Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Sang Guru, Maafkan: "Saya Gunakan ACC untuk Online’’

8 Maret 2011   10:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 195 1
Ada yang pernah mempertanyakan apakah postingan di Kompasiana, Berita atau Cerita? Pertanyaan tersebut mengingatkan saya terhadap Sang Guru 'Jurnalistik' S.Sinansari ecip ketika memberikan ulasan mengenai definisi 'berita' dalam suatu Pendidikan Peningkatan Keterampilan Jurnalistik kepada puluhan wartawan di Univesitas Hasanuddin, lebih dari 25 tahun lalu di Kota Makassar.

''Berita adalah informasi. Informasi ialah pengetahuan yang belum diketahui. Kabar yang kita bawa tidak lagi bernilai informasi apabila hal itu disampaikan kepada orang yang telah mengetahui sebelumnya. Makanya dalam penulisan berita harus selalu ada hal baru ditampilkan agar memiliki nilai informasi. Paling penting diingat, berita itu sifatnya adalah fakta bukan fiksi.''

Penjelasan tersebut hingga saat ini selalu mengiang setiap kali saya akan menulis sesuatu ke media publik. Termasuk ketika untuk menulis ke media online saat ini. Demikian pula dengan penerapan rumusan 5W + 1H tetap menjadi acuan untuk penulisan sebuah berita ke media online.

Hanya saja (terlebih dahulu, saya mohon maaf Sang Guru!), untuk menuliskan suatu berita ke media online, kini penerapan rumusan 5W+1H seringkali saya lakukan secara menyicil. Maksudnya, kelengkapan 5W+1H untuk suatu berita baru akan diperoleh setelah dalam 2 hingga 3 penulisan. Suatu metode penulisan berita yang tidak dibenarkan dan tidak akan dipublikasikan di media publik (tanpa kelengkapan 5W+1H) pada duapuluh lima tahun lalu.

Media publik online saat ini, memungkinkan menjadi tempat setiap orang untuk menuliskan perasaan, pandangan dan pikirannya tentang apa saja, dan dengan gaya penyajian tulisan 'semau geu' sekalipun kepada publik. Termasuk ada keleluasaan untuk dapat memublikasikan kebohongan yang direkayasa, termasuk melalui Akun (lapak-lapak) gratis di media online seperti untuk jurnalisme warga (citizen journalism) yang tak mengenal proses penyuntingan di meja redaktur.

Makanya saya sangat setuju dengan adanya model 'verifikasi' yang dilakukan oleh Admin Kompasiana terhadap para netizennya (Kompasianer) dalam kaitan postingan konten (isi) yang menjadi tanggung jawab pembuatnya.

Bahkan model verifikasi yang telah dilakukan saat ini, rasanya, masih perlu diperketat dengan penyetoran identitas yang dijamin tak palsu, dengan maksud agar para Kompasianer menyadari mereka adalah penulis-penulis (story by line) yang akan bertanggungjawab langsung terhadap semua dampak dari konten-konten yang dibuat dan dipublikasikan. Terutama akan bertanggungjawab terhadap sanksi hukum dari penulisan yang sengaja dibuat mengandung penghinaan, fitnah, penistaan, penyebarluasan berita bohong, mengumbar cabul, melanggar hak cipta dan lain-lain.

Sang Guru, sejak Seminar dan Kongres Serikat Penerbit Suratkabar, November 2007, Ninok Leksono (Redaktur Kompas) sebenarnya telah mengenalkan metode What News dan How News yang dapat diterapkan dalam kesempatan pertama penulisan berita di media online yang sifatnya dapat dipublikasikan setiap saat (continuous deadline).

Namun panduan ACC yaitu Amati lalu Cepat Ceritakan yang saya lakukan selama ini, ternyata lebih plong untuk menuliskan sebuah berita di media online. Dengan metode (A)mati, unsur mana saja yang saya dapati dari rumusan 5W+1H (what, who, where, when, why, dan how) dan saya yakini kebenarannya dari suatu peristiwa atau event. Itulah yang saya lakukan untuk dapat secara (C)epat pada kesempatan pertama meng-online-kan berita dengan gaya men(C)eriterakan. Kelengkapan unsur lainnya plus pembetulan jika terjadi kekeliruan dilakukan dipostingan selanjutnya (follow up news).

Dengan metode panduan ACC tersebut, contohnya, saya dapat memposting berita ke Kompasiana melalui telepon seluler, tentang kebrutalan massa merusak mobil dan menghakimi tiga orang penumpangnya yang diteriaki sebagai penculik anak di Kota Makassar beberapa waktu lalu. Peristiwa ini sudah online di Kompasiana sekitar pukul 00.1 wita (dinihari), sebelum media lain memublikasikannya.

Sekalipun dalam penyajian berita itu saya menjadi Get it first - orang pertama meng-online-kan, namun terjadi apa yang menurut istilah Ninok Laksono Get it right (pembetulan) yang harus dihindarkan, karena saya menulis mobil yang dirusak 'Avanza' . Padahal sesungguhnya adalah jenis 'Innova,' dan saya baru melakukan pembetulan pada postingan berita follow up keesokan harinya.

Terjadinya kekurang-akurasian seperti itu, boleh jadi dipengaruhi pengejaran unsur speed yang menjadi ciri dan keunggulan berita online. Hal serupa masih terjadi dalam postingan berita mengenai 'Pesawat PIA Pakistan Dipaksa Mendarat di Lanud Hasanuddin' di Kompasiana kemarin. Mengutip penjelasan Kepala Penerangan Lanud Hasanuddin, bahwa semua penumpang pesawat adalah warga sipil. Pada hal dari penelusuran kemudian, 49 dari 62 penumpang pesawat tersebut adalah anggota Polisi Pakistan yang kembali dari menjalankan tugas perdamaian PBB di Timor Leste.

Penggunaan kaidah bahasa yang baik dan benar, keakurasian, keseimbangan serta kaidah lainnya yang diterapkan dalam penulisan berita di media-media konvensional tetap menjadi syarat dalam penulisan berita berkualitas di media online sekalipun mengutamakan kecepatan, dan kelengkapan penyajian yang dapat ditampilkan dalam penyajian atau postingan berita berikutnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun