Kekerasan ini tidak hanya kekerasan secara fisik saja, tetapi kekerasan secara moral dan spiritual, kekerasan yang terjadi dalam berbagai bidang kemasyarakatan kita. Kekerasan-kekerasan tersebut menjadi bagian dalam suatu dosa sosial (istilah yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi) yang mengakar kuat dalam masyarakat.

Budaya kekerasan dalam masyarakat ini menimbulkan suatu lingkaran setan yang tidak ada habisnya. Pertikaian, perselisihan, permusuhan antargolongan pun tidak terelakkan. Segala pertentangan tersebut merupakan buah dari ketidakjujuran dan kekerasan yang selalu membayangi masyarakat kita dan akhirnya menciptakan frustasi sosial. Kriminalitas dan berbagai kejahatan sosial pun timbul. Kehidupan masyarakat dilingkupi berbagai masalah dan dengan demikian menghambat kemajuan dalam kehidupan bersama tetapi justru kemunduran.

Melihat semua keadaan itu, marilah kita mengimbau kembali diri kita masing-masing untuk terus menggerakkan suatu budaya kemajuan dan menghapuskan budaya kemunduran itu. Mari mencari kemajuan kualitas hidup yang sesungguhnya. Budaya kemajuan semacam apa yang dapat kita bangun?

Budaya kemajuan yang dilandasi ketaatan kepada Tuhan. Ya, memang terdengar normatif, namun pada kenyataannya tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dengan mengejar kesenangan semu.

Semua kebahagiaan kita terikat pada kesejatian hidup yang kita jalani dengan penuh rasa tanggung jawab dan kesetiaan untuk menaati seluruh kehendak-Nya. Dengan demikian barulah kebahagiaan yang sejati dapat kita capai.

Sudah banyak orang yang saya jumpai dan dari setiap mereka saya belajar tentang kebahagiaan yang sederhana itu. Khususnya dari orang-orang yang nampaknya tidak berarti di “mata dunia”. Para penjaga sekolah, petugas kebersihan, pengelola kantin, orang-orang yang berjuang dalam kesulitan hidupnya… Dalam wajah mereka yang tersenyum tulus setiap saat itulah saya selalu dapat menemukan barang langka pada zaman ini: KEBAHAGIAAN—HAPPINESS.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun