Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bahasa Pilihan

Mari Membunuh Para Imam Mazhab Sastra

15 Desember 2019   12:43 Diperbarui: 15 Desember 2019   12:43 70 4
Tiba-tiba aku ingin menulis sesuatu. Rasa keinginanku untuk menulis hampir sama saat aku birahi ingin bercinta dengan wanita. Entah apa yang merasuki alam pikiranku, mungkin aku kerasukan jin Tagore, mungkin juga mas Taufik atau mbak Karren Amstrong.

Tapi kayaknya tidak mungkin, pada levelku sekarang. Mereka penulis-penulis besar dengan gelar yang melekat. Om Tagore merupakan orang yang pernah meraih hadiah nobel dalam bidang sastra dan bahasa. Kalau sedang menganggur ingin ngobrol dengan manusia kontemporer setidaknya mereka akan memilih orang yang mempunyai kapasitas dalam hal kepenulisan sebagai media untuk berbicara.

Banyak sekali contoh yang demikian, Karren Amstrong dalam sebuah biografinya mengatakan ketika dia menulis maka akan lupa ruang dan waktu. Ada juga Al Ghazali yang bisa menulis  ratusan kitab, tapi tidak merasa menulis sesuatu. Dalam level para Dewa, penulis tersebut tentu bukan sosok penulis lebih Dewa lagi yang merasuki mereka, melainkan Tuhan. Tuhan mewahyukan beberapa hal dan kemudian ditulis oleh orang-orang dewa lalu dibukukan, salah satu contoh yang membuat saya kagum adalah kitab dari tokoh sufi, Ibnu Arobi yang menulis kitabnya dalam keadaan ektakse (menyatu dengan Tuhan).

Dan dalam bidang sastra juga demikian, sastra jika kita rujuk dalam berbagai sumber memiliki definisi yang kurang lebih begini, sastra adalah refleksi dari penulis tentang segala sesuatu yang terjadi di alam sekitarnya. Refleksi ini bisa berbentuk novel, cerpen, puisi dan juga esai. Para dewa sastra akan menuliskan wahyu Tuhannya masing-masing.

Akibatnya muncul banyak sekali corak sastra, hingga tidak akan cukup kata jika aku tuliskan disini. Setiap tokoh sastra akan membawa semacam mazhab sastranya sendiri, misal Khalil Gibran tentu akan berseberangan dengan Nietzche, puisinya om Saut tentu akan berbeda coraknya dengan puisi-puisinya mas Taufik, cerpennya Djenar Mahesa tentu akan berbeda alurnya dengan cerpennya Gus Mus. Maka masing-masing mereka berdiri di tempat berbeda-beda, tergantung Tuhan mana yang dianut.

Ada juga tokoh yang saling berbagi tempat, misal Seno Gumira dengan Djenar Mahesa. Jokpin dengan Eka, atau Gus Mus dan Emha. Mereka para tokoh akan bermain-main di istana mazhab sastranya masing-masing, kadang akan saling serang dengan mengatakan bahwa mazhabnya adalah jalan paling benar dalam bidang sastra.

Sementara aku, dan untungnya masih banyak lagi manusia semacamku, akan terus berada di bawah sambil mengamati para tokoh melakukan pentas. Hanya sebatas mimpi bisa menggantikan tokoh-tokoh tersebut, ketika satu tokoh mati dia akan terus abadi dengan karyanya. Sang pengganti, imam mazhab, seperti juga imam mazhab dalam agama adalah orang yang sealiran, sepemikiran dengan imam terdahulu.

Jika aku menjadi peneliti sastra, atau kuliah di jurusan sastra, atau membentuk komunitas sastra tentu aku akan dibuat gila dengan fenomena tersebut. Sastra yang tujuan awalnya untuk menjadikan manusia menjadi manusia sejati, ternyata juga harus gulung tikar karena mengkultuskan para tokoh tersebut seolah dia tidak bisa disentuh dosa.

Sekali lagi jika aku menjadi orang yang bergelut di dunia sastra, tentu aku akan mengadakan diskusi yang bertema sastra dan kebebasan manusia. Selain dengan alasan di atas, para penggiat sastra sekarang hanya copas-an dari para tokoh sastra, dalam hal ini seharusnya tokoh sastra belajar dari Imam Syafii. Walaupun berguru kepada Imam Malik tapi dia bisa mengkritisi Imam Malik, hormat pada guru itu perlu tapi sewajarnya saja, ada lagi contoh menarik. Dari tokoh dan mahaguru hermeneutika, om Gadamer sebagai tokoh hermeneutika sangatlah mengidolakan gurunya, Martin Heidegger  tanda dia mengidolakan gurunya adalah ketika sang guru mengadakan seminar atau kelas maka Gadamer akan selalu ada di kelas tersebut, walau saat itu Gadamer sudah menjadi guru di Universitas.

Tapi menariknya Gadamer tidak mengopas seluruh pemikiran gurunya, ada beberapa hal yang direvisi dan beberapa hal yang dipertahankan. Perbuatan semacam inilah yang perlu dilakukan oleh para penggiat sastra. Tapi aku bukanlah orang ahli dalam dunia sastra jadi jika analisisku salah mohon untuk dimaafkan.

Satu lagi, ketika saya belajar manusia tunggal banyak dari tokohnya merupakan manusia yang serius mengkaji seluruh pemikiran tapi dia tidak hanyut dalam pemikiran yang dikajinya. Kemudian malah membuat sebuah pandangan hidup sendiri, karena menurut manusia tunggal bahwa semua jiwa dan akal manusia itu berbeda-beda maka carilah kekuatan yang ada pada diri masing-masing jangan copas pada seorang tokoh. Saat itu terjadi Tuhan akan berkata pada dirimu, mewahyukan sesuatu yang akan kamu tulis.

Terakhir sebelum teman diskusiku di warung kopi pulang, dia berkata banyak penggiat sastra yang mengidolakan WS Rendra tapi karya puisinya menunjukkan dia seperti Taufik Ismail atau sebaliknya.

Wakoka, 12.22 Sore, Ponorogo

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun