Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rekonsiliasi (2)

31 Januari 2023   09:37 Diperbarui: 31 Januari 2023   09:39 156 3
Tiga hari kemudian, aku mengantarmu ke bandara ini. Kita naik taksi online kala itu. Aku ingat menjemput ke rumahmu. Kau sudah menunggu di ruang tamu bersama Om Broto dan mamamu. Waktu itu hujan deras dan ujung celana panjangku basah karena tidak tertutup mantel kepunyaan sang pengemudi ojek online.

Orangtuamu tersenyum melihatku. Kau salah, Jeff, mereka menyayangimu. Mereka hanya tak bisa mengekspresikan perasaan sayang. Atau memang kau tidak memberi mereka kesempatan? Aku bisa melihat cinta pada tatapan lembut Om Broto dan Mama padamu. Mama menangis tanpa suara saat melepasmu, Om Broto segera menghiburnya dalam dekapan. Kau harus kembali Jeff, untuk kebahagiaan mereka.

Kita pergi dalam rinai hujan. Kau berkeras tidak ingin diantar mereka. Aku hanya menggeleng melihatmu yang kepala batu. Jeff, meskipun Om Broto bukan ayah kandungmu, tapi dia cukup peduli padamu. Mamamu tidak salah bila menikah lagi, dia butuh seorang pendamping. Kau seharusnya lebih dewasa, Jeff.

Aku mendesah. Kembali kulirik jam model jangkar di atas meja barista. Pukul 13:58 WIB. Ternyata baru beberapa menit. Rasanya sangat lama dalam penantian ini. Setelah kepergianmu, pada awalnya kita rutin berkomunikasi via chatting aplikasi dan video call.

Namun, setahun belakangan kau seolah menjauh. Teleponku sering tak kau angkat dan video call bisa dihitung dengan jari. Kukira kau sudah mulai lupa padaku, karena jarak dan waktu yang terlalu lama memisahkan kita.

Setahun yang lalu, seharusnya menjadi cuti pertamamu. Kau tidak mengambilnya. Katamu ada temanmu yang resign sehingga kau harus menggantikan posisinya. Aku maklum. Namun, aku mulai gelisah saat kau tak kunjung merencanakan cuti. Mungkin karena itu kau menjadi gerah, karena aku terus-menerus mendesakmu pulang. Kuharap memang itu alasan kau menjaga jarak. Kuharap bukan karena kau berpaling dariku. Kuharap tidak ada wanita lain di sana yang menawan hatimu. Kuharap---kuharap, oh, pemikiran ini melelahkan hati dan pikiranku.

Aku meraih gelas kopi. Isinya tinggal separuh. Kehabiskan dengan sekali teguk lalu bangkit berdiri. Kucangklongkan tas di bahu dan melangkah keluar. Aku terus berjalan menuju pintu kedatangan penumpang. Kubaca papan billboard yang tergantung dari langit-langit bandara, pesawat yang kau tumpangi sudah tiba. Mungkin dirimu kini sedang mengambil bagasi. Aku bersandar pada tiang yang dilapisi stainless sambil mengarahkan pandangan pada orang-orang yang keluar dari pintu kaca itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun