Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Pilihan

Sengkarut Kemutakhiran Smartphone

5 Agustus 2020   11:47 Diperbarui: 5 Agustus 2020   11:47 63 2
Hingar-bingar kompetisi kemutakhiran smartphone semakin tak terbendung lagi. Persaingan itu semakin ketat dan kian blakblakan, tak sungkan lagi menampakan wajah ke permukaan. Untuk lebih mudah memahaminya, sebutkan saja itu dengan persaingan antara produk teknologi blok Barat dan blok Asia. Antara Amerika-Cina.

Kedua blok tersebut sejak beberapa dekade kekeh bersaing tanpa menghilangkan ciri khas yang membedakan antara satu sama lain. Utamanya dalam hal menjadi tuan atas sirkulasi ekonomi tingkat global.

Bahkan, ada yang menyebutkan, merebaknya Covid-19 di seluruh belahan dunia tidak lain sebagai tunggangan isu konspirasi salah satu blok untuk merebut kembali kekuasaan atas tatanan ekonomi global.

Beberapa hal pun menjadi bahan taruhan yang ditawarkan oleh kedua blok; mulai dari segi kualitas, entitas kapasitas, harga, kejernihan kamera, sampai dengan pemberlakuan garansi sebagai jaminan.

Sebagai dampak produktivitas tersebut lantas berimbas pada sektor marketing dan pendistribusian. Orang-orang yang sibuk terjun bebas pada bagian lapanganlah yang memegang teguh peranan.

Dalam hal ini, sudah barang tentu akan ada banyak kanal-kanal khusus yang telah menjadi jejaring langganan untuk menggencarkan upaya mempromosikan produk smartphone baru pada khalayak ramai.

Salah satu langkah strategis marketing yang diambil ialah dengan berusaha mempromosikan produk-produk tersebut melalui pemasangan iklan. Baik itu pemasangan iklan via media massa yang bersifat satu arah, (baca; majalah, koran, televisi, radio, pamflet, banner) maupun pemasangan iklan via media sosial yang lebih interaktif, (baca; Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp dan lain sebagainya).

Percaya atau tidak, diakui khalayak atau tidak, tentu masing-masing kanal tersebut memiliki potensi dan polarisasi tersendiri yang dipandang sebagai keunggulannya. Misalnya saja, penyiaran iklan di televisi.

Melalui penyiaran iklan di televisi setidaknya akan banyak bergumul dengan durasi dan jadwal jam tayang berapa kali. Semakin sering ditayangkan, sudah barang tentu harganya berbeda lagi. Masalah harga biarlah itu menjadi tanggungan sekaligus rahasia pihak manajemen dan produksi, tak perlu dibahas di sini.

Namun, yang perlu kita perhatikan dan dicermati secara seksama ialah tentang bagaimana penyiaran iklan di televisi itu memainkan peran polarisasi sejak dini.

Coba saja kita bayangkan, seberapa banyak iklan produk smartphone tertentu diputar dalam kurun waktu satu hari. Awalnya kita mungkin sudah terbiasa mengabaikannya, namun dalam skala tertentu akan ada kesempatan yang leluasa memaksakan kita untuk melahapnya terus-menerus setiap hari. Hingga akhirnya secara tidak sadar, lambat-laun iklan itu mendikte kesadaran diri. Turut mempengaruhi pilihan mana yang harus dibeli.

Polarisasi itu akan semakin piawai mengambil peluang besar untuk mempengaruhi berbagai kalangan penonton sebagai pecinta dunia televisi. Entah itu mereka yang gandrung dengan sinetron, drama Korea, acara ghibah bersama sampai dengan berbagai acara lainnya.

Dalam kasus penyiaran iklan di televisi ini akan ditemukan pola; pada satu sisi, ada  indoktrinasi masif yang dilakukan satu pihak tertentu untuk melulu memosisikan khalayak ramai sebagai seorang konsumtif praktis yang latah dengan kebaharuan produk.

Sementara pada sisi yang berseberangan, produk iklan lain juga menawarkan satu kebaharuan dengan segala bentuk keunggulannya. Alhasil, khalayak ramai lebih suka berdiam diri dalam dilematik pilihan yang sukar dielakkan sembari mengucilkan kebutuhan pokok yang bersifat urgen.

Dilematik pilihan yang sukar dielakkan itu nyatanya lebih diutamakan daripada menerima keadaan yang tak punya apa-apa. Intinya, manusia lebih suka mendahulukan berangan-angan daripada harus menerima kenyataan.

Belum lagi, kita menerawang tentang bagaimana sengkarut marketing yang dimainkan dalam media sosial yang lebih kompleks dan interaktif. Buka akun media sosial ini-itu secara otomatis dapat dipastikan akan disodori iklan meski tanpa persetujuan.

Dalam menyikapi hal yang demikian harus kita akui, bahwa sejauh ini bagian tubuh yang paling latah atas kecanggihan teknologi di era digitalisasi ini adalah kompetisi antara jari-jemari, kedua bola mata dan telinga.

Misalnya saja tatkala kita mengendus informasi tentang peluncuran smartphone termutakhir. Dalam seketika, tak dapat dipungkiri, manakala kita sedang asyik berselancar di laman media sosial, selalu saja ada sisipan iklan yang muncul ujug-ujug. Terlebih-lebih kalau kita buka platform semacam blog, YouTube dan lapak online.

Jari-jemari selalu memiliki kehendak yang keterlaluan untuk mampu meraba-raba produk smartphone termutakhir yang belum pernah tersentuh. Kalau boleh jujur, rasa-rasanya hampir tak ada sesuatu hal pun yang bebas dari keterluputan untuk dijarah oleh kejahilan jemari.

Begitu halnya yang terjadi dengan kedua bola mata dan telinga, mereka seakan-akan telah mufakat menjadi begundal yang tak mengenal waktu untuk terus mengorek-ngorek informasi. Entah itu dengan mencari informasi berbasis visual dan audio lengkap di YouTube ataupun di Facebook.

Ah, sayangnya, persaingan ketat di antara kemutakhiran smartphone ini di atasnya berdiri kemalangan yang terus melintang, di mana ada banyak kasus negatif yang terus tumbuh dan berkembang. Entah itu kasus yang menyangkut Undang-undang ITE, penyebaran hoax, bullying, pencemaran nama baik, kriminalitas, prostitusi online sampai dengan hacker jejaring.

Namun, dari semua kasus negatif itu, kasus baru yang timbul ke permukaan sebagai efek dari diterapkannya new normal ialah ketergantungan semua aktivitas manusia yang bertumpu pada smartphone. Termasuk di dalamnya keberlangsungan pendidikan. Sementara di luar sana masih banyak keluarga yang tak mampu membeli smartphone, sehingga anak-anak mereka yang masih sekolah tidak mampu mengirimkan tugas harian yang dikerjakan di rumah.


Tulungagung, 5 Agustus 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun