Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Manusia

29 November 2020   04:00 Diperbarui: 29 November 2020   04:25 34 3
Pada sebuah jalan stapak, dengan cahaya lampu taman, aku berjalan bersama takut, pun menenteng sebuah ragu. Apakah ada jalan pulang? Apakah ada sebuah rumah? Apakah hanya takut yang akan menemani hingga akhir? Bukankah tadi juga ada sebuah percaya yang akan melahirkan berani? Siapa yang ditinggalkan? Siapa yang meninggalkan?

Sejenak aku berhenti, sudah dititik mana aku? Dan satu-satunya yang menjawab hanyalah air mata. "Kau sudah berada pad titik lelah". Aku kembali dibuat bungkam. Pipi yang semula dibirkan kering, lantas basah. Kala itu nyata kembali menghantam. Sebuah sepi meruntuhkan seluruh pertahanan. Segala tetes melunakkan apa-apa saja yang keras. Isukan membongkar segala bohong pada diri sendiri.

Deruhan nafas lelah keluar, jawaban tanpa suara hadir, "pelan-pelan saja. Aku memang seperti ini. Aku adalah satu-satunya yang akan menemanimu pulang kerumah". Ucap sebuah perjalanan.

Titik yang sedang aku pijaki sekarang pun adalah bagian dari sebuah perjalanan. Lantas, tentengan ragu jatuh melebur bersama lelah. Sebuah 'ingin' menopang ,untuk mencari cahaya lebih banyak.

Mungkin lupa. Mungkin terkadang lupa untuk jadi manusia. Untuk jadi manusia yang manusiawi. Mungkin lupa jika yang paling melekat pada sosok manusia adalah segunung kurang dan lemah. Mungkin lupa, jika terus berlari, yang paling mungkin ditemui adalah sebuah jatuh. Pelan-pelan saja.

Mungkin lupa untuk menangis. bukankah tanda kehadiran sosok manusia pertama kali ke bumi adalah sebuah tangis? Bukankah sebuah tangis juga yang menyempurnakan sosok manusia? Bukankah sebuah tangis yang menjadi pemula sebuah kuat?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun