Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Rasa (Part 6)

20 Oktober 2020   13:32 Diperbarui: 20 Oktober 2020   13:37 74 3
Sang Surya baru menampakkan diri dari ufuk timur saat gadis berpostur mungil dengan kulit sawo matang tampak terburu-buru mempersiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Maklum hari ini jadwal kuis salah satu mata kuliah yang diambilnya di semester ini.

Pintu ruang perpustakaan baru saja di buka saat sepedanya memasuki halaman perpustakaan. Suasana masih sepi. Hanya Tampak satu dua kendaraan terparkir di depan ruangan yang biasanya penuh dengan mahasiswa saat waktu istirahat.

Dia sengaja berangkat lebih pagi, agar bisa mempersiapkan diri lebih maksimal sebelum ujian dimulai. Baginya inilah kesempatan yang bisa digunakan untuk membaca buku dan materi yang belum sempat dibacanya semalam.

"Assalamulaikum pak Sabri," tegur Aisyah saat bertemu dengan petugas yang tidak asing lagi baginya.
"Waalaikum salam," jawab lelaki berusia sekitar 50 Tahuan. "Pagi sekali neng Aisyah sudah datang," lanjutnya.
"Ya, pak. Agar bisa belajar sebelum ujian dimulai," jawab gadis berjilbab biru langit sambil tersenyum.

Sekitar pukul sembilan kegiatan kuis pun dimulai. Aisyah duduk di bangku paling depan. Baginya duduk di barisan yang dihindari banyak mahasiswa, membawa kenyamanan tersendiri, karena dia lebih fokus dan konsentrasi mengerjakan soal demi soal yang diberikan sang dosen.
10 soal kuis dijawabnya tanpa kesulitan yang berarti. Dia pun melenggang dengan santai ke luar kelas.

Langkahnya terhenti menuruni anak tangga saat seseorang memanggil namanya. Lelaki berkulit putih, berwajah kearab-araban itu berlari-lari kecil. Dadanya turun naik, suara napasnya terdengar berat. Umam lelaki yang diam-diam mencintai gadis itu, berhenti persis di depan Aisyah.
"Bagaimana kuisnya?" Tanya Umam.
"Alhamdulillah lancar, semoga hasilnya sesuai harapan." Jawab Aisyah.
"Aamiin." Suara lelaki yang berada di depan Aisyah.

Mereka pun menuruni anak tangga bersama-sama sambil terdengar lelaki tampan di samping Aisyah menanyakan kabar dan perkembangan para siswa yang dibimbingnya di les private. Dengan antuias gadis manis itu menceritakan anak asuhnya satu persatu, termasuk tentang Parhan, anak yang paling berbeda diantara siswa yang dibimbingnya.

Keadaan Parhan menjadi daya tarik tersendiri bagi Umam. Tanpa terasa mereka mendiskusikan kondisi Parhan sampai siang menjelang sembari duduk di bawah pohon Pinus.

"Hari ini Parhan mau diajak kemana lagi?" Tanya Umam.
"Insyaallah ke Panti Asuhan." Jawab Aisyah.
"Nanti kalian kesana pakai apa? Bukankah letak Panti Asuhan lumayan jauh kalau pakai sepeda? Tanyanya lagi.
"Mmmm...nanti saya lihat?" ucapnya dengan raut kebingungan.
Lelaki yang melihat kebingungan di wajah Aisyah langsung menawarkan diri untuk mengantar sekalian ikut ke Panti Asuhan melihat kondisi anak-anak disana.

Gadis yang duduk di sampingnya terdiam beberapa saat. Malu rasanya mengiyakan tawaran Umam. Dia tidak ingin merepotkan lelaki tampan di dekatnya. Setelah didesak, akhirnya dengan tersipu dia menerima tawaran pria keturunan Arab itu.
"Sekarang kita pulang dulu, insyaallah bakda ashar saya jemput kamu. Lalu kita bersama-sama menuju rumah Parhan," ucap Umam.
Aisyah menganggukkan kepala tanpa ada kata terlontarkan. Namun anggukannya sudah menandakan dia setuju. Kedua insan itu pun pulang ke rumah masing-masing membawa perasaan yang sulit di tebak.

***

Sinar matahari sudah mulai redup. Mobil jazz silver terparkir di ujung gang yang menuju rumah Aisyah. Seorang lelaki menggunakan kemeja biru motif kotak-kotak melekat di badannya, dipadukan dengan celana hitam membuatnya tampak berwibawa keluar dari mobil. Dia menyusuri jalan kecil berukuran sekitar dua meter dan panjang kurang lebih 300 meter.

Tepat di depan rumah setengah permanen di dia berhenti sembari memperhatikan sekeliling yang tampak lengang dan sepi.
"Assalamualikum," ucapnya
"Waalaikumsalam," jawab seorang laki-laki paruh baya sembari membuka pintu.
Matanya menatap heran, keningnya berkerut,  melihat seorang lelaki tampan berdiri di depan pintu.
"Cari siapa nak?" tanya pak Sukri.
"Maaf pak, Aisyahnya ada? Jawab Umam menghilangkan raut keheranan diwajah lelaki di depannya.

Belum sempat lelaki berbadan kurus itu menjawab. Gadis dengan stelan kulot merah marun dan atasan warna merah muda dengan jilbab motif bunga keluar dari rumah.
"Sudah lama mas?" Tanya Aisyah sambil memperkenalkan Umam kepada sang bapak.
"Baru saja," jawab pria berwajah Arab sembari mencium tangan pak Sukri.
"Pak saya mau minta izin ke panti asuhan diantar mas Umam." Ucap Aisyah. Yang dibalas anggukan oleh bapaknya.

Mobil Jazz melaju di jalanan yang ramai dipenuhi oleh orang yang baru pulang kantor, dan berhenti persis di depan rumah Parhan.
Sepasang remaja itu pun berjalan menuju pintu gerbang dan Aisyah langsung memencet bel. Sesaat kemudian gerbang pun terbuka dan mempersilahkan mereka masuk.

Nampak di teras sudah menunggu Parhan yang ditemani oleh sang ibu. Walau pun kekakuan masih terlihat pada remaja belasan tahun itu, namun Bu Nely berusaha mengajaknya berbicara dengan menanyakan kegiatan selama beberapa hari ini. Parhan hanya menjawab seadanya saja pertanyaan dari wanita paruh baya itu.

Bu Nely langsung berdiri, saat melihat Aisyah datang ditemani oleh seorang laki-laki. Sambil mempersilahkan tamunya duduk, namun gadis bermata sipit itu langsung menimpali.
"Terima kasih banyak, Bu. Tapi biar tidak terlalu sore kami langsung berangkat saja. Rencananya hari ini mau mengajak Parhan ke Panti Asuhan Kasih Ibu."

Wanita paruh baya itu hanya mengangguk sambil menatap ketiganya berlalu meninggalkan rumah mewah yang terlihat sepi penghuni.

***

Bangunan permanen dengan model kuno berdiri kokoh di pinggir jalan dikelilingi oleh pagar besi setinggi satu meter lebih. Hamparan rumput hijau tertata rapi dihalaman yang banyak ditumbuhi pohon buah-buahan membuat bangunan tampak rimbun. Papan nama Panti Asuhan Kasih Ibu terpasang di pinggir pagar dan terbaca jelas bagi orang yang lalu lalang.  

Umam memarkir mobilnya di bawah pohon Mangga yang rindang. Beberapa anak-anak muncul dari balik pintu begitu mengetahui ada tamu yang datang. Seorang anak perempuan yang paling besar langsung mendekat dan bertanya begitu melihat Aisyah turun dari mobil.
"Mencari siapa kak? Tanyanya dengan sopan
"Boleh bertemu dengan Umi pengasuh Panti Asuhan ini? Ucap Aisyah.
"Kakak tunggu sebentar, biar saya panggilkan Umi dulu." Sahutnya sambil langsung berlalu.

Umam yang berdiri agak jauh langsung mendekati Aisyah sambil membisikkan sesuatu.
"Kebetulan aku membawa beberapa jenis camilan dan makanan ringan untuk anak-anak yang ada di sini. Nanti saat pengasuhnya datang kamu langsung serahkan."

Aisyah replek menoleh kepada pemuda yang berdiri di sampingnya. Mata mengecil sehingga mata sipitnya semakin tidak tampak, wajahnya bersemu merah menahan malu. Dia merasa sangat merepotkan dan membebani Umam.
"Ini hanya inisiatifku sendiri, jangan kamu pikirkan. Saya hanya ingin berbagi dengan anak-anak di sini." Ucap Umam berusaha menghilangkan ketidak nyamanan gadis pujaannya itu.

Wanita berkulit putih bersih, wajahnya tampak bercahaya. Memakai gamis garis-garis dengan jilbab syar'i keluar sembari menggandeng tangan gadis yang tadi memanggilnya.
"Assalamualikum Umi," jawab Umam dan Aisyah hampir serempak.
Wanita paruh baya itu pun menjawab salam sambil mempersilahkan ketiganya duduk.

"Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Umi.
"Sebelumnya kami mohon maaf karena tidak memberitahukan kedatangan kami ke sini. Saya Aisyah, ini Mas Umam sementara satunya lagi Parhan. Ucap gadis itu memperkenalkan diri dan mengenalkan teman-temannya. "Ini ada sedikit makanan untuk anak-anak di sini. Sahut Aisyah sembari menyodorkan kantong pelastik yang penuh berisi makanan ringan.
"Terima kasih nak." Jawabnya dengan wajah tersenyum.

"Maksud kedatangan kami ke sini adalah untuk melihat dari dekat aktivitas dan keadaan anak-anak di sini sambil bercakap-cakap dengan mereka. Siapa tahu ada pembelajaran yang bisa kami ambil." Kata Aisyah menjelaskan

Bu Aida akhirnya menceritakan kondisi Panti Asuhan yang dibinanya. Bagi wanita yang bersuara lembut ini bertutur. Anak-anak yang tinggal di panti ini sudah dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Anak yang tinggal di sini kebanyakan adalah anak terlantar yang dibuang oleh orang tuanya dan ada beberapa diantara mereka yang sudah tidak memiliki orang tua karena ibu bapsknya sudah meninggal.

Apalagi sejak almarhum suaminya meninggal dan menitipkan panti ini untuk di kelola membuatnya semakin telaten untuk membina dan mengasuh mereka walaupun dengan penuh kekurangan dan keterbatasan ekonomi. Baginya anak-anak ini membawa rezekinya masing-masing. Hal ini yang membuat ibu yang tidak punya keturunan ini tidak pernah risau  atau pun gelisah.

Sesekali Parhan ikut memperhatikan cerita  Bu Aida. Pandangannya lebih sering tertuju kepada anak-anak panti yang sedang bermain sambil terawa di halaman. Sebentar Posisi duduknya ke kanan dan tidak berapa lama bergeser ke kiri. Kakinya berayun-ayun di bawah kursi kayu. Tangannya ikut terayun di samping kursi yang dia duduki. Tampak jelas dia ingin sekali beranjak dari tempat duduknya.

"Apa kamu mau ikut gabung sama mereka?" Tanya Aisyah kepada Parhan sambil menunjuk ke arah anak-anak yang sedang asyik bermain di halaman.
Dia menganggukkan kepala. Sembari meminta izin remaja itu lalu berlalu dan bergabung dengan mereka.

Tampak kecerian di wajah Parhan, dia terlihat rilek, matanya mulai berbinar, tawanya lepas. Beban batin yang selama ini menderanya sedikit demi sedikit mulai terkikis.







KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun