Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Tidak Masuk Akal Pemerintah Menggunakan Vaksin Diragukan untuk Urusan Sekrusial Pandemi Covid-19

24 Desember 2020   08:06 Diperbarui: 24 Desember 2020   08:18 169 1
Ini merupakan tulisan saya sendiri yang telah dimuat beberapa media nasional, dan saya bersumpah serta bertanggungjawab sepenuhnya terkait hak cipta dari tulisan ini seutuhnya.

Sebuah hasil penelitian yang diterbitkan dalam "Journal of Broadcasting & Electronic Media" pada 2015 lalu menjelaskan bahwa pada kondisi tertentu ketakutan memberikan rasa tenang dan kenikmatan tersendiri. Ini yang tampaknya menjelaskan mengapa banyak orang mencandu film-film hantu, antara lain. Mereka datang dengan sengaja, mengeluarkan uang untuk masuk, justru untuk dibuat tegang dan ditakut-takuti.  

Meski masih memerlukan banyak diskusi, rasanya wajar bila saya berhipotesis---saya akan mengatakan 'menduga', tapi kata itu sama sekali tidak terasa 'ilmiah'---bahwa segala jenis dan varian berita bohong, hoaks, yang beredar kuat seiring 'terkurung'nya kita dalam keterbatasan pandemi Covid-19, bisa dijelaskan fenomena seperti itu.

Nyaris setahun dalam keterbatasan akibat pandemi, tak leluasa bergerak, membuat kebosanan dan frustrasi bisa leluasa datang kepada kita. Di saat katarsis yang paling mungkin hanya jaringan maya melalui internet, mungkin akhirnya tanpa sadar, tak sedikit orang terpeleset untuk melakukan sesuatu yang sejatinya hanya menakut-nakuti diri. Sayangnya, dalam kasus penyebaran berita hoaks, justru menakuti dan mencelakakan banyak orang.

Ada beberapa contoh bagus untuk itu. Beberapa waktu belakangan, beredar kabar di media massa bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membandingkan sepuluh vaksin Covid-19. Dari hasil tes tersebut, Sinovac buatan Cina merupakan yang paling lemah. Kabar lainnya, disebutkan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara yang memesan vaksin Sinovac.

Ini memang agak parah, karena 'kabar angin' tersebut justru beredar di media massa---termasuk media massa mainstream. Bukan hanya di medsos, wilayah yang memang amat sangat parah dalam memberi peluang kepada penyebaran berita palsu dan hoaks.

Untunglah pemerintah tidak tinggal diam. Dr Lucia Rizka Andalusia, juru bicara Vaksinasi Covid-19 dari Badan POM, membantah dua rumor tersebut. Menurut Lucia, hingga saat ini, tidak ada dokumen dan informasi resmi dari WHO yang membandingkan respon imunitas 10 kandidat vaksin, atau pernyataan bahwa vaksin Sinovac rendah sebagaimana ditampilkan dalam pemberitaan.

"Hal ini pun sudah kami konfirmasikan kepada pihak WHO di Indonesia. Sampai saat ini belum ada pengumuman tingkat efikasi vaksin Sinovac baik dari pihak produsen maupun badan pengawas obat di negara tempat dilakukannya uji klinik,"kata Lucia, dan untungnya kembali media massa mainstream yang melansir pernyataannya.  

Lucia juga membantah informasi bahwa hanya Indonesia yang memesan vaksin Sinovac juga tidak tepat. Selain Indonesia, sejumlah negara telah melakukan pemesanan vaksin Covid-19 dari Sinovac. Mereka adalah Brazil, Turki, Chile, Singapura, dan Filipina. Bahkan, Mesir juga sedang bernegosiasi untuk bisa memproduksi vaksin Sinovac di Mesir.

Tak lupa dalam kapasitasnya sebagai juru bicara vaksinasi Covid-19, Lucia bahwa menegaskan bahwa pemerintah telah menegaskan komitmen kuat untuk memastikan bahwa vaksinasi hanya dilakukan dengan vaksin yang aman, efektif, dan bermutu secepatnya. Pasalnya, kata Lucia, keberhasilan Indonesia menangani Covid akan menjadi keberhasilan kita sebagai bangsa, untuk segera keluar dari pandemic yang serba merugikan ini. "Salah satu upaya percepatan untuk bisa keluar dari pandemic, ya dengan vaksinasi," kata dia. Jadi sangat tidak masuk akal jika pemerintah nekad menggunakan vaksin 'abal-abal' dengan efektivitas dan kemanjuran diragukan untuk program sebesar dan sekrusial itu.

BPOM sendri kemudian menegaskan bahwa mereka akan memastikan benar  keamanan dan efektivitas vaksin---salah satunya Sinovac--yang akan digunakan untuk vaksinasi itu. Itulah sebabnya, perlu ada waktu untuk otorisasi, yang membuat vaksinasi belum dilaksanakan meski vaksin sudah datang pekan-pekan lalu. Hasil observasi itu yang nanti akan menjadi dasar Badan POM (Badan Pengawas obat dan Makanan) untuk mengeluarkan emergency use of authorization (UEA) atau izin edar penggunaan vaksin dalam kondisi darurat.

Sementara jangan salah, proses evaluasi yang dijalankan Badan POM itu pun tak juga sembarangan. Alur dan prosedurnya  merujuk pada regulasi dan standar internasional, seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat.

Nah, tentang vaksin Sinovac sendiri, menurut Badan POM, sejauh ini tidak ada efek samping yang kritikal. Namun memang masih perlu menunggu efektivitas vaksin Sinovac tersebut.

Oh ya, ada baiknya jika kita pun memahami arti 'aman'  dalam persoalan vaksin dan obat. Paling tidak, agar segala pembicaraan dan diskusi kita pun memiliki dasar --yang agak---ilmiah.

"Jika yang dimaksud 'aman' itu benar-benar tidak ada efek samping, maka tidak ada vaksin yang 'aman' dan tidak ada obat yang 'aman'. Setiap obat yang efektif memiliki efek yang tidak diinginkan" kata Prof Stephen Evans, dari London School of Hygiene & Tropical Medicine.

Jadi, menurut Prof Evans, yang dimaksud dengan 'aman' adalah manakala efek yang tidak diinginkan dibandingkan dengan manfaat yang ada jauh lebih kecil, sehingga manfaat itu terlihat jelas lebih besar dan lebih memberikan keuntungan.

Karena itu, meski bukan tidak ada satu dua kasus seiring pemakaian vaksin Pfizer-BioNTech yang sudah mendapatkan pernyataan efektivitasnya, badan regulasi obat-obatan Inggris, Medicines and Healthcare products Regulatory Agency (MHRA), telah memutuskan bahwa  vaksin Pfizer/BioNTech telah memenuhi standard  dan bisa digunakan di Inggris.

Contoh yang lebih ekstrem bisa dikatakan, ada beberapa obat yang memiliki konsekuensi yang benar-benar brutal pada tubuh, tetapi tetap disetujui karena dianggap sepadan dengan risikonya.

Obat kemoterapi memiliki banyak sekali efek merusak, termasuk menimbulkan kelelahan pada pemakainya, rambut rontok, anemia, kemandulan, kecenderungan terganggunya ingatan dan masalah susah tidur. Namun ketika semua efek samping itu diadu melawan kematian yang diakibatkan kanker, nyaris tidak ada yang mempertanyakan obat kemoterpi tersebut.

"Aman bukanlah hal yang mutlak, aman itu artinya dalam konteks penggunaan," kata Prof Evans.

Untuk itulah,dalam prosesnya sampai bisa dipakai publik, regulator obat membuat penilaian berdasarkan data yang jauuuh lebih banyak daripada data yang tersedia untuk umum.

Dengan seabrek data tersebut, nyaris---kalau tidak boleh mengatakan sama sekali--tak akan ada tempat untuk bersembunyinya masalah. Jika ada masalah keamanan, regulator akan melihatnya.

Perusahaan yang menginginkan obat atau vaksinnya lolos uji harus menyerahkan data dari studi laboratorium, studi hewan, uji keamanan fase satu, uji dosis fase dua dan terutama fase besar tiga yang akan menentukan berhasil-tidaknya suatu obat atau vaksin dalam uji coba.

"Jumlah halaman laporan berisi informasi itu setidaknya 10.000 halaman," kata Prof Evans.

Tengoklah vaksin Pfizer, yang tentu akan dianggap jauh lebih baik disbanding Sinovac oleh orang awam. Vaksin Pfizer mengurangi kasus Covid sekitar 95 persen, tetapi vaksin Pfizer memiliki efek samping yang sangat umum, termasuk nyeri akibat suntikan, sakit kepala, perasaan kedinginan, dan nyeri otot. Efek semacam itu dapat dirasakan lebih dari satu dari 10 orang yang menerima suntikan vaksin tersebut.

Dan bersyukurlah karena semua itu adalah gejala yang berkaitan dengan reaksi sistem kekebalan tubuh dan dapat disembuhkan dengan Parasetamol. [ ]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun