Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah

13 April 2012   14:28 Diperbarui: 4 April 2017   17:44 1163 0

Sebuah ringkasan (Artikel Sundararajan)

Ekspansi yang begitu cepat dari Industri Keuangan Islam dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kebutuhan akan sebuah kebijakan untuk membantu mengintegrasikan keuangan Islam dalam sistem keuangan nasional dan global. Secara khusus, desain dan implementasi Basel II yang standarnya setarauntuk Bank Islam, dan penerapan sistem manajemen risiko yang efektif , yang mencerminkan fitur operasional khusus keuangan Islam, semakin mengemuka.Walaupun IFSB (Islamic Financial Service Board) telah mengeluarkan berbagaistandar kehati-hatian dan pedoman yang sejalan dengan Basel II dan juga cocok dengan sistem Keuangan Islam, penerapan standar ini memerlukan pendekatanpengukuran resiko yang baru. Khususnya, sebuah isu sangat penting dalam pengelolaan risiko oleh Bank Syariah secara global, adalah bagaimana mengukur dan mengelola risiko yang berkarakteristik bagi hasil (mudharabah) ,yang merupakan sumber utama pendanaan Bank Syariah. Skema Bagi Hasil yg di miliki oleh deposan merupakan sekitar 62% dari aset rata-rata dari contoh 12bank syariah di negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Pada dasarnya PER (Profit Equalization Reserve) dan IRR (Investment Risk Reserve) adalah sebuah Instrumen yang di gunakan untuk mengantisipasi kerugian dari asset yang diinvestasikan, baik dari sisi Bank maupun dari pemilik rekening simpanan/shaibul maal. Tujuannya adalah untuk memberikan tingkat profitabilitas/kepastian yang lebih tinggi dari nature bisnis syariah, utamanya Bank syariah yang cenderung memiliki tingkatvolatilitas lebih dari daripada Bank Konvensional dikarenakan implementasi transaksi-transaksi berakad mudharabah/musyarakah.Dalam bahasa ekonomisnya adalah bahwa implementasi dari PER dan IRR ditujukan untuk membantu mengelola tingkat Displaced Commercial Risk (DCR) yang didefinisikan sebagai sebuah resiko yang muncul ketika Bank Syariah berada dalam tekanan untuk memberikan hasil (return) yang lebih tinggi kepada Investor/deposannya melebihi yang seharusnya diberikan berdasarkan kontrak investasi sebelumnya. Banyak alasan yang dikemukakan terkait isu DCR tersebut, salah satunya adalah masalah likuiditas Bank Syariah, dimana ketika bagi hasil lebih rendah dari Bank Konvensional, dikhawatirkan akan terjadi “fund flight” yang cukup besar dari Bank Syariah ke Bank Konvensional dikarenakan suku bunga konvensional lebih tinggi dibanding imbal hasil Bank Syariah, dengan demikian, likuiditas dari Bank-Bank Syariah tersebut menjadi semakin menipis.

Profit equalization reserve (PER) sendiri menurut standar The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) adalah sebagian dari pendapatan kotor dari pendapatan murabahah yang dikeluarkan/disisihkan , sebelum mengalokasikannya ke bagian Mudharib dengan tujuan untuk memberikan return/hasil yang lebih merata kepada pemilik rekening dan pemegang saham. Sedangkan Investment Risk Reserve adalah sebagian dari pendapatan Investor yang disesuaikan dengan cara mengurangi bagian dari pendapatan mudharibyang bertujuan untuk menutupi kerugian-kerugian di masa yang akan datang pada sebuah Investasi yang dibiayai dengan skema pembiayaan berbentuk/berakad bagi hasil.

Secara prinsip, pada kontrak mudharabah, semua kerugian (disebabkan oleh resiko kredit dan pasar) ditanggung oleh Investor, sedangkan profit/keuntungan dibagi antara Investor dan mudharib secara proporsional sesuai kontrak. Namun, setiap kerugian yang diakibatkan oleh “kesalahan dan kelalaian” (resiko operasional), ditanggung oleh mudharib.

Namun dengan diberlakukannya PER atau IRR, Bank Syariah dapat menjaga pembayaran kepada investor tetap berada pada level “pasar” walaupun hasil aktual dari asset yang diinvestasikan melampaui ataupun dibawah suku bunga pasar . PER yang diakumulasikan tersebut yang sebenarnya ekuitas dari investor dan pemegang saham dapat ditarik kemudian untuk meratakan imbal hasil ketika imbal hasil dari sebuah investasi menurun, begitu pula dengan akumulasi IRR, yang sebenarnya merupakan milik investor dapat digunakan untuk menutupi kerugian-kerugian yang dapat saja muncul dimasa yang akan datang. Sebagai tambahan, ketika akumulasi PER tidak mencukupi dalam memberikan imbal hasil yang “selevel” dengan suku bunga pasar, Bank Syariah dapat saja memberikan sebagian dari porsi pendapatan mereka kepada investor/depositor. Ketersediaan informasi yang dipublikasikan oleh Bank Syariah dalam hal praktek PER dan IRR sangat terbatas. Dalam sebuah analisa atas pengungkapan praktek tersebut (berdasarkan laporan tahunan 2001 – 2003), hanya sekitar 30% saja dari bank-bank yang disurvei, yang mengungkapkan jumlah PER dalam neraca mereka (sundararajan 2005). Kebanyakan dari Bank Sentral, menyerahkan metodologi perhitungan mudharabah, baik PER maupun IRR, ditentukan oleh kebijakan Bank-Bank Syariah itu sendiridan tidak ada persyaratan pengungkapan tertentu pengawasan atas PER / IRR, selain yang timbul dari standar akuntansi yang berlaku.

Kesimpulan Artikel

Analisis di atas menunjukkan bahwa penggunaan IRR adalah kunci untuk menutupi potensi kerugian atas aset yang diinvestasikan oleh investor, dan PER dibutuhkan untuk meratakan imbal hasil, sehingga pengembalian yang diharapkan oleh investor dapat diberikan dalam menghadapi volatilitas imbal hasil, dan dengan demikian dapat membantu mengelola tingkat DCR; tetapi hubungan antara PER / IRR dan DCR adalah kompleks. Jumlah minimal tertentu yang diperlukan untuk memastikan bahwa kombinasi risiko imbal hasil yang dibutuhkan investor memiliki tingkat probabilitas yang tinggi, penggunaan IRR untuk mengimbangi kerugian Bank dalam membiayai sebuah proyek. Sebuah kombinasi yang tepat harus diputuskan oleh manajemen Bank Syariah berdasarkan dugaan dari penggunaan yang mungkin dari cadangan di masa depan. Ini akan, Hal penting selanjutnya adalah menetapkan batas kehati-hatian pada ukuran PER dan IRR untuk memastikan prinsipberbagirisiko dan imbalan antara pemegang saham dan IAH (Investment Account Holder).

Profit Equalization Reserve (PER) dan Investment Risk Reserve (IRR) dan (Idealisme) Ber Bank Syariah

Bank Indonesia (BI) mulai mengawasi perhitungan manajemen dua risiko tambahan di bank syariah, yakni risiko investasi (Equity of investment risk) dan risiko imbal hasil (rate of return risk). Meski belum diperhitungkan dalam penilaian risiko (risk profile), bank syariah diminta menghitung berapa modal untuk pengelolaan kedua risiko tersebut. Kedua risiko itu telah diterbitkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No mor 13/23/PBI/2011 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank UmumSyariah dan Unit Usaha Syariah. Sebagai pembanding, Profit Equalization Reserve (PER) diperbolehkan di digunakan oleh Bank-Bank Syariah di Malaysia sekitar 12 tahun yang lalu. PER disetujui oleh Dewan Syariah Nasional Bank Negara Malaysia (BNM) setelah mendapat rekomendasi dari Association of Islamic Banking Institution Malaysia (AIBIM) yang ditujukan untuk memitigasi disparitas/perbedaan laba simpanan/suku bunga antara Bank-Bank Syariah/Unit Usaha Syariah dan Bank-Bank Konvensional.

Bagi yang sangat percaya bahwa bunga/“riba” hukumnya haram dalam Islam, maka mereka akan tetap menempatkan dananya di Bank-Bank Syariah tanpa memperdulikan suku bunga yang ditawarkan oleh Bank Konvensional.; Namun bagi yang lain (khususnya-Non Muslim), sangat alamiah bagi mereka, menempatkan dananyake Bank-bank yang menawarkan suku bunga tertinggi untuk memaksimalkan hasil. Maka, bagi investor yang tidak peduli apakah system bank “halal” atau “tidak halal”, ketika Bank Syariah menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi dari bunga bank, ia akan memindahkannya ke Bank Syariah. Sebaliknya, ketika bank konvesnisonal juga menawarkan yang lebih tinggi, maka ia akan memindahkan dananya ke Bank konvensional. Tentu saja, kita juga tidak dapat menyangkal bahwa adainvestor/nasabah yang puas terhadap satu bank karena layanannya, tanpa memperdulikan tawaran suku bunga di pasar, dan mereka tetap setia terhadap bank tersebut. Melihat skenario diatas, untuk sebuah bank konvensional yang memiliki anak perusahaan atau unit usaha syariah, sangat tidak masuk akal, jika sebuah system (anak perusahaan/UUS) memberikan imbal hasil yang lebih besar dan menjadi beban/pengeluaran bagi perusahaan Induknya. Maka dari itu, AIMIM menawarkan PER yang kemudian disetujui oleh Dewan Syariah Nasional Bank Negara Malaysia. Namun ada sebuah komentar menyikapi pemberlakuan PER tersebut, bahwa PER seharusnya tidak diteruskan, ketika asset perbankan syariah di Malaysia sudah mencapai 40 % - 50 % dari total asset perbankan konvensional, untuk memastikan kedua system bermain pada level yang sama.

Perhitungan PER di Malaysia

Profit Equalization Reserve (PER) di Malaysia dapat di laksanakan dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Akumulasi Maksimum dari PER tidak melebihi 30 % dari dana/modal Pemilik saham.
  2. Maksimal transfer PER bulanan tidak melebihi 15 % dari laba kotor sebelum distribusi bagi hasil. Maka, pada bulan-bulan tertentu ketika ada recovery yang cukup besar, imbal hasil dapat saja lebih besar dari biasanya.
  3. Penggunaan yang tidak terbatas untuk mendukung rate imbal hasil ketika terjadi pendapatan yang rendah pada bulan tertentu; yang mungkin saja disebabkan oleh provisi kredit yang tinggi dari biasanya, tambahan provisi khusus atau untuk menyesuaikan dengan suku bunga konvensional yang disebabkan oleh kenaikan Overnight Policy Rate (OPR) yang secara langsung mempengaruhi suku bunga dasar kredit bank konvensional .

Dampak – Transfer keuntungan ke PER

Ketika keuntungan ekstra (misalnya dibagi antara Bank dan Nasabah) di transfer sebagai PER yang pada dasarnya untuk menhindari pembayaran imbal hasil yang tinggi (atau mengurangi beban Mudharabah General Investment Account), agar tidak lebih tinggi dari Bank Konvensional, dampaknya terhadap Bank Syariah adalah sebagai berikut :

  1. PBT (Profit Before Tax) bulan berjalan akan berkurang (menjadi pengurang PBT, karena laba bank berkurang akibat transfer ke pos PER);
  2. R” rate/suku bunga (mengacu kepada Islamic Interbank Money Market: IIMM) juga akan berkurang. Hal ini berarti, Bank syariah yang menempatkan dananya pada Bank lain melalui Islamic Interbank Money Market, akan dibayar dengan rate yang lebih rendah dari pada rate penempatan indikatif.

Contoh:

Bank X menempatkan dananya di Bank Syariah dengan indicative rate (untuk menentukan Profit Sharing Ratio) sebesar 3.5% p.a. Diasumsikan suku bunga penempatan sebesar 6.4 % p.a, namun pada saat “Maturity date” (diasumsikan saat ini), suku bunga berkurang menjadi 6.25 % p.a (berkurang sebanyak 0.15% p.a). Pada penempatan, Rasio profit sharing( PSR) adalah  (3.5 /6.40 ) = 54.68 : 45.32 (Bank X : IIMM bank); namun pada saat “jatuh tempo” , Bank X akan dibayar sebesar (6.25 x 54.68%) = 3.42% p.a. (lebih rendah 0.08% dari indicative rate). Hasilnya , adalah  (+) positive untuk Bank syariah.

Dampak Penggunaan PER

Ketika pilihannya adalah tidak meningkatkan Rasio Profit Sharing tapi memanfaatkan PER untuk menunjang rate imbal hasil untuk menyesuaikan dengan suku bunga konvensional, dampak terhadap bank adalah sebagai berikut :

  1. PBT (Profit Before Tax) bulan berjalan akan meningkat; (karena adanya transfer dana dari pos PER ke Income statement, sehingga nilai PBT akan naik).
  2. “R” rate (mengacu kepadaIIMM) juga akan meningkat. artinya, IIMM bank yang menempatkan dananya kepada Bank X akan dibayar lebih tinggi dari indicative rate ketika penempatan benar-benar dilakukan.

Contoh: Bank Y menempatkan dana pada Bank Syariah dengan indicative rate sebesar 3.5% p.a. diasumsikan "r" rate penempatan adalah 6.40% p.a. Namun pada saat jatuh tempo, tingkat “r” naik menjadi 6.65% p.a.  Rasio Profit Sharinguntukpenempatan tersebut adalah (3.5 / 6.40%) = 54.68: 45.32 (Bank Y: Bank X) namun pada saat jatuh tempo, Bank Y akan dibayar sebesar (6.65 x 54.68%) = 3.63% p.a. (lebih tinggi 0.13%). Hasilnya adalah  (-) negative untukBank Syariah.

Malaysia Indonesia

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun