Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Perang Dagang: In A Nutshell dan Dampaknya bagi Indonesia

25 Juli 2019   18:58 Diperbarui: 25 Juli 2019   19:18 140 2


Negara-negara besar memiliki pengaruh yang besar. Apa yang terjadi jika terdapat konflik ekonomi dan politik di antara mereka? Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok adalah dua negara besar yang sedang berkonflik tersebut, konflik perang dagang yang sering muncul di media. Sebenarnya, apa yang terjadi ketika mereka membicarakan tentang perang dagang ini? Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk menjelaskan perang dagang yang terjadi dengan sesederhana mungkin yang disertai dengan saran agar pembaca tidak hanya tahu, tetapi dapat ikut serta melakukan sesuatu di tengah perang dagang ini.

Perang dagang in a nutshell

Perang dagang antara AS dan Tiongkok, pada mulanya terjadi karena suatu negara mengalami defisit yang terjadi ketika impor suatu negara lebih besar dari ekspor. Untuk menyeimbangkan impor dan ekspor, maka barang yang masuk dari negara lain (barang impor) dikenakan biaya masuk. Hal ini terjadi pada Amerika Serikat, dan biaya masuk ini tidak hanya ditetapkan ke barang impor Tiongkok, namun juga kepada beberapa negara lainnya. Namun kemudian perang dagang pun terjadi karena Tiongkok juga memberikan respon yang serupa dengan biaya impor dari AS. Seperti itulah gambaran singkatnya.

aol.com/Trump terpilih, Tiongkok dalam masalah.1

“Make America Great Again!”. Itulah semboyan sang calon presiden AS dari Partai Republican ini. Terkadang terdengar seperti seruan “Ganyang Tiongkok!” karena sejak kampanyenya, beliau sudah meresahkan praktik perdagangan Tiongkok yang merugikan AS. Setelah beliau memenangkan pemilihan presiden AS 2016 silam, Trump mengutus Robert Lighthizer sebagai US Trade Representative (USTR) untuk melakukan investigasi mengenai praktik pencurian properti intelektual* dan pemaksaan transfer teknologi. Ekonom internasional, Gary C. Hufbauer, mengatakan bahwa investigasi ini sebenarnya hanya akan mengkonfirmasi hal yang sudah jelas telah terjadi, tetapi ia tidak yakin apa yang akan Presiden Trump lakukan setelah itu.2


Trump memutuskan untuk menerapkan pemasangan tarif untuk barang-barang Tiongkok yang masuk ke AS. Pada tanggal 22 Maret 2018, Sebanyak 1.300 kategori barang impor dari Tiongkok didaftarkan untuk mendapat tarif termasuk bagian pesawat, baterai, peralatan medis, satelit, dan berbagai senjata. Tindakan ini dianggap sebagai respons dari praktik perdagangan yang tidak adil yang telah diberlakukan Tiongkok selama ini, termasuk pencurian properti intelektual. 


Sepuluh hari kemudian Tiongkok membalas dengan menerapkan tarif pada 128 barang impor dari AS, termasuk aluminium, pesawat, mobil, daging babi, dan kacang kedelai hingga sebesar 25%. Kedua pergerakan ini adalah awal dari sesuatu yang banyak orang bilang sebagai “perang dagang”, tetapi Presiden Trump menolak keberadaan perang dagang ini dengan dalih bahwa AS telah lama kalah dalam perang dagang yang ada, dan kekalahan tersebut terjadi karena inkompetensi dari pemegang pemerintahan sebelumnya.3


Hingga saat ini, rangkaian pemasangan tarif impor yang berbalas-balasan tersebut masih berlangsung, dengan beberapa rekonsiliasi di tengah jalan untuk mengurangi dampak dari perang dagang ini. Tujuan mendapat keuntungan terbesar masih tetap ingin dicapai oleh kedua belah pihak, oleh sebab itu tarif impor juga ditetapkan ke negara lainnya oleh AS dan Tiongkok.


Lalu apa dampaknya bagi Indonesia? Mantan menteri ekonomi yang juga merupakan dosen di FEB Universitas Indonesia, Chatib Basri, menjelaskan bahwa Indonesia tidak akan terlalu terpengaruh jika dibandingkan dengan Singapura. Hal ini disebabkan karena rasio perdagangan terhadap GDP (trade-to-GDP ratio) Indonesia hanya 32%, sedangkan Singapura berkisar di 200%. Indonesia akan mendapat dampak tidak langsung yang bisa dijelaskan sebagai berikut. Sebesar 40% ekspor dari Indonesia ke Tiongkok adalah komoditas batu bara dan kelapa sawit. 


Tiongkok yang sedang mengalami perlambatan ekonomi tentu akan menyebabkan permintaan komoditas tersebut berkurang. Ekspor komoditas tersebut dari Indonesia ke Tiongkok turun. Maka daerah Sumatera dan Kalimantan akan terdampak. Hal ini dapat dilihat dari penjualan mobil menunjukkan -13% di kuartal pertama 2019, terjadi terutama di daerah-daerah penghasil komoditas. 


Jika konsumsi berkurang, maka investasi berkurang yang juga menyebabkan penurunan profit dari industri. Penurunan profit ini akan menyebabkan penurunan pajak, yang dalam arti lain penurunan pendapatan negara, yang menyebabkan defisit keuangan negara naik. Hal tersebut merupakan gambaran kecil mengenai perlambatan ekonomi di Indonesia yang merupakan dampak tidak langsung dari perlambatan ekonomi Tiongkok.4


Dari serangkaian dampak negatif tersebut, ternyata ada banyak opportunity. Masih penjelasan Prof Dede (Chatib Basri), Indonesia bisa jadi pusat produksi untuk pemodal dari Tiongkok. Simpelnya, investor yang tidak mau terkena bea cukai tinggi AS tentu tidak mau mengimpor komoditasnya dari Tiongkok. Salah satu cara yang dapat ia lakukan adalah dengan mengimpor dari negara lain. Oleh sebab itu ia akan mencari negara selain Tiongkok untuk jadi pusat produksinya. 


Inilah yang terjadi di Vietnam, Bangladesh, dan Thailand. Banyak investor yang membangun pusat produksi di sana, sehingga ekspornya tidak terkena bea cukai tinggi. Dalam konteks ini, kenapa Indonesia tidak menjadi salah satu negara yang dapat menarik investor untuk meletakkan pusat produksinya di sini? Jawaban dari pertanyaan ini mengandung banyak sekali faktor, salah satunya adalah aturan ketenagakerjaan yang menyulitkan investor, seperti aturan pesangon dan mewajibkan untuk padat karya. 


Bagi Prof Dede, revisi peraturan ketenagakerjaan tersebut akan mendongkrak investasi di Indonesia, tetapi butuh keberanian besar dari presiden dan parlemen karena revisi tersebut akan banyak ditentang organisasi buruh sebab dianggap mengganggu kesejahteraan mereka (walaupun yang menganggur hanya bisa diam, karena tidak ada lahan pekerjaan bagi mereka akibat tidak adanya perusahaan luar yang mau bangun pabrik di Indonesia).4


Tidak mau terlalu teknis, kira-kira begitulah gambaran singkat mengenai perang dagang AS dengan Tiongkok. Dampaknya tidak fatal bagi Indonesia, tetapi justru menjadi jendela kesempatan jika kita mau berubah, perluas wawasan, dan menjadi penggerak ekonomi Indonesia. Tidak ada solusi sederhana untuk perekonomian Indonesia yang gairahnya biasa-biasa saja ini, ditambah dengan efek buruk perang dagang. 


Tetapi dengan semangat mengejar pendidikan dan meningkatkan produktivitas kita bisa jadi negara dengan ekonomi yang besar, karena kitalah generasi yang diramalkan akan membawa Indonesia jadi negara yang besar di 2045 nanti.


Referensi

  1. KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun