Mohon tunggu...
KOMENTAR
Worklife Pilihan

Bersabar dari Ketidaknyamanan Sebuah Pekerjaan adalah Jua Manifestasi Rasa Syukur

6 September 2019   16:47 Diperbarui: 6 September 2019   17:45 195 2
Belum lama ini, saya sempat membaca tulisan temen-temen netizen soal hijrah dari pekerjaan yang lama ke pekerjaan yang baru yang dalam kacamata sebagian orang lebih barokah. Saya mau cerita boleh ya? Mudah-mudahan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil, eh, maksud saya, ada banyak kegagalan yang bisa dijadikan pelajaran. Eh, gimana sih?

Beberapa bulan belakangan menjadi waktu-waktu terberat saya sebagai pilot maskapai penerbangan yang bernama Keluarga. Pasalnya, sudah (kurang lebih) setahun saya memutuskan resign dari perusahaan transportasi tempat saya bekerja. Alasannya, ada beberapa, di antaranya; jenuh, jarak antara tempat bekerja dan tempat tinggal yang cukup jauh dan lebih dari cukup untuk membuat pinggang saya tiap hari terasa sakit, dan ingin mencoba peruntungan baru.

Belasan tahun bekerja mengukur jalanan Jabodetabek plus sesekali Sukabumi, Merak, Bandung dan Indramayu, di atas kabin truk (soal pekerjaan ini pernah saya tulis di otomojok dua tahun yang lalu) membuat saya mulai merasakan kejenuhan yang teramat. Saya mulai merindukan waktu luang yang lebih banyak di rumah, untuk keluarga, untuk leyeh-leyeh sembari membaca, mendengarkan musik dan sesekali menulis ---meskipun hanya menulis status facebook, saya betul-betul merindukan hal itu.

Saya mulai mencari-cari peluang lain untuk menggantikan pekerjaan saya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berdagang salah satunya, karena selain bisa dikerjakan tanpa harus jauh-jauh meninggalkan rumah dan keluarga, konon berdagang membuka kunci-kunci pintu rejeki dari banyak arah. Tapi tentu saja berdagang butuh modal dan mental yang bukan main-main. Sayangnya, keinginan untuk resign sudah di ubun-ubun, meskipun banyak orang-orang yang peduli dengan saya menyarankan agar jangan terburu-buru mengambil keputusan, saya tetap bergeming. Saya resign.

Setelah resign, sembari membuka warkop kecil-kecilan di rumah, saya akhirnya memilih menjadi marketing freelance di perumahan tempat saya tinggal dan sesekali mengirimkan tulisan ke media online. Beberapa bulan semua berjalan lancar. Komisi dari hasil menjual rumah cukup lumayan, pun honor dari menulis bisa untuk membayar cicilan rumah. Warung kopi, alhamdulillah, sampai sekarang masih bertahan.

Namun, bukan bahtera namanya jika tak mau digoyang ombak, bukan pesawat jika tak ingin digetarkan turbulensi, bukan hidup namanya jika tak sudi ditampar kesusahan. Sebentar, saya bikin kopi pahit dulu, curhat kayak gini kalau enggak sambil ngopi rasanya feel-nya kurang dapat. Bukan begitu, saepul?

Setelah kemudahan-kemudahan yang saya ceritakan di alinea sebelumnya, kesulitan mulai mengambil peran. Bulan-bulan berikutnya, penjualan rumah mengendur, entahlah, mungkin saya yang kurang keras berusaha, media online yang biasa mengakomodir tulisan-tulisan remeh saya tak lagi menerima tulisan dari kontributor. Na'asnya, cicilan rumah dan kebutuhan hari-hari bukannya ikut mengendur malah seperti mencekik leher saya semakin kencang, sulit hanya untuk sekadar mengembuskan nafas dengan bebas. Saya mulai goyah.

Lintasan kenyamanan hari-hari kemarin--- saat masih menerima gaji setiap bulan, saat mengajak anak-anak liburan sehabis gajian---mulai berkelebat menciptakan keperihannya sendiri. Perih itu semakin menjadi saat si bungsu di akhir bulan tetiba berujar, "Ayah enggak ke Alfa? Ngambil gaji ayah?"

Pun nasihat-nasihat sederhana dari saudara dan sahabat yang saya abaikan begitu saja, sesaat sebelum akhirnya saya memutuskan berhenti bekerja, riuh memenuhi isi kepala,

"Jangan resign dulu, sebelum benar-benar jelas jalan yang bakal lo ambil! Jangan main-main, lo udah punya buntut sekarang." Begitu Abang saya menasihati yang saya jawab dengan santai dan keyakinan level sufi, "Insya Allah, mereka ada jalan rejekinya sendiri."

Yang paling terasa menghunjam dan terlambat saya renungi justru nasihat dari tetangga sekaligus guru ngaji saya, waktu itu saya memang tak sanggup menjawabnya, "Bersabar dari takdir Allah berupa pekerjaan yang saat ini sampeyan jalani itu juga bagian dari bersyukur, Pak Iwan, pikirkanlah. Bukankah setiap yang berlaku atas kita tak luput dari ketetapan-Nya?"

Lama saya berpikir, mencoba meraba lagi keteguhan hati saya, benarkah keputusan untuk berhenti bekerja dan memilih berwira usaha itu demi kebaikan keluarga? Ataukah hanya obsesi saya semata karena jenuh dengan rutinitas dan ingin mencoba pekerjaan yang bisa memanjakan passion saya?

Yang kita sudah sama-sama tahu adalah bahwa kemampuan, keuletan dan bakat setiap orang berbeda satu sama lain. Ada baiknya kita berpikir lebih jauh sebelum kita tergoda untuk mengubah arah perjalanan kita. Jalan sukses orang lain belum tentu mampu kita lewati dengan mudah, bisa jadi, kita malah terjungkal dan tak sanggup melalui jalan itu. Dan akhirnya kita harus mengulang lagi arah perjalanan kita dengan beban yang semakin bertambah.

Jika akhirnya saya memilih bekerja lagi, memilih jadi orang gajian lagi, bukan semata pengaruh dari kata-kata Wiji Tukul yang terkesan sederhana namun cukup menggoda, "Besok pagi kita ke pabrik, kembali kerja, sarapan nasi bungkus, ngutang seperti biasa", bukaan. Tapi karena saya tak sanggup lagi membohongi tuan puteri kesayangan saya di setiap akhir bulan, kenapa saya enggak mengambil gaji di Alfamart. Ituh!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun