Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Kapan Terakhir Membeli Bensin Eceran?

13 April 2021   11:00 Diperbarui: 13 April 2021   10:59 465 8

Saya membaca kabar mengenai rencana Pertamina mengembangkan pertashop (semacam SPBU mini) Pertamina di pesantren-pesantren. Rencananya pertashop ini hanya akan menjual Pertamax, LPG non subsidi, dan pelumas.

Hal yang bagus menurut saya. Pertama, memberdayakan ekonomi pesantren. Kedua, memudahkan masyarakat memperoleh BBM. Ketiga, semoga amanah dalam pelayanannya sehingga meminimalkan keluhan masyarakat saat membeli BBM di sana.

Saya jadi teringat pernah ada yang namanya Pertamini, berpenampilan mirip SPBU. Bensin dijual tidak lagi di botol atau jerigen. Tapi konon usaha Pertamini ini masih kontroversial, kurang aman, tidak berizin resmi dari Pertamina.

Ada sebuah berita lanjutan yang saya baca, yaitu rencana untuk membuka pertashop di desa-desa. Saya tiba-tiba teringat salah seorang rekan saya di sebuah desa di Sleman yang membuka kios bensin eceran di rumahnya. Selain pekerjaan utamanya sebagai satpam, ia memelihara kebun jambu, dan sebuah toko kelontong kecil. Toko kelontong dan kios bensin ditunggui bergantian dengan istri dan anak-anaknya.

Suatu kali ia pernah mengeluh ke saya toko kelontongnya makin sepi, penyebabnya adalah persis di seberang jalan ada yang membuka toko kelontong yang lebih besar dan lebih komplit. "Lalu tokonya masih buka?", "Masih, lebih banyak yang beli bensin eceran ketimbang belanja toko." Dia pernah bercerita ke saya untuk bisa kulakan bensin dari SPBU mesti dengan surat ijin dari lembaga terkait. Itu kisah sekitar lima tahun lalu, saya kurang tahu bagaimana perkembangannya sekarang saat penjual bensin eceran pun hanya bisa menjual Pertamax bukan lagi premium. Sekarang ia lebih banyak bercerita mengenai bisnis angkringan di bagian depan rumahnya setiap sore sampai dinihari. Saya sempat terpikir bagaimana nantinya nasib para penjual bensin eceran.

Dulu sewaktu saya baru awal-awal memperoleh SIM C, saya gemar meminjam sepeda motor milik paman saya. Saya suka meminjamnya karena meski jalannya lambat tapi suaranya kencang, atau lebih tepatnya berisik. Maklum motor 2 tak. Kalau membeli bensin untuk motor paman saya ini tidak bisa di SPBU, tapi di penjual bensin eceran. "Bensin campur, Pak, satu liter", begitu dulu cara saya membelinya. Tentang istilah bensin campur ini ada sebuah joke, yaitu bensinnya campur dorong, karena seringnya motor ini mogok.

Salah seorang tetangga saya, janda, lansia, anak-anaknya sudah menikah. Meski secara finansial sudah di-support oleh anak-anaknya, beliau "memilih" aktivitas untuk mengisi hari tua adalah dengan berjualan bensin eceran. Yah, minimal otak terus bekerja menghitung, juga ngobrol dengan para pembeli yang sebagian besar adalah mahasiswa. Ketika sempat saya tanyakan ke tetangga yang lain, masih tetap ada yang membeli bensin eceran di tempatnya, padahal jarak ke SPBU tidak sampai satu kilometer. Entah apakah para mahasiswa ini malas antre di SPBU, atau sekedar ingin mengajak ngobrol ibu lansia ini.

Yah, mahasiswa adalah salah satu "penggemar" bensin eceran. Saya ingat dulu waktu SPBU masih jarang dan sering penuh, males antri kelamaan, jadinya beli bensin eceran. Apalagi kalau belinya cuma satu liter. Mahasiswa yang demen pinjam sepeda motor temannya, seandainya diperbolehkan pastilah akan beli bensin ecerannya setengah liter saja. Dan konon ada saja penjual yang memperbolehkannya .... ha ha ...

Sebenarnya saya masih punya sebuah rasa penasaran sampai sekarang. Botol yang dipergunakan untuk menampung bensin itu biasanya berbentuk mirip botol jamu yang sering digendong oleh penjual jamu. Apakah betul bensin yang ditampung di situ sebanyak 1 liter? Entahlah. Saya juga biasanya kalau beli hanya menunjukkan satu jari atau dua jari. Mungkin hanya diartikan sebagai satu botol atau dua botol, bukan satu liter atau dua liter.

Dulu waktu saya mahasiswa belum jamannya Pertamina Pas. Kadang kita bertemu petugas SPBU yang jutek. Ada sebuah kios bensin eceran yang menjadi favorit saya meskipun bukan di jalur utama yang sering saya lewati. Mengapa saya sering membeli bensin eceran di sana? Karena penjualnya seorang bapak yang ramah dan selalu terlihat antusias, meski sapaannya hanyalah sekedar hal remeh temeh mengenai kondisi cuaca atau kondisi jalan. Penjual bensin eceran ini telah memberikan "cashback" yang jarang kita terima di SPBU, yaitu di-uwongke.

Tapi saya pernah suatu kali beroleh pengalaman buruk yang membuat saya berprasangka. Sepeda motor kok jadi gampang mogok, ndak ada tenaganya. Untunglah setelah di-service di bengkel bisa pulih kembali. Sejak itu saya sempat berbulan-bulan menghindari bensin eceran.

Satu liter, dua liter, begitulah biasanya jumlah saat kita membeli bensin eceran. Tapi kami pernah membeli bensin eceran 6 liter. Waktu itu saya bersama Ayah, berkendara dengan mobil. Mungkin karena malam hari, Ayah sempat salah memilih jalan, akibatnya kami masuk ke jalan yang makin mblasuk. Setelah berputar-putar cukup lama akhirnya kami tersadar, dan mencari jalan menuju jalan besar. Waktu itu masih tahun 90-an, belum booming SPBU antar kota seperti sekarang yang begitu mudahnya ditemukan dengan jarak yang berdekatan.

Kami melihat indikator bensin sudah mengkhawatirkan sementara SPBU berikutnya sepertinya masih jauh. Kami menyisiri jalan memantau apakah ada yang jual bensin eceran. Terdapat sejumlah plang bensin eceran, tetapi sudah tutup, mungkin karena memang sudah malam, apalagi jalan yang kami lewati tersebut cukup sepi. Sebuah perasaan syukur yang luar biasa, ketika kami melihat barisan botol penuh berisi bensin. Kami segera berhenti, dan memanggil pemilik kios yang nongkrong di teras rumahnya. Yah, 6 liter, jumlah yang cukup aman sampai ke SPBU berikutnya (waktu itu perbandingan konsumsi bensin dari mobil yang digunakan adalah sekitar 1:7). Saya bertanya ke Ayah, bensin dijual dengan harga normal eceran, jadi dia tidak melejitkan harga mentang-mentang satu-satunya yang masih buka di sekitar situ. Terimakasih penjual bensin eceran.

Dan salah satu kisah penjual bensin eceran yang paling saya ingat adalah mengenai (alm) KH AR Fachruddin, Ketua Umum Muhammadiyah 1968-1990. Bayangkan, pimpinan sebuah ormas besar, dengan sekian banyak sekolah, rumah sakit, perguruan tinggi, dan panti asuhan, bernaung di dalamnya, rela berjualan bensin eceran. Jaman itu belum ada social media yang memblow-up segala hal yang di era milenial ini kita sebut sebagai pencitraan. Apa yang dilakukan  Pak AR Fachruddin adalah sebuah keseharian yang otentik. Teladan agung bukan lewat kata tapi perbuatan. Konon ada dua orang di Jogja yang sangat disegani oleh Pak Harto, yaitu Sri Sultan HB IX dan KH AR Fachruddin.

Berjualan bensin eceran meski terlihat seperti usaha sampingan, sebenarnya adalah pekerjaan yang beresiko. Karena berurusan dengan barang mudah terbakar. Ada kios bensin yang terbakar karena bocah bermain korek api. Ada yang menempatkan kios bensin berdekatan dengan dapur. Yang satu sedang menuang besin, yang satu sedang memasak air. Ketika uap bensin disambar api kompor, habislah sudah. Tapi ada sebuah berita yang membuat saya kasihan sekaligus gemas. Sebuah kios bensin terbakar, gara-gara seorang pria merokok ketika sedang menuang bensin. Astaga, apakah dia tidak sadar sedang berurusan dengan bensin, bukan perkutut yang hendak dijemur. Bagaimana nasib sang perokok dan rokoknya? Ya terbakar lah.

Wajah-wajah para penjual bensin eceran dalam kenangan saya perlahan-perlahan memudar, bagaikan terdampak jentikan Thanos. Jentikan zaman.

WYATB GBU ASAP

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun