Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Artikel Utama

Seberapa Besar Kontribusi Travel Writer pada Kerusakan Lingkungan?

3 November 2013   23:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:37 6930 10

Jogja hujan lebat, saya bersama beberapa kawan sedang asyik nongkrong di warung kopi. Ngobrol ngalor ngidul sambil membaca  majalah wisata dan membahasnya. Suasana yang menyenangkan bagi saya yang sedang belajar menjadi travel writer. Tapi kegembiraan seketika berakhir saat melihat postingan foto dari Cahyo Alkantana di Facebook. Di foto itu terlihat segerombolan manusia memenuhi pintu Gua Pindul. Persis seperti cendol di mangkuk.

Seperti itukah wajah Gunungkidul sekarang? Daerah yang dulunya seperti anak tiri saking tandus dan tidak produktifnya, sekarang jadi anak emas pariwisata Yogyakarta. Tapi lihat konsekuensinya, pengelolaan yang serampangan telah sukses membuat gua yang dulunya sepi dan menjadi riuh, penuh, padat, sumpek oleh manusia. Bahkan untuk kasus Gua Pindul, ada konflik antar manusia berebut lahan pengelolaan. Itu baru urusan manusia dengan manusia. Lalu bagaimana dengan biota gua? Apa kabar para kelelawar yang biasanya bobok siang dengan nyaman? Apa mereka masih bisa istirahat bila gua yang menjadi tempat tinggalnya sekarang dipenuhi manusia yang ingin merasakan kegelapan sungai bawah tanah, kemistisan suasana, keindahan ornamen gua, dan sekian pengalaman lain yang tidak mereka dapatkan di kota.

Antroposentrisme atau ekosentrisme?

Dalam etika lingkungan (Sony Keraf), ada tiga teori, antroposentrisme, biosentrisme, dan ekosentrisme. Lebih lanjut, yang sering dipakai adalah Antroposentrisme dan Ekosentrisme yang bertolak belakang. Sementara biosentrisme cenderung sejenis dengan ekosentrisme.

Antroposentrisme atau biasa disebut etika dangkal atau shallow ecology (SE) adalah etika lingkungan yang memusatkan segala sesuatunya pada manusia, keberadaan lingkungan non manusia hanya berfungsi sebagai instrumen penyokong kehidupan manusia. Sedangkan Ekosentrisme, atau etika dalam atau deep ecology (DE) berpendapat bahwa manusia dan makhluk lainnya punya kedudukan yang sama.

Dari dua etika lingkungan yang sedikit saya jelaskan di atas, kira-kira sudah bisa kita simpulkan bahwa pengelolaan wisata di gunungkidul (dan saya rasa di tempat lain juga begitu) merupakan bagian dari praktek nyata dari etika SE. Bisa kita lihat bagaimana pembangunan infrastruktur untuk fasilitas pengunjung dan kuota kapasitas tidak dipertimbangkan. Semuanya dilakukan demi mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Foto dari Gua Pindul telah menjelaskan semuanya, bahkan tanpa saya berkata-kata.

Saya sadar, warga punya hak untuk mendapatkan penghasilan dari kekayaan alam mereka. Mereka juga sudah berbaik hati tidak melakukan penambangan kapur malah mengelola alamnya demi pariwisata. Ini pilihan yang bijaksana. Tapi tunggu, apa kebijaksanaan masih berlangsung saat para traveler pencari eksotisme mengalir datang, menghasilkan pundi-pundi uang yang seolah tak ada habisnya. Berbeda dengan bukit kapur yang tak lagi menghasilkan setelah selesai ditambang. Rupanya ada yang salah (paling tidak menurut saya). Iming-iming pendapatan yang besar membuat seolah-olah lupa daratan. Lupa kalau manusia bukanlah satu-satunya makhluk yang berhak atas alam.

Tempat-tempat indah selalu digambarkan dengan kata-kata surgawi, eksotis, tersembunyi, dan lain sebagainya. Lalu saat turis yang datang semakin banyak, fasilitas-fasilitas juga ikut diperbanyak. Sialnya, sekali lagi, banyak yang dibangun serampangan. Di sana sini disemen, dibangun kamar mandi umum, warung makan, penginapan, dan lain-lain. Semakin lama dan semakin tua, kondisinya makin memprihatinkan. Lalu untuk menutupinya tempat wisata berdandan semakin menor, semakin mencolok, make up dipertebal, dempul di mana-mana. Lalu para pengunjung sudah bosan, pergi meninggalkannya karena tempat itu tak lagi eksotis, sudah jauh dari kesan surga, dan sama sekali tidak sunyi, tak lagi perawan...

Saya tahu, antroposentrisme tak bisa dilepaskan, tapi bisakah kita, manusia, sedikit lebih bersahabat dengan alam, tak hanya mengeksploitasinya demi keuntungan semata. Bukankah itu juga demi kepentingan manusia, supaya para turis tak kecewa, tak bosan, dan masih bisa menikmati keindahan. Imbasnya, warga juga masih punya pendapatan.

Ada karib yang mengirim pesan:

“keraimaian lokasi wisata itu bagian dari dosamu. Mimpi eksotisme ala travel writer dan kerakusan hasrat glory manusia”

Saya baru saja ditampar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun