Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Tantangan Transformasi Partai-partai Politik di Indonesia

28 Januari 2020   11:11 Diperbarui: 28 Januari 2020   12:12 847 0
Tapi PDIP menghadapi tantangan yang tidak mudah. Pasca kepemimpinan Megawati tidak ada figur sekuat Mega yang bisa mempersatukan partai. Puan yang keturunan Mega dan menjadi ketua DPR dinilai belum menjadi simbol pemersatu. Prananda Prabowo tidak begitu dikenal publik untuk memimpin partai besar ini. Bisa jadi muncul berbagai faksi di tubuh partai dan bukan tidak mungkin pecah membentuk partai-partai kecil baru seperti yang terjadi pada Golkar di masa lalu.

Tantangan lain PDIP adalah persepsi publik mereka sangat dipengaruhi kinerja pemerintahan Jokowi. Jika Jokowi dinilai gagal, maka PDIP akan kena imbasnya. Ketidaksukaan publik pada Jokowi akan berimbas pada ketidaksukaan mereka pada PDIP.

Golkar sudah malang melintang di perpolitikan tanah air. Jejaringnya mengakar kokoh di berbagai wilayah di Indonesia. Golkar secara DNA merupakan partai penguasa. Siapapun presidennya ia akan selalu bermanuver untuk jadi bagian penguasa. Jejaring warisan masa lalu yang mengakar, ideologi tengah, dan DNA penguasa merupakan kekuatan Golkar.

Tantangan Partai Golkar adalah perpecahan internal dan tidak adanya kader kuat yang menjadi simbol pemersatu partai. Golkar sudah sangat terbiasa dengan perpecahan internal, bahkan meluruh melahirkan partai-partai baru seperti Nasdem, Gerindra, Hanura, dan yang lainnya. Peran Golkar akan terus menurun, seiring melemahnya jejaring di daerah dan tidakadanya sosok kuat pemersatu partai.

Gerindra diuntungkan dengan adanya kontestasi Pilpres. Prabowo yang jadi Capres membawa berkah tersendiri, suaranya melejit. Gerindra dianggap antitesa pemerintahan Jokowi sehingga  suara oposisi mengalir ke sana. Namun lompatnya Gerindra dari oposisi menjadi bagian pemerintah membuat pemilihnya bingung dengan partai ini. Pasca Prabowo Gerindra hadapi tantangan serupa dengan Golkar & PDIP, kehilangan figur pemersatu. Memang ada Sandiaga yg cukup apik mengelola persepsi publik. Tapi nampaknya Prabowo enggan untuk melepas ketum ke trah non keluarga besar Prabowo.

PKB yang disokong kekuatan NU masa depannya sangat tergantung pada kemampuannya mengonversi kaum Nahdiyin menjadi suara partai. PKB akan sulit menjadi partai terbesar.

Nasdem ditopang oleh kekuatan modal, media milik Surya Paloh dan peran kader-kader di pemerintah. Rekomposisi peran Nasdem di pemerintahan dalam periode kedua Jokowi tidak menguntungkan partai tersebut. Dalam hal regenerasi Prananda Paloh dinilai belum cukup meneruskan peran bapaknya memimpin nakhoda partai. Mengandalkan media saja tidak cukup. Contohnya Perindo, meski ditopang modal dan media, gagal masuk parlemen. Masa depan Nasdem sangat tergantung pada dinamika pemerintahan Jokowi.

Fenomena Demokrat cukup menarik. Partai ini pernah berkuasa ditopang moncernya citra SBY di mata publik. Partai ini juga pernah mengalami insiden besar yang membuat  suaranya tergerus di Pemilu 2014 lalu.

Demokrat sebenarnya punya peluang menjadi partai terbesar kembali jika dan hanya jika sukses regenerasi melahirkan tokoh baru yg tidak hanya diterima semua kalangan di internal partai, tapi juga oleh publik. Jika SBY telat lakukan regenerasi, yang terjadi bisa malah sebaliknya. Satu-satunya aset partai yang paling moncer saat ini untuk menggantikan SBY adalah AHY.

AHY punya modal politik yang kuat untuk menakhodai Demokrat. Selain anak ideologis & biologis SBY, AHY yang muda punya energi besar untuk membangkitkan kembali partai. Hampir semua survei nasional menempatkan AHY sebagai calon pemimpin bangsa masa depan. AHY juga sudah berkeringat di Demokrat dengan memimpin pemenangan Pemilu lalu, menjadi Waketum & menggagas berdirinya Akademi Demokrat. Sudah sangat tepat jika Kongres Demokrat 2020 nanti menempatkan AHY sebagai Ketum. Jika tidak, Demokrat akan kehilangan momentum untuk bangkit.

PKS meski punya militansi dan kaderisasi yang kokoh, akan sulit menjadi partai papan atas nasional. Segmen pemilih yang terlalu captive (pengikut Ikhwanul Muslimin) membuat partai ini lambat berkembang. Suaranya melesat ketika situasi politik nasional bernuansa politik identitas. Tidak adanya tokoh sentral membuat partai ini rawan perpecahan elit. Contohnya Partai Gelora lahir akibat perpecahan elit-elit PKS.

PSI sempat dianggap membawa harapan baru. Gerakan anak-anak muda yang didukung konglomerasi ini sempat menghadirkan warna baru, aktif di Sosmed, pro minoritas, bangun narasi anti korupsi. Akan tetapi narasi yang dibangun sering tidak sejalan dengan kepentingan politik praktis mereka. Makanya PSI diam membisu saat terbitnya UU yang melemahkan KPK, karena ia berkepentingan untuk berada di pemerintahan Jokowi. Eksistensi PSI adalah zero sum game bagi PDIP karena basis pemilihnya relatif sama. Naiknya suara PSI akan menggerus suara PDIP. Wajar jika politisi dari kedua partai tersebut tidak akur, meski sama-sama satu kubu.

Meski memainkan media sosial dengan baik, tidak adanya tokoh sentral yang kuat dan jaringan yang mengakar, akan sulit bagi PSI untuk masuk jadi papan atas. PSI kyaknya PKS dalam ranah ideologi yg berseberangan.

Dari pemetaan di atas, ada benang merah yang bisa kita tarik terkait peluang dan tantangan partai-partai di Indonesia untuk masuk papan atas.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun