Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

[Populer dalam Sepekan] Pembelajaran dari "Layangan Putus" | Ikut BPJS Rugi? | Kiat Mendiamkan Penumpang Berisik

11 November 2019   00:48 Diperbarui: 11 November 2019   05:38 356 7
Kata kunci " layangan putus" bertahan cukup lama di Twitter.

Cerita tersebut, sederhananya, mengisahkan tentang kondisi pasangan suami istri yang terpaksa berpisah karena adanya orang ketiga.

Sebenarnya itu sesuatu yang biasa saja: cerai karena kehadiran orang ketiga. Sudah ada sejak lama. Pembahasan mengenai Layangan Putus tersebut kemudian membuat warganet bertanya-tanya siapa sebenarnya orang di balik cerita itu.

Namun, setelah lama viral, ada yang kemudian kita lupa pertanyakan: apakah kisah "layangan putus" tersebut benar? Karena kisah "layangan putus" itu, kemudian banyak cerita-cerita dari Kompasianer yang juga ikut mengomentari dan/atau memberi sudut pandang lain tentang hubungan dalam pernikahan.

Selain cerita tentang orang ketiga dalam pernikahan, pada pekan ini Kompasiana juga diramaikan dengan analisis atas naiknya iuran BPJS Kesehatan hingga pola-tingkah penumpang kereta.

Berikut 5 artikel terpopuler di Kompasiana dalam sepekan:

1. Apa yang Salah dengan Cinta Pasca-menikah?

Tanpa pengetahuan yang cukup mengenai pernikahan, tulis Kompasianer Annisa Khairiyyah, pasangan sering terjebak dalam loveless marriage (pernikahan tanpa cinta) atau cinta yang kosong.

Seperti ada yang berbeda dari hubungan ketika pacaran dengan saat sudah menikah.

Ada ketakutan akan bosan hingga membuat perhatian terhadap pasangan menjadi dingin.

Setidaknya ada 3 hal yang menyebabkan cinta perlahan padam, mengutip dari buku "The Great Marriage" yang ditulis Deny Hen yang disarikan oleh Kompasianer Annisa Khairiyyah.

"Pertama, problem dengan cinta romantis; kedua, kelahiran si sulung; dan ketiga, tekanan hidup sehari-hari," tulisnya. (Baca selengkapnya)

2. Apakah Hijrah Harus Selalu Berarti Menikah?

Gara-gara viralnya kisah "Layangan Putus", akhirnya Kompasianer Syarifah Lestari teringat satu peristiwa --mesti tidak secara eksplisit mirip-- tentang hijrahnya seseorang karena sebuah pernikahan.

"Semua yang dibahas hanya yang serbaindah. Seolah nikah itu ajang senang-senang tanpa masalah," tulisnya.

Padahal, lanjut Kompasianer Syarifah Lestari, dinamika pernikahan bisa mereka pelajari dari orang tua, orang terdekat yang mungkin dianggap tak berilmu, tapi jelas berpengalaman.

Keilmuan tentang pernikahan menjadi penting. Menurutnya, menikah karena terhasut oleh foto-foto pra-wedding dan kutipan-kutipan yang bersandingan dengan itu. (Baca selengkapnya)

3. Kenikmatan Seks Itu (Bukan) Tabu

Sejak hukum qanun di Aceh dijalan sejak 2005, baru kali ini seorang laki-laki anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) berinisial M kedapatan berduaan dengan seorang perempuan berinisial N yang bukan muhrimnya di dalam mobil.

M dan N ditangkap Satpol PP dan Wilayatul Hisbah (pengawas pelaksanaan syariat Islam Aceh). Keduanya dijatuhi hukuman cambuk. M dicambuk sebanyak 28 kali, sementara N 23 kali.

Dari peristiwa tersebut, Kompasianer Rizka Khaerunnisa mencoba melakukan pendekatan filosofis tentang tubuh dan relasi kuasa yang terjadi pada setiap manusia.

Apa yang terjadi pada M di Aceh, tulisnya, menunjukkan adanya keretakan sistem meski itu hanya disebut sebagai "citra yang terluka" atau "nama yang tercemar" atau "kehormatan yang tercoreng". (Baca selengkapnya)

4. Jangan Merasa Rugi Jadi Peserta BPJS Kesehatan


Pemerintah beranggapan menaikan iuran peserta BPJS adalah langkah tepat untuk mengatasi defisit keuangan. Kebijakan itu pun akan berlaku per 1 Januari 2020.

Atas kenaikan tarif tersebut membuat banyak orang kaget dan cenderung tidak menerimanya.

Hal ini, menurut Kompasiaer Veronika Gultom, berlatar karena pemahaman akan asuransi yang kurang di kalangan masyarakat kebanyakan. Janganlah merasa tidak adil karena setiap bulan membayar tetapi belum menggunakannya.

Bagaimanapun tidak ada orang yang mau sakit tetapi tidak dapat menghindarinya di kala sakit itu datang," tulis Kompasianer Veronika Gultom. (Baca selengkapnya)

5. Mendiamkan Penumpang Berisik di Kereta Api

Apa yang mesti dilakukan ketika kenyamanan privasi kita terganggu di ruang publik, seperti saat terganggu oleh berisiknya penumpang lain di kereta?

Kompasianer Hendra Wardhana coba menceritakan pengalamannya ketika dihadapkan pada kejadian tersebut.

Ketika itu, tulisnya, masuk serombongan berjumlah delapan orang yang karena penampilan dan kesan pertamanya mau tidak mau perhatian saya tertuju sejenak kepada mereka.

"Tapi keasyikan mereka mengambil foto dan selfie akhirnya membuat saya kurang nyaman. Pada satu kesempatan dua di antara mereka maju, berdiri, lalu berselfie persis di depan saya," lanjut Kompasianer Hendra Wardhana (Baca selengkapnya)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun