18 September 2014 15:44Diperbarui: 18 Juni 2015 00:20430
Bagi kebanyakan orang Jawa menonton (nonton) wayang kulit kalau kita lihat realitanya ternyata lebih sering daripada menonton wayang orang. Kalau kita amati lebih jauh, wayang kulit pun makin jarang dipertontonkan ("ditanggap") dalam acara-acara hajatan karena alasan keuangan yang mahakuasa. Masyarakat lebih sering "nanggap" Campur Sari yang dipandang lebih praktis, murah, dan cukup meriah. Bisa dibayangkan apalagi masyarakat yang "nanggap" wayang orang mungkin terbatas pada orang-orang tertentu dari kalangan penggemar atau paguyuban wayang orang saja, lembaga terkait/institusi/perusahaan yang para pemimpinnya peduli pada eksistensi wayang orang. Oleh karena itu lahirnya Paguyuban Wayang Orang (PWO) Panca Budaya DIY yang melibatkan seniman-seniman dari 4 (empat) kabupaten (Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul) dan 1 (satu) kota (Yogyakarta) sejak 2 (dua) tahun yang lalu sungguh bagi saya (Kompasianer), dan Insya Allah masyarakat umumnya, merupakan upaya positif membangkitkan kenangan dan "kesenangan" masa kecil. PWO Panca Budaya DIY dalam kiprahnya keliling memberikan hiburan gratis kepada masyarakat (tentu dengan bantuan sponsor, termasuk Pemda DIY) dipimpin oleh Agus Setiawan, bersama Tukiran (Naskah/Sutradara), Agus Ley-loor (Art Dierector), Widodo K. (Penata Tari), Ki Agus Hadi Sugito (Dhalang), dan Eko Purnomo (Penata Gendhing).
Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda.