Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Prabowo Tetap Oposisi Kunci Indonesia Adil Makmur

14 Juli 2019   15:16 Diperbarui: 14 Juli 2019   15:27 34 1
Beroposisilah, maka dengan begitu Indeks Demokrasi Indonesia akan tumbuh berkembang menjadi lebih baik. Konstelasi politik hari ini terlihat penuh kegamangan dalam menentukan sikap, terutama dari kubu oposisi pemerintah. Partai oposisi yang Bersatu dalam koalisi Indonesia Adil Makmur awalnya begitu solid dalam memberikan dukungan pada Capres dan Cawapres Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019. Namun selepas Pilpres berlangsung dan pemenang Pilpres 2019 diumumkan, Koalisi Indonesia Adil Makmur terlihat goyah, bahkan jalan bubar harus ditempuh sebagai upaya mengatasi goncangan pada kubu koalisi yang berisi Partai Oposisi (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat dan Partai Bekarya).

Prabowo Subianto secara resmi membubarkan Koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang mendukungnya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Keputusan tersebut diambil melalui rapat internal bersama lima sekjen parpol dan sejumlah petinggi partai lainnya di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (28/6/2019). Dengan alasan tidak ingin menyadera langkah para Partai Politik, Prabowo Subianto mempersilahkan kepada partai politik untuk mengambil keputusan dan langkah politiknya masing-masing. Bubarnya Koalisi Indonesia Adil Makmur sontak membuat perbincangan mengenai absennya Kubu Oposisi dalam Parlemen 2019-2024 ke depan.

Gelagat beberapa Partai bekas Koalisi Indonesia Adil Makmur terlihat berupaya merapat pada pemerintah. PAN dan Demokrat terlihat begitu intens menjalin komunikasi politik untuk membuka ruang bergabungya mereka dalam Kubu Pemerintah. Tawaran kursi Menteri dan Ketua MPR pun menyeruak sebagai mahar bergabungnya Demokrat dan PAN ke Pemerintah.

PKS menjadi satu-satunya Partai yang secara tegas menyakatan kesiapannya untuk konsisten berperan sebagai Partai Oposisi pemerintah, bahkan jika PKS harus menjadi oposisi tunggal Pemerintah sekalipun. PKS pun menyarankan semua Partai yang pernah tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur untuk mengambil sikap sebagai pihak oposisi. "Ayo semua rekan-rekan koalisi 02 kita sudah bubar, kita bertransformasi jadi satu, kita sama-sama bangun negeri ini walaupun jadi oposisi tapi tetap itu pekerjaan yang mulia," ungkap Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera. PKS memastikan pihak Oposisi akan membuat demokrasi Indonesia lebih baik dan publik tidak dirugikan, sebab ada check and balance bagi Pemerintah. "Ketika oposisi kuat yang diuntungkan publik karena ada check and balances system, tapi kalau semua pindah cuma sedikit yang jadi oposisi, yang dirugikan bukan PKS, publik yang dirugikan," ujar Mardani.

Gerindra sebagai motor Koalisi Indonesia Adil Makmur masih belum secara tegas menentukan sikap apakah akan konsisten menjadi oposisi bagi Pemerintah atau justru merapat melalui jalan rekonsiliasi. Gerindra masih menunggu komando dari Prabowo Subianto terkait penentuan sikap. Gerindra. Godaan untuk bergabung dengan pemerintah masih menghantui Gerindra. Melalui format rekonsiliasi, Gerindra masih dilematis dalam menentukan sikap politiknya, kendati banyak Kader Gerindra yang ingin tetap bertahan sebagai pihak Oposisi. Anggota Dewan Penasihat DPP Gerindra Muhammad Syafii mengklaim kader-kader partainya ingin menjadi oposisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin kelak. "Saya kira seperti itu [jadi oposisi]. Bahwa kader Gerindra dan pemikir demokrasi pasti menginginkan Gerindra tetap pada oposisi," kata Syafii.

Gerindra mengalami pilihan yang dilematis ketika menghadapi tawaran rekonsiliasi dan bergabung bersama menjalankan roda pemerintahan pada 2019-2024. Tawaran syarat rekonsiliasi pun terlihat belum mendapat sinyal positif dari kubu Pemerintah. Pemulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) yang sempat disinggung sebagai syarat rekonsiliasi yang diajukan pendukung Prabowo Subianto masih menjadi polemik, baik bagi kubu Pemerintah maupun Prabowo Subianto. Kepastian hukum yang menjamin pemulangan Habib Rizieq dinilai menjadi persoalan yang menyebabkan momen rekonsiliasi tertunda.

Terlepas dari kepastian hukum yang dijaminkan oleh pemerintah atas kepulangan Rizieq Shihab ataupun hengkangnya Partai Demokrat dan PAN, seharusnya Gerindra harus mampu segera menentukan sikap politik untuk terus secara konsisten menjadi pihak oposisi. Mengapa Prabowo Subianto harus tetap membawa Gerindra sebagai oposisi? Jika kita telisik secara kalkulatif perolehan suara yang didapat  oleh Prabowo-Sandi sekitar 45%, secara proporsi dapat dikategorikan Gerindra (13%), PKS (9%), Demokrat (8%), PAN (7%), sehingga totalnya  (37%) juga dukungan dari pendukung Habib Rizieq (8%). Dengan komposisi perolehan suara seperti itu kita dapat mengasumsikan bahwa Prabowo-Sandi mendapat dukungan Partai Nasionalis sebesar (21%) dan Islam sebesar 24%). Islam sendiri terdapat fraksi pendukung Habib Rizieq yang memiliki porsi sekitar (8%) dan PKS (9%). Jika kita menghilangkan suara Demokrat (8%) dan PAN (7%) yang dianggap menyebrang ke kubu Pemerintah maka Prabowo dan Kubu oposisi masih cukup kuat dengan prosi suara sekitar (30%). Suara tersebut masih cukup kuat di Parlemen nanti untuk memberi kritik tajam pada jalannya pemerintah, juga dalam perumusan kebijakan.

Dengan kekuatan Gerindra dan PKS, juga umat Islam yang tergabung dalam gerbong Rizieq Shihab, Prabowo Subianto masih dapat menjadi Oposisi yang kuat menyuarakan kepentingan rakyat di Parlemen. Pun saat syarat rekonsiliasi gagal terealisasi terkait kepulangan Rizieq Shihab dari Mekkah dan mengecewakan umat Islam, sehingga menarik dukungannya dari Prabowo dan gerbong Oposisi. Pihak Oposisi masih memiliki suara sekitar (22%) dukungan, tidak jauh beda saat PDIP menjadi Oposisi pada Pemerintahan di era SBY-JK yang sebesar, 23%.

Jika Prabowo bersama Partai Gerindra dan PKS mampu menjadi Oposisi yang tajam dan secara konsisten memperjuangkan kepentingan rakyat, maka bukan tidak mungkin Prabowo bersama Gerindra dan PKS akan tumbuh sebagai Partai besar pada 2024. Masih banyak suara rakyat yang tidak terdengar dan terakomodasi oleh kebijakan Pemerintah. Apalagi jika Gerindra dan PKS selama jalannya pemerintahan menjadi Partai Oposisi yang bersih dan tidak berkompromi dengan lobi-lobi politik yang berbentuk bagi-bagi jatah kursi Menteri oleh Pemerintah. Sikap konsisten dan menjaga integritas seperti itu jelas akan menarik kepercayaan masyarakat untuk mengamanahkan mandat kedaulatannya pada Gerindra dan PKS, pada Pemilu ke depan.

Bayangkan bila negara ini adalah sebuah Perusahaan Besar, maka gabungan suara Gerindra dan PKS, juga umat Islam yang menjadi pihak Oposisi pada pmerintahan, maka kekuatan tersebut sudah mampu menentukan arah kebijakan Perusahaan. Oposisi sejatinya memang memainkan peran penting dalam roda pemerintahan, visi ke depan jalannya pemerintah juga ditentukan bagaimana sikap oposisi. Oposisi yang baik adalah oposisi yang berjalan bersama rakyat, dan setiap berjuang untuk kepentingan rakyat. Maka dari itu bersatulah, ciptakan Opsosi yang mampu membawa Indonesia yang Adil dan Makmur.

Sumber:

Kompas

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun