Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kompetisi adalah Destruksi, Bukan untuk Dibanggakan

16 April 2021   22:28 Diperbarui: 25 Juli 2021   13:47 300 0
Oleh: M.Iqbal.M


Bagi si pertapa (meminjam term Nietzsche), hidup bukan soal kompetisi. Jadi tidak perlu melihat teman sebagai musuh/saingan dengan dalil agar bisa memotivasi diri sendiri supaya dapat menjadi lebih bersemangat dalam bergeliat/menjalani hidup. Bahkan bernarasi membangga-banggakan perihal tersebut supaya terlihat bahwa telah meng-ada ala ontologi Cartesian.

Itu artinya, bagi si pertapa, hidup bukan semata soal meraih kesuksesan, melainkan soal terus-menerus mempertanyakan kesuksesan (be becoming for da-sein ontology repetition/self-overcoming) serta soal bagaimana bisa bernegosiasi secara tentram dan sehat dengan orang lain, tanpa ada dominasi atau tertutupnya 'dialektika temporisasi komunikasi' (meminjam term Deridda) dan kehendak yang terlalu menggebu-gebu terhadap pola pikir yang terpaku akan suatu kesuksesan akhir/final sekaligus tunggal ataupun suatu superioritas-naif.

Itulah mengapa, bukan soal sehat atau tidaknya sebuah kompetisi--lebih jauh lagi--melainkan soal bagaimana merubah simbiosa persaingan (survival of the fittest) dengan simbiosa mutual yang altruis sekaligus asketis. Sebab, apa kulminasi atau titik akhir dari benih-benih pola pikir kompetitif dan keterpakuan oleh tujuan kesuksesan final/tunggal mutlak (tidak repetitif) tersebut ?. Titik akhirnya yaitu berkomprominya dengan watak-watak fasistik (termasuk watak-watak ultra-konservatif kolot serta nomad pragmatis-nonholistik-logical fallacy). Bahkan benih tersebut dapat bertransformasi menjadi fasis itu sendiri. Dan alih-alih ingin berdiri 'diatas', justru tindakan semacam itu secara cepat atau lambat akan menghantarkan kepada keterpurukan, lantaran ketika berada 'diatas' dan ada seorang yang terpuruk,  maka konsekuensi logisnya ialah pembalasan demi merebut kedudukan agar bisa berdiri 'diatas' kembali. Semua saling balas membalas tanpa adanya sebuah kondisi dimana setiap individu hidup dengan segala perbedaan (dalam arti tertentu) secara harmonis.

Contoh singkatnya, di lingkup akademi (atau anggap saja di suatu lingkup ranah sosial), ada seseorang yang sebetulnya mempunyai kesadaran terhadap fenomena ospek yang bersifat premanistik, destruktif, dan diskriminatif (berkedok konstruktif), tapi karena dirinya tidak mau repot-repot cari cara agar dapat merubah fenomena tersebut--supaya menjadi lingkungan yang sehat dan dapat menjadi tempat yang tentram untuk setiap individu yang mempunyai karakter berbeda-beda--akhirnya, ia memilih untuk sekedar berkompromi dengan cara sama sekali tunduk terhadap fenomena tersebut. Bahkan menjadi pelaku penyelenggara/eksekutor ospek ketika sudah waktunya ia menjadi panitia ospek. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun