Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Apakah Anda Bahagia Saat Online?

22 Februari 2021   13:42 Diperbarui: 22 Februari 2021   14:00 127 3
Berapa kali Anda online setiap hari? Mudah menjawabnya. Selalu. Saya memiliki dua hape pintar. Beberapa kali saya memegang keduanya bersamaan. Saat sadar saya merasa sangat bodoh. Saya tentu tidak sendirian. Sering orang kejatuhan hape saat berbaring di tempat tidur. Saya juga pernah. Tapi sekarang jarang sekali ketimpaan hape karena lebih sering meletakkannya saat jelang tidur. Poinnya, saya tetap online.

Banyak hal menjadi mudah berkat internet. Semua orang terbantu saat online dengan aplikasi berbelanja, transportasi, kencan, hobi, dan banyak lagi. Setiap detik hidup manusia modern terhubung dengan internet. Semua ada internetnya. Istilah kerennya, internet of things (IoT).

Dua puluh tahun lalu, saya harus berebut dengan rekan kerja untuk menyalakan modem agar bisa online. Ketika saya online, rekan lain sudah mengantri. Status online sebuah kemewahan ketika itu. Sekarang sebaliknya. Tidak online selama beberapa menit saja sebuah kemewahan. Internet menempel ke mana pun orang pergi.

Pertanyaan besarnya, apakah seseorang bahagia ketika online? Pertanyaan mudah dimengerti tapi susah menjawabnya. Saya tadinya mau menjawab; iya, saya senang ketika online. Tapi baru beberapa menit lalu saya melihat posting Instragam seorang teman. Keren, berkelas, dan like-nya banyak (Oya, Instagram itu adalah produk Like, bukan foto). Saya kok merasa lebih bahagia sebelum melihatnya. Itu mungkin hanya saya.

Kita sepakat bahwa internet mendekatkan yang jauh. Dalamnya tidak selalu begitu. Internet terbukti menurunkan kualitas jarak (hubungan), apakah itu dekat atau jauh, antara dua atau beberapa orang. Contohnya begini. Sebelum ada internet, si A memiliki idola. Dia mendefinsikan sendiri hubungan dengan sang idola. Ia menganggap mereka sangat dekat dan eksklusif. Itu menurutnya, bebas saja. Yang jelas, hubungan dia dan idolanya sangat berkualitas.

Setelah era internet, semua berubah. Si A setiap hari melihat idolanya di IG. Di saat lain idolanya mengomentari postingan atau tweet seseorang dengan akrab. Setelah itu dia memberikan emoji ngakak atas satu komentar. Saat itu jarak si A dengan idola terganggu. Banyak orang seliweran di situ. Kelompok pertemanan si A dan idola menjadi luas.

Si A tak memiliki hasrat yang seperti dulu lagi dengan idolanya. Hasratnya pada hal lain juga mengalami penurunan setelah ada di internet. Apa jadinya jika hasrat akan sesuatu akan mengalami gangguan tak sehat seperti itu? Akhirnya kekuatan hasrat pada sesuatu berangsur hilang. Hasrat adalah dorongan dan motivator penting, meski bukan yang utama.

Online berarti ada kapan saja. Sialnya, di sosial media, online selalu menawarkan sekarung keinginan. Tentu tidak semua keinginan itu bisa terpenuhi. Itulah masalahnya. Salah satu sumber penderitaan hidup adalah terlalu banyak keinginan, tapi hanya sedikit - bahkan kadang-kadang - tak ada yang terwujud. Bagaimana keinginan bisa ditolak jika dia muncul selama 24 jam sehari 7 hari seminggu.

Bayangkan Anda berada di dua kelompok di waktu berbeda. Di kelompok satu, semua anggotanya Anda kenal. Menyapa mereka satu per satu. Saling bertanya dan menjawab. Senyum sana, tawa sini. Di kelompok kedua hanya sebagian yang Anda kenal. Menyapa dan bertanya secukupnya. Mungkin tertawa sebentar. Setelah itu hening.

Kelompok mana yang lebih melelahkan dan menguras enerji? Tentu saja kelompok pertama. Bayangkan jika Anda berada di kelompok pertama selama 24 jam sehari 7 hari seminggu. Begitulah internet. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun