Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Wajah dan Nada Berbuah Air Mata

4 Februari 2014   12:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10 76 0

Awalnya biasa saja. Satu-persatu acara yang sudah disusun panitia terlewatkan. Sesekali saya bercanda dengan teman duduk di sebelah. Sesekali tertawa lepas mendengar guyonan pemberi sambutan dan penceramah.

Hingga pada ujung acara. Puluhan bocah-bocah belasan tahun berjalan ke tengah-tengah. Pakaian kumal, rambut lusuh, kulit hitam. Menerima amplop sebagai santunan dari panitia peringatan maulid Nabi minggu yang lalu.

Berbagai ekspresi terpancar dari wajah mereka.  Malu-malu, gembira, datar sampai yang menatap hampa.

Disaat bersamaan. Band di halaman masjid mengalunkan sebuah lagu sendu: Yatim Piatu.

Yatim piatu, malang nasibmu

Semoga Tuhan selalu melimpahkan rahmat-Nya padamu

.................

Yatim piatu, besarkan hatimu

Di dalam mengarungi hidup yang penuhtantangan ini

.................

Wajah-wajah itu tidak asing bagiku. Wajah yang terkadang membuat aku emosi. Wajah-wajah yang sesekali membuat aku marah. Kini datang dengan tampilan lain. Tidak lagi rapi. Tidak lagi menggunakan seragam.

Tiba-tiba aku termenung. Ada sesuatu yang terasa memenuhi rongga dada. Tenggorokan terasa mengering. Mata memanas. Perasaan melayang. Ku tengadahkan wajah. Menahan sesuatu yang mau keluar. Mencoba menarik nafas dalam-dalam. Tak kuasa. Akhirnya menetes juga air mata ini.

Mereka adalah anak yatim yang hampir semuanya adalah siswaku. Karena lokasi masjid ini hanya berjarak 200 meter dari sekolah dasar tempatku mengajar.

Berbagai fikiran berkecamuk. Ada penyesalan karena terbatasnya kesabaran selama ini. Mereka rata-rata nakal atau bebal. Mungkin karena tidak memiliki seorang ibu sebagai tempat mendapat perhatian dan kasih sayang . Tidak memiliki ayah yang senantiasa membimbing mereka.

Ah... seandainya aku anak yatim juga seperti mereka.  Belum tentu sekarang aku seperti ini. Mungkin saja aku sudah menjadi penjudi, pemabok, pecandu, pencuri, atau perampok. Yang sekarang sedang duduk mengganggur. Berkeliaran di terminal, main kartu, main wanita. Atau mungkin saja sedang meringkuk di penjara.

Sedih membayangkan semuanya. Aku coba berpaling untuk menghentikan tetes air mata. Kumenunduk dalam. Terpekur menatap lantai. Menghindari memandang wajah mereka. Sambil berjanji dalam hati. Besok aku harus lebih sabar lagi. Menghadirkan cinta  yang lebih besar lagi. Senakal dan sebebal apapun mereka. Akan aku rangkul penuh kasih sayang. Yang selama ini mungkin masih terlalu kurang. Semoga.

Dermawan yang Dihinakan

Usai acara santunan. Acara dilanjutkan dengan makan siang. Kali ini grup band melantunkan lagu Ghibah:

Mengapa kau suka membukakan aib sesama

Ke sana ke mari kau cerita keburukannya

.............

Janganlah kau sibuk mencari kelemahan orang

Periksa dirimu masih adakah kekurangan

Semut yang di seberang lautan jelas kelihatan

Tapi gajah dipelupuk mata tiada kelihatan

Oh keterlaluan

..............

Siapa yang suka membuka aib temannya

Berarti dirinya lebih hina dan tercela

Siapa yang suka menggunjingkan sesamanya

Berarti dia suka makan bangkai saudaranya

Sudah berpuluh-puluh kali aku mengikuti acara seperti ini. Sudah berpuluh-puluh kali aku mendengar lagu ini. Tapi kenapa kali ini semuanya terasa  begitu menyentuh?

Entah karena perasaan  sudah terlanjur mengharu biru atau apa. Sekali lagi air mata mau mentes. Merenungkan bait-bait lagu yang menusuk sanubari.

Bukankah aku termasuk orang dimaksud dalam lagu itu? Entah berapa kali aku melakukannya. Entah berapa orang yang sudah aku bicarakan keburukannya.

Bahkan pencipta lagu itu: Rhoma Irama. Tidak luput dari cemooh dan celaanku. Lebih-lebih setelah dia menyatakan ingin menjadi Capres.

Sedangkan. Aku yang mencela sudah pasti tidak ada apa-apanya. Jauh lebih buruk dari dia. Lebih banyak bergelimang noda dan dosa.

Dia yang sudah mengetuk jutaan hati orang dengan syair-syair lagunya. Dia yang sudah mengamalkan bermilyar-milyar uangnya. Menyumbangkan semua honornya. Pada panti asuhan, panti jompo dan yayasan sosial lainnya. Tidak sepeserpun masuk ke kantong pribadinya. Dilakukan saat memerankan berpuluh-puluh film yang dibintangi. Dilakukan selama bepuluh-puluh tahun.

Sementara aku? Yang selama ini mencela dan mengolok-olok dia? Yang selama ini hanya bisa melihat kekurangannya? Tanpa bisa berbuat kebaikan yang berarti bagi sesama?

Kerongkongan tercekat. Berat menelan makanan yang sedang ku kunyah. Ya Tuhan... begitu berdosanya hamba-Mu ini. Ampuni ya Rabb...***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun