Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

pelayaran ke barat

18 Agustus 2012   02:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:35 131 5

ilustrasi: hikbalujir.blogspot.com

bulan hampir habis

sudah dua pelabuhan terlewati

sebentar lagi tiba di pelabuhan terakhir

tanda hampir genap pelayaran diri di lautan Ramadhan

Ramadhan, bak sebuah telaga bening

airnya sarat dengan pengampunan

bertebar barokah

malam menggigil diselimuti sunyi dinginnya langit

selepas mengaji televisi, ku termangu di tepian beranda kapal

hilang anganku

melayang

mengepakkan sayap jauh ke ujung rasa

berjalan menyusuri desir-desir darah nadiku

meracau

jadi bumerang

seketika berhamburkan

menjelma mozaik

serupa termutilasi bom

pikirku tersengal

dijejali lidah kehidupan yang menjemukan

meninggalkan teori-teori patrol pendidikan lama

pelabuhan pertama

kala itu ada bunga rampai doa pengiring malam yang berdendang

ada gemericik dzikir dan sahutan alunan senandung syahdu Kalam Tuhan

ada tangis nyanyian taubat kala subuh menjelang

pun anyir mulut menjelma manis kata

memahat indah polah tingkah manusia

busana tertutup membalut tubuh meliuk-liuk

ada goresan tawa renyah dalam senja

meski terkadang ditemani kepul asap rokok

dan jamuan yang semula biasa menjelma istimewa

Ramadhan, bak membawa aroma terapi

tak perlu repot mengundang

tak perlu capai teriak

manusia berduyun-duyun datang

masjidku terasa sempit

pelabuhan kedua

adzan masjid mulai tenggelam

manusia masih berduyun-duyun datang

ribuan dari mereka berbondong-bondong memenuhi pasar

berjejalan

serupa ikan-ikan sarden dalam kaleng

beriring-iringan berjalan di los-los pasar

membentang dari timur ke barat, selatan ke utara

tanpapeduli keringat dan nafas bercampur panasnya hawa

adu cepat

tak tahan

kala rayuan maut sang raja diskon menawari

ber-Tuhan-kan selimut, sirup, dan biskuit

meski gabah-gabah gabug

pun jala-jala tersangkut hutang gadai

Tuhan kala itu adalah sang tunjangan, selimut,sirup, dan biskuit

ritual Ramadhan tinggal sahur dan berbuka

pelabuhan ketiga

manusia pun berduyun-duyun datang

datang dari kota ke desa

serupa aku yang berjejalan dalam lubang kapal

ada pula yang rela berjejalan dalam bis berjendela terbuka

memuat puluhan nyawa

atau dalam onggokan besi yang berjalan diatas rel

tak sedikit dari mereka rela nangkring di atasnya

pun dengan motor roda dua

berjejalan dengan onggokan kardus, tas-tas besar, dan bungkusan

melupakan terik sang mentari

tak pedulikan jika ada yang meregang nyawa di jalan

berakhir tangis suka, berganti rintih duka

tak sedikit pula berada dalam kotak besi

sorak sorai di jalan raya

lupa akan jala-jala yang tersangkut hutang gadai

ya, atas nama mudik

tanah air! kompas di hati

meski harus menikmati ayunan malas kendaraan dengan serta merta

masjidku yang penuh tambahan tenda, kini menjelma parkir sepeda

tahajud kian karam

tinggal desis dzikir yang kelu

bulan hampir habis

menggantung diam

terkantuk-kantuk kelelahan

bahtera pelayaran ini sebentar lagi berlabuh

sementara gairah Ramadhanku luruh, cintaku pada-Mu rapuh

hatiku was-was tak terkira

kupikir pun tak kan habis

sebelum dihujam batu gerimis nan jatuh cepat

sebelum malam menepi menjelma kota berdebu

sebelum usia kehilangan waktunya

takut tak mampu merangkul-Mu

karna tlah dicatatkan alamat pada alir air

tak tentu sampai ke hilir

adakah aku hanya jadi budak selama berlayar di lautan Ramadhan?

ber-nostal(gila) dengan semua-mua ritualnya

serupa siklus nan terus kembali berputar

lautan Ramadhan, memang sarat ombak gila

meniupkan topan ribut

meminang kumparan angin

tak kan mudah ikan berenang dalam kesunyian nafsu

agar sirip tak patah sia-sia

adakah aku tak membacanya?

atau berpura buta?

tentang apa yang memberatinya, aku tetap tak mengerti

ini bukan judi yang pasti dikhatamkan dengan kemenangan

bukan nasib yang ditentukan dengan hompimpah

bukan pula pernak pernik penghias pura semata

karna tak kan ada pegadaian hari

dingin memang malam ini

menusuk hingga ke dalam iga-iga

menggetarkannya bak piano bernada rusuh

aku berlari ke padang belantara hati

berkaca pada retak cermin

mengaji kembali

alif ba ta, terbata

kugali hatiku dengan linggis alif-Mu

aku terjatuh di tebing doa“Rabbigh firli...”

izinkan ku sampai pada muara fitri

(Nagari Ngayogyakarto Hadiningrat, 30th Ramadhan-1433H)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun