Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Karena Chatting, Seorang Istri Dipidana Suami

16 Februari 2015   07:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:07 424 2
Hari Rabu sore, 11 Februari 2015, saya menerima kiriman email dari Mas Anggara. Ketua Badan Pengurus yang juga peneliti senior di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Isi email berupa siaran pers dari Mas Anggara mengomentari kasus yang menimpa Wisni Yetti (47 tahun). Wisni kini tengah dirundung masalah. Ia diadukan oleh suaminya sendiri karena melakukan chatting dengan teman prianya. Kini kasus Wisni sudah bergulir di Pengadilan Negeri Bandung.
Menurut Mas Anggara dalam siaran persnya, pada Kamis, 12 Februari 2015 nanti, Jaksa Penuntut Umum akan menuntut Wisni Yetti karena dianggap melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Wisni terancam hukuman 6 tahun penjara.
Dalam siaran persnya, Mas Anggara menceritakan awal mula kasus itu. Menurut Mas Anggara, peristiwanya terjadi pada 2011. Saat itu Wisni menjalin komunikasi dengan Nugraha melalui fasilitas chatting di facebook. Percakapan melalui fasilitas chatting antara Wisni dan Nugraha diketahui suaminya, Haska Etika. Diam-diam Haska Etika 'membobol' facebook istrinya pada Oktober 2011, lalu melakukan print out dan menggandakan hasil chatting tersebut. Pada 2014, Haska pun melaporkan isi chatting Wisni ke Polda Jabar dengan tuduhan mendistribusikan dan mentransmisikan kalimat atau bahasa yang bersifat asusila.

Menurut Mas Anggara ada tiga kejanggalan dari kasus Wisni. Kejanggalan pertama, percakapan yang dilakukan Wisni dan Nugraha tak memenuhi unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau juga membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik. Mas Anggara beralasan, percakapan tersebut bersifat pribadi dan hanya diketahui oleh Wisni dan Nugraha.

Kata Mas Anggara, perlu untuk diketahui oleh jaksa dan hakim, konstruksi Pasal 27 ayat (1) UU ITE tak dapat dipisahkan dengan delik kesusilaan dalam Pasal 281 dan 282 KUHP. Aartinya perbuatan tersebut baru dapat dipidana apabila dilakukan dengan sengaja dan terbuka di muka umum atau tersebar secara publik. Sementara perbuatan tersebut sama sekali tidak terpenuhi dalam kasus chatting Wisni dengan Nugraha.
Kejanggalan kedua, kata Mas Anggara, menjadi catatan penting adalah cara yang dilakukan oleh pelapor dalam hal ini Haska Etika mengetahui isi chatting dari Wisni dan Nugraha. Berdasarkan Pasal 30 UU ITE, perbuatan Haska Etika dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses sistem elektronik milik Wisni tidak dapat dibenarkan. Bahkan perbuatan Haska dapat diancaman pidana 6 sampai 8 tahun penjara, dan denda enam ratus hingga delapan ratus juta rupiah. Jadi kata Mas Anggara, mestinya Haska Etika yang diproses secara pidana karena dapat dianggap telah melanggar Pasal 30 UU ITE.

Mas Anggara menambahkan, hubungan suami istri antara Wisni dan Haska Etika bukan alasan bagi Haska bisa dengan sesuka hati mengakses sistem elektronik milik istrinya. Sebab perlindungan dari Pasal 30 UU ITE berlaku terhadap orang perorang tanpa memandang status perkawinan orang tersebut. Lalu apabila yang menjadi dasar “pembobolan” tersebut adalah untuk alasan penegakan hukum, seharusnya bukti yang dihadirkan di ruang sidang adalah hasil dari penyidikan Polisi, bukan perbuatan main hakim sendiri dari pelapor. Apalagi kata Mas Anggara tidak ada unsur pidana dalam sistem elektronik milik Wisni. Karena sekali lagi menurut Mas Anggara, percakapan dilakukan secara privat dan bukan didepan umum.

Sementara kejanggalan ketiga, kata Mas Anggara, pengadilan seharusnya tak menerima bukti berupa “print out” hasil dari percakapan tersebut. Karena bukti tersebut bukanlah alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dan Pasal 5 UU ITE. Bukti berupa print out seharusnya tak bisa digunakan dalam persidangan ini. Sebab hasil print out bukanlah bukti yang dapat divalidasi kebenarannya berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.

Sebab itu Mas Anggara memandang, mestinya sejak awal PN Bandung menolak dakwaan dari jaksa penuntut umum, bukannya malah memaksa terus memeriksa perkara yang tak ada dasar hukumnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun