Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Artikel Utama

Mendidik Jenius, Membangkitkan Seniman*)

20 Mei 2012   04:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 864 6
Di antara semua jenis kerakusan, ada salah satu yang menyehatkan, asalkan ia dikaitkan dengan... belajar. Dan di antara semua pengidap "kelainan" ini, ada yang disebut sebagai omnivorous learner, karena mereka nyaris melahap segala rupa. Selalu ada hal-hal yang merangsang nafsu belajar mereka setiap harinya, seakan dunia ini merupakan wahana permainan.  Ada yang memuaskan nafsunya melalui berbagai pertanyaan, bacaan, maupun eksperimen. Namun tidak sedikit yang melampiaskan hasrat ini melalui eksplorasi fisik, sebagaimana dilakukan para penyuka olah tubuh, penjelajah Alam, penggemar fotografi, dan -tentu saja- kanak-kanak. Di antara semua bentuk keliaran (yaitu perilaku yang cenderung memilih jalan yang tak biasa), ada yang sangat bermanfaat, asalkan ia berurusan dengan ... hasrat belajar.  Keliaran semacam ini seperti pernyataan tanpa kata-kata, bahwa kita mungkin telah menyederhanakan hal-hal yang tak sederhana, atau bahkan bertindak tergesa-gesa. Siapa tahu pertanyaan terbaik itu belum pernah diajukan ? Atau jangan-jangan jawaban terbaik itu sedang dalam proses perbaikan ? Kehidupan selalu berubah, keragaman perspektif adalah berkah, membuat upaya memaksakan jawaban tunggal atas sebuah persoalan itu ... payah.  Adalah Leonardo Da Vinci, salah satu sosok rakus dan liar yang seumur hidupnya berumah di dalam ‘dunia penuh kemungkinan’ semacam itu. Seniman eksentrik itu diam-diam melanggar sejumlah aturan pada jamannya, membedah mayat yang makin membusuk di waktu-waktu istirahatnya, demi sebuah hasrat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia. Namun sosok Da Vinci terpenting yang seringkali luput dari pengamatan kita adalah ... kanak-kanak. Termasuk di antaranya adalah jiwa kanak-kanak dalam diri kita. Mari kita lihat betapa alamiahnya rakus dan liar yang satu ini; jelas ini sama sekali bukan kelainan ! Sebuah tes untuk menguji adanya kemampuan divergent thinking dilakukan terhadap 1.600 kanak-kanak berusia 5 tahun, atas prakarsa George Land dan Beth Jarman, pengarang buku Breakpoint and Beyond: Mastering the Future Today.  Divergent thinking -atau berpikir lateral menurut Edward de Bono- ini merupakan tanda-tanda awal akan adanya kapasitas kreatif, karena menggambarkan berapa derajat kebebasan berpikir seseorang.  Hasil tesnya ternyata sangat mencengangkan, karena 98 % dari seluruh bocah kindergarten tersebut memiliki skor setingkat para jenius ! Sebagai pembanding, dari sejumlah 280.000 orang dewasa yang pernah mengikuti tes -yang biasa digunakan NASA dalam merekrut ilmuwan yang paling inovatif itu-, hanya ada sedikit saja yang bisa dikategorikan sebagai jenius seperti mereka. Dan yang dimaksud sedikit itu adalah ... 2 % ! Kejutan itu tidak berakhir sampai di sini. Dalam waktu lima dan sepuluh tahun kemudian, kanak-kanak yang sama kembali diundang untuk menjalani tes serupa. Namun mereka -yang kini sudah mengenal pendidikan formal- itu bukan lagi merupakan kumpulan besar jenius cilik. Hanya ada 30 % yang masih tetap jenius -saat mereka mencapai usia 10 tahun, jumlah itu bahkan melorot lagi ke tingkat 12 % -saat usia mereka 15 tahun !  Inilah saat dimana judul sebuah film Disney : "Honey, I Shrunk the Kids" tidak lagi terdengar seperti metafora, melainkan menjelma menjadi kenyataan yang amat brutal.  Dan sumber kenyataan brutal itu tak lain adalah ...sistem pendidikan ! .

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun