Mohon tunggu...
KOMENTAR
Financial Pilihan

Menjerat Leher Sendiri dengan Lilitan Kartu Kredit

24 Januari 2020   13:13 Diperbarui: 25 Januari 2020   09:11 280 10
Cerita ini terjadi beberapa puluh tahun silam, dan saya akan terus mengingatnya sebagai pembelajaran agar tak tergoda bergaya hidup dalam jeratan hutang.
Pagi itu, pulang dari belanja,  istri saya ngedumel tidak karuan. Melihat Seorang perempuan muda yang menggelar dompetnya seperti memamerkan isinya.

Puluhan kartu kredit terlihat jelas dari lembaran dompetnya yang besar dan lebar. Sementara ibu-ibu lain hanya membeli sekedar belanja untuk persiapan masak makan siang, perempuan muda ini membeli berbagai keperluan yang bisa dibilang cukup mahal. Ikan laut, udang, daging sapi, dan beberapa menu yang menghabiskan isi dompet.

Empat lembaran berwarna merah ia keluarkan untuk menebus belanjaannya. Dan melenggang pulang begitu saja, meninggalkan pembeli lain yang melihatnya dengan melongo.

Bu Eko ( bukan nama sebenarnya) memang salah seorang warga perumahan kami yang terlihat berbeda. Suaminya adalah pegawai salah satu kantor kecamatan di Kota Semarang. Sementara Bu Eko sendiri hanyalah ibu rumah tangga biasa. Yang menjaga anak-anaknya di rumah.

Boleh dibilang gaya hidupnya memang terlihat glamour. Sering berganti mobi, dan anak sulungnya yang masih usia SMP telah dibelikannya motor sport yang tentu saja harganya selangit.

Setiap saat tetangganya yang kepo (kayak saya ini) melihat keluarga ini pulang ke rumah dengan menurunkan berbagai barang keperluan rumah tangga dari sebuah supermarket ternama. Tak hanya satu dua kantong plastik, tapi berpuluh kantong plastik yang mereka turunkan dari bagasi mobilnya.

Saya waktu itu masih berjualan keliling. Rumah pak Eko sering kedatangan tamu. Puluhan malah. Mereka sering ngumpul gelar tikar di haru libur dan menikmati hidangan siomay. Dan tentu saja beberapa ratus ribu pak Eko yang bayar.

Beberapa waktu berlalu berlalu, hingga suatu saat. Rumah pojok itu terlihat didatangi puluhan orang tak diundang. Mereka mengaku dari beberapa bank dan leasing pembiayaan kredit.

Warga kampung kami tak berani keluar rumah, mereka hanya mengintip dari balik pintu. Saya, karena rumahnya agak dekat memberanikan diri bertanya, "Ada apa?"

Rupanya mereka dari produsen pembiayaan kartu kredit. Sudah beberapa bulan sejak batas limit berakhir, tanggungan kartu kredit keluarga pak Eko belum dibayarkan.

Beberapa kali dihubungi tidak ada respon dan selalu menghindar. Sampai hari itu, entah mereka janjian atau tidak, para tukang tagih itu bisa datang bersamaan.

Beberapa saat kemudian, mobil dan motor tak lagi terlihat di halaman rumah pak Eko. Dan beberapa kemudian ia berpamitan pindah ke tempat lain, karena rumahnya sudah laku, katanya.

Orang-orang memang boleh bergaya dengan cara apa saja. Asal tetap instrospeksi diri dengan mengukur kemampuan. Sebab lebih baik hidup sederhana dan menjalani hidup dengan nyaman. Daripada terlihat mewah dan berkecukupan dalam jeratan hutang.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun