Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Rasa (Part 7)

24 Oktober 2020   19:32 Diperbarui: 24 Oktober 2020   19:34 67 1
Selama sepekan, Aisyah bolak balik ke rumah Bu Nely. Perubahan yang ditampakkan Parhan luar biasa,  keceriannya yang dulu sempat hilang, berangsur-angsur kembali.

Senyum terkembang di wajah Bu Nely melihat perubahan Parhan yang diluar dugaannya. Berbagai cara dilakukan Bu Nely agar anaknya kembali seperti dulu, tapi tidak pernah membuahkan hasil yang diharapkan. Dan sekarang harapan wanita paruh baya itu bisa dia saksikan tanpa pernah dibayangkan sebelumnya.

Hari terakhir petualangan Aisyah dan Parhan ditutup dengan mengunjungi lokasi pembuangan akhir sampah kebon kongok. Lokasi ini sengaja di pilih Aisyah tidak lain dan tidak bukan untuk menumbuhkan rasa syukur serta kesadaran diri remaja yang sempat depresi beberapa waktu lamanya. Padahal dia bergelimang harta benda namun tidak bisa dia nikmati.

Bu Nely penasaran dengan trik yang dilakukan gadis manis berhijab ini dalam menangani putra bungsunya. Dia berjanji akan menemani anaknya ke lokasi tersebut. Saat dia tahu ibunya akan ikut spontan lelaki remaja itu memeluk sang bunda membuat wanita berbadan langsing ini meneteskan air mata. Dan membalas dekapan putra tercinta. Dia tidak menyangka respon putranya seperti itu.

Wanita paruh baya itu rupanya sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Mobil yang mereka pakai menuju lokasi dipenuhi dengan makanan yang akan dibagikan kepada pemulung.

Bau apek, amis, bau busuk sampah, sudah terasa saat kendaraan yang membawa mereka memasuki kampung kebon kongok. Sepanjang jalan yang dilalui, rumah sederhana milik para pemulung, dipenuhi dengan tumpukan rongsokan, barang bekas yang berjejer di pinggir tembok rumah.

Tumpukan sampah yang menggunung, menyambut kedatangan mereka di sana.  seluas mata memandang yang ada hanya sampah berserakan di sekitar tempat itu. Tampak beberapa orang sedang asyik mengais-ngais sampah yang bagi orang merupakan barang yang menjijikkan. Namun bagi pemulung di kebon Kongok, sampah merupakan sumber kehidupan mereka sehati-hari. Rasa jijik, mual, bau sudah tidak dihiraukan karena bagi mereka, dengan adanya sampah anak keluarga mereka bisa makan untuk bertahan hidup.

Rasa mual menyeruak begitu Bu Nely keluar dari mobil, tapi demi sang buah hati dia berusaha untuk bertahan, dia berjalan sembari menutup hidung menggunakan masker.

Aisyah mengajak Bu Nely dan Parhan menuju tempat para pemulung mengumpulkan barang rongsokan. Satu demi satu orang yang ditemui diberikan bingkisan yang sudah disiapkan oleh Bu Nely. Nampak wajah sumringah dari para pemulung saat menerima bingisan tersebut.
"Terima kasih Bu, semoga keluarga ibu diberikan kesehatan, kebahagian dan Rizki yang banyak". Seorang wanita tua renta berdoa saat Bu Nely menyodorkan tas berisi beberapa makanan.

Hati Bu Nely berdesir begitu mendengar doa tersebut. Doa yang tidak pernah diterima dari sahabatnya yang selama ini sering diajak jalan-jalan. Tapi justru doa ini diberikan  oleh seseorang yang hanya menerima makanan ala kadarnya dan selama ini dianggap sebagai orang yang menjijikkan.

Butiran bening keluar dari netranya. Matanya berkaca-kaca. Ditariknya napas dalam-dalam untuk menahan butiran bening itu tidak menerobos keluar. Untuk sesaat dia terdiam berusaha menahan rasa haru.

Dia menghentikan langkahnya dan duduk di dekat wanita dengan wajah keriput.  
"Siapa namanya nek? Tanya Bu Nely
"Nenek Ijah. Terima kasih banyak. Nenek sudah lama tidak pernah makan enak seperti ini." Ucapnya.
Bu Nely menarik napasnya dalam-dalam, rasa haru menyeruak dalam dirinya, mendengar penuturan jujur wanita yang menggunakan baju lusuh sambil memilah-milah sampah plastik yang ada di dekatnya.

"Nenek tinggal dimana? Tanya Parhan yang juga ikut duduk.
"Itu rumah nenek. Sambil menunjuk sebuah rumah yang terbuat dari triplek yang ditambal dengan barang bekas. Bangunan yang tidak layak huni itu hampir roboh.
"Yang itu nek, dekat tumpukan karung itu? Tangan Parhan menunjuk untuk sekedar memastikan kembali. "Nenek tinggal sama siapa? Tanya Parhan penuh penasaran.
"Sama putra saya. Tapi sejak dia meninggal beberapa bulan yang lalu saya tinggal berdua dengan cucu saya. Sekarang dia sedang menjual barang bekas yang sudah kami kumpulkan ke pengepul."

Diam-diam Bu Nely mengusap air matanya agar tidak terlihat oleh Aisyah dan Parhan. Sebelum meninggalkan wanita tua itu, Bu Nely mengambil lima lembar uang ratusan dan langsung diserahkan kepada nenek Ijah.
Tangis nenek Ijah meledak saat menerima uang tersebut. Dia langsung mencium uang tersebut dan langsung sujud syukur.  Berkali-kali dia mengucapkan terima kasih dan mendoakan Bu Nely dan keluarganya.

Momen yang tidak pernah dialaminya seumur hidup. Bu Nely jadi paham mengapa anaknya senang sekali diajak keluar oleh Aisyah. Ternyata dengan melihat kehidupan nyata yang dialami oleh orang-orang yang kurang beruntung membuatnya sadar bahwa Tuhan memberikan harta yang berlimpah, Namun dia jarang bersyukur sehingga hidupnya selalu merasa gelisah dan kurang bahagia.

Setelah membagikan semua bingkisan yang dibawanya sambil berbincang-bincang sebentar dengan para pemulung. Bu Nely mengajak Aisyah dan Parhan untuk meninggalkan lokasi yang merubah cara pandangnya selama ini kepada orang yang kurang beruntung.

Sepanjang jalan Parhan, Aisyah dan Bu Nely berdiskusi tentang sampah dan pemulung. Tanpa terasa mereka sudah berada di depan gerbang rumah Bu Nely. Sopir yang mengantar mereka buru-buru membuka pintu gerbang.

Sebelum pulang Aisyah duduk berdua dengan Bu Nely di kursi yang ada di teras. Mereka mendiskusikan kemajuan yang dialami Parhan Sementara Parhan langsung masuk untuk membersihkan diri.

"Sepertinya Parhan sudah mulai mengalami perubahan Bu, jadi saya pikir sudah bisa memberikan dia materi pelajaran. Tapi menurut hemat saya, biar semakin menumbuhkan semangat belajarnya. Saya akan mulai dengan pelajaran yang paling disenanginya, bagaimana menurut ibu?" Ucap Aisyah sambil meminta pendapat Bu Nely.

"Silahkan, lakukan apa yang menurut nak Aisyah baik, ibu setuju-setuju saja. Jawab wanita paruh baya itu  dengan senyum tersungging di bibir.
Wanita itu diam sesaat, ada rasa haru bercampur bahagia yang tidak bisa diucapkan. Nampak butiran bening disudut matanya kemudian di seka dengan tisu yang diambil di atas meja.
Air mata bahagia melihat anaknya kembali normal.

"Alhamdulillah dan terima kasih nak Aisyah telah membuat Parhan berubah seperti sekarang ini. Ibu tidak bisa memberikan apapun kepada nak Aisyah untuk membalas semua ini. Ibu hanya bisa berdoa semoga nak Aisyah selalu mendapat keberkahan dan kebahagiaan sepanjang hidup," suara Bu Nely membuat hati Aisyah terharu.

Sebelum meninggalkan rumah, Bu Nely menyelipkan amplop ke dalam tas Aisyah membuat Aisyah terkesiap. Buru-buru Aisyah mengembalikan amplop yang diberikan Bu Nely.
"Ibu akan sedih jika nak Aisyah tidak mau menerimanya," ucap Bu Nely.
"Tapi Bu, saya baru satu Minggu membimbing Parhan, dan ini juga belum masuk ke materi pelajaran di sekolahnya," tukas Aisyah.
"Apa yang nak Aisyah lakukan kepada Parhan hingga membuatnya kembali seperti dulu tidak sebanding dengan isi amplop yang tidak seberapa ini," kata Bu Nely dengan nada menghiba.
Dengan berat hati akhirnya Aisyah menerima amplop yang diberikan oleh Bu Nely.
"Terima kasih banyak, Bu," kata Aisyah dan langsung pamit pulang.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun