Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Apakah Travel Writer Berkontribusi pada Kerusakan Lingkungan?

5 November 2013   22:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:32 477 0
Menanggapi berbagai komentar atas tulisan saya dua hari yang lalu, rasanya saya perlu bikin tulisan lagi. Sepertinya (semoga saya tidak keGRan) gara-gara tulisan dan foto yang ada di artikel saya tersebut, isu tentang kaitan antara travel writer dan kerusakan lingkungan kembali mencuat. Isu seperti ini memang bukan yang pertama kali muncul, sebelumnya kisah tentang Pulau Sempu dan Gunung Semeru juga sempat menjadi perdebatan.

Memang benar isi artikel saya tidak terlalu banyak menyoroti kaitan antara travel writer dan kerusakan lingkungan, saya malah membahas pengelolaan tempat wisata. Begitu juga dengan kekurangan-kekurangan lain dalam tulisan tersebut. Saya ucapkan terima kasih, itu koreksi bagi saya.

Ada yang mempertanyakan tentang judul yang dianggap tidak terlalu berkaitan dengan isi, ada juga yang mencak-mencak karena saya dianggap menuduh travel writer sebagai perusak lingkungan.   Judul tersebut muncul karena saya saat ini bekerja sebagai penulis artikel wisata yang kerap disebut dengan travel writer. Sebagai seseorang yang bertugas untuk membuat suatu tempat terlihat menarik dan agar dikunjungi orang, saya merasa punya andil terhadap perubahan pada tempat tersebut baik negatif maupun positif. Bila gara-gara tulisannya menyebabkan orang berdatangan sementara pengelolanya belum siap, ditambah pelancong yang tidak semuanya berkesadaran lingkungan maka travel writer yang berada di posisi memobilisasi massa tentu juga punya peran. Dengan begitu, saya merasa seorang travel writer punya kontribusi langsung maupun tidak langsung dalam perubahan alam dan ekosistem di dalamnya.

Di artikel itu pun saya membicarakan travel writer yang tidak lain adalah saya sendiri, terutama setelah teman saya berkata bahwa ribuan orang memadati Pindul adalah gara-gara travel writer seperti saya. Saya resah bila benar bahwa profesi yang sedang saya jalani ternyata punya dampak buruk terhadap lingkungan. Seberapa besar prosentasenya tentu butuh penelitian lebih lanjut.

Pengertian travel writer bisa jadi lebih luas dari sekedar profesi saya. Travel writer tidak selalu harus menceritakan tentang keindahan suatu tempat, tentang sudut-sudut tersembunyi dan tempat perawan dengan segala eksotismenya. Travel writer bisa juga bercerita tentang perjalanan si penulis, tentang manusia yang ditemui, tentang kekecewaan pada tempat yang dikunjungi, dan sebagainya. Tak harus selalu cerita-cerita indah.

Lalu  harus bagaimana? Saya  merasa mulai sekarang harus memasukkan unsur-unsur peringatan dan himbauan bila sedang menulis tentang suatu tempat. Mungkin itu bisa jadi salah satu cara untuk mendidik pelancong, paling tidak hal itu masih bisa diakomodir untuk genre tulisan artikel wisata mainstream. Untuk jenis dan gaya tulisan di luar profesi resmi saya, mungkin bisa kita bahas lain waktu. Travel writer, pengelola kawasan wisata, masyarakat, dan pelancong masing-masing punya tanggung jawab untuk menjaga lingkungan. Bila judul saya terkesan menyalahkan (padahal saya bertanya) travel writer, itu karena saya ada di dalamnya.

Kita masyarakat Indonesia, memang masih dalam tahap belajar dalam mengembangkan ekowisata, kasus Pindul mungkin bisa jadi contoh bagaimana kita seperti orang yang kaget dan kegirangan dengan apa yang bisa dihasilkan dari wisata alam. Saya harap dengan kasus ini kita semua bisa lebih perhatian pada lingkungan, entah itu si travel writer, masyarakat, pemerintah, dan juga para pelancong.

Eh eh, tapi saya senang orang-orang jadi pada ngomongin (lagi) tentang travel writer yang bertanggung jawab. Semoga polemik ini bermanfaat bagi kita semua.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun